Etika
Hakim Sarpin
Romli Atmasasmita ; Guru Besar Emeritus
Universitas Padjadjaran
|
KORAN
SINDO, 02 Maret 2015
Pascaputusan praperadilan yang dipimpin hakim tunggal, Sarpin
Rizaldi, hakim senior dengan pangkat golongan IV/D setara dengan jabatan guru
besar di perguruan tinggi, telah menimbulkan pro dan kontra mengenai etika
dan melampaui batas kewenangan.
Soal etika, saya berpendapat hal ini bersifat pribadi dan
bukan masalah publik. Karena dari sudut ilmu hukum, etika berada pada nurani seseorang yang tidak lepas dari
proses pembentukan karakter seseorang sejak kecil sampai dewasa serta
lingkungan keluarganya. Namun, ada persoalan etika yang kemudian dialihkan
menjadi ranah publik.
Semula pertengkaran suami istri sampai pada pemukulan oleh suami
masih dipandang sebagai masalah keluarga, namun perkembangan kemudian dan
terkini telah dimasukkan/dialihkan sebagai bagian dari tanggung jawab suami
kepada publik. Lahirlah UU KDRT; pemukulan yang mengakibatkan luka ringan/
berat oleh seorang ayah terhadap anaknya, semula urusan ayah dan anaknya,
saat ini telah termasuk tindak pidana sekalipun delik aduan.
Dalam konteks putusan hakim Sarpin, tentu masalah etika dan
perilaku seorang hakim dengan UU KY telah menjadi ranah publik dan bagian
dari tanggung jawab hakim sebagai pemangku jabatan negara kepada publik.
Sebaliknya, menjadi hak publik yang diwakili oleh KY untuk mengawasi perilaku
hakim dan menjaga dan memelihara martabat hakim sesuai UU KY.
Fungsi pengawasan KY terhadap perilaku hakim seharusnya
diimbangi dengan fungsi KY untuk memelihara dan menjaga martabat hakim
sehingga terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban anggota KY dalam
melaksanakan tugas dan wewenang yang diperintahkan oleh UU KY.
Dalam praktik, KY tidak menjalankan fungsi kedua secara efisien dan efektif namun
lebih banyak melaksanakan fungsi pengawasan semata-mata. Fungsi ini pun sering dijalankan setelah
memperoleh laporan pengaduan masyarakat; dan kini telah terjadi perubahan di
mana KY proaktif memantau jalannya sidang sekalipun terbatas pada perkara
besar yang menarik perhatian masyarakat.
Sejak KY jilid I,
penulis telah menyampaikan keberatan melalui artikel di harian nasional terhadap cara kerja
KY, yaitu bahwa perilaku seorang hakim dalam bekerjanya dilihat dari isi
putusan pengadilan. Alasan
penulis, sulit menilai perilaku hakim termasuk etika hakim dengan membaca
pertimbangan apalagi sidang pengadilan dilaksanakan dengan sistem majelis;
bahkan sebelum memutus perkara telah didahului oleh rapat permusyawaratan
hakim.
Dan sebaliknya, anggota KY tidak mengikuti jalannya persidangan
sejak awal sampai putusan dijatuhkan. Setiap putusan pengadilan merupakan
hasil analisis majelis hakim terhadap selain surat dakwaan juga fakta yang
terjadi di persidangan yang dibuka dan terbuka untuk umum.
Ditambah lagi sesuai dengan bunyi Pasal 183 KUHAP, hakim diberikan
kewenangan memutuskan berdasarkan keyakinannya. Pertanyaan besar bagaimana keyakinan hakim dan seluruh fakta
persidangan dapat diuji secara materiil oleh anggota KY yang notabene tidak
pernah mengikuti sidang sejak awal sampai akhir putusan dijatuhkan
pengadilan.
Padahal, yang diuji adalah hakim-hakim berpengalaman dan senior
dalam pekerjaannya dibandingkan dengan anggota KY pada umumnya. Seharusnya
anggota KY adalah pensiunan hakim yang memiliki integritas dan baik
track-record-nya selama menjadi hakim. Bukankah masalah etika seseorang hanya
dapat diuji oleh orang lain yang telah berpengalaman dan memiliki ilmu
pengetahuan yang memadai serta memiliki integritas yang lebih baik dari pada
yang diawasi? Bukankah perilaku seorang anak, beretika atau tidak,
sopan atau tidak hanya dapat dilakukan oleh orang tuanya?
Penulis mengharapkan, KY mengevaluasi kembali SOP kinerja KY
agar tetap berada pada koridor UU KY dan sejalan dengan maksud dan tujuan
pembentukan KY serta ditempatkannya KY di dalam UUD 1945 dibandingkan dengan KPK.
UUD 1945 telah memberikan landasan moralitas, sosial, dan hukum
kepada seluruh penyelenggara negara untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya
sesuai dengan mandat yang diberikan UU kepadanya serta menjalankan sumpah
jabatan yang merupakan ikatan moral yang seharusnya dan sepatutnya pula
dijunjung tinggi.
Dalam konteks ini,
setiap anggota KY wajib menjaga dan memelihara martabat hakim di samping
mengawasi hakim. Selama persidangan yang saya ikuti
sebagai ahli, saya dapat katakan bahwa hakim Sarpin telah memimpin
persidangan dengan tertib dan disiplin serta lugas dalam memberikan arahan
kepada kuasa hukum pemohon dan termohon.
Bahkan, hakim Sarpin bahkan selalu mengingatkan kuasa hukum khususnya dalam sidang pemeriksaan ahli, bahwa ahli tidak diperkenankan menilai fakta kecuali hanya
memberikan opini (pendapat) sesuai dengan keahliannya. Perhatian masyarakat pascaputusan hakim Sarpin tertuju pada kewenangan praperadilan
dengan merujuk pada Pasal 77
KUHAP.
Namun, masyarakat sering melupakan bahwa Pasal 10 ayat (2) UU RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman telah menegaskan bahwa
pengadilan tidak boleh menolak perkara yang diajukan hanya atas alasan bahwa
UU tidak mengaturnya. Seharusnya ketentuan ini diartikan bahwa pengadilan
adalah satu-satunya tempat mencari, menemukan, dan memperoleh keadilan bagi
setiap orang tidak terkecuali terlepas dari latar belakang sosial, etnis,
agama dan jabatannya dalam masyarakat.
Amat naif jika ketika ada orang siapa pun mendatangi pengadilan
dan mengajukan permohonan untuk memperoleh keadilan kemudian ditolak dengan
alasan UU tidak mengaturnya dan benar pendapat (alm) Satjipto Rahardjo, bahwa
hukum itu (dibuat) untuk manusia bukan manusia untuk hukum!
Limitasi yang diberikan pembentuk UU KUHAP dalam hal alasan praperadilan
bertentangan dengan BA XA UUD 1945, UU RI Nomor 39 tentang HAM, dan tidak sejalan dengan
Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Hak Sipil dan Politik yang telah
diratifikasi dengan UU RI Nomor 12 Tahun 2005. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar