Empati
Kristi Poerwandari ; Penulis kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas
Minggu
|
KOMPAS,
22 Maret 2015
Mungkin
banyak dari kita yang ngeri dan bertanya-tanya, mengapa begal motor marak di
banyak tempat, melakukan kejahatan dengan sangat sadis, hingga orang luka
parah bahkan kehilangan nyawa.
Kita
dapat berdiskusi tak henti, akar persoalannya mungkin kemiskinan, persaingan
dalam lapangan kerja, tiadanya peneladanan, survival hidup, dan banyak
lainnya. Tetapi, secara psikologi, ada pertanyaan lebih mendasar: meski
alasan-alasan di atas, mengapa harus melakukan kejahatan berkekerasan yang
sadis?
Satu
konsep paling dasar yang tampaknya harus disinggung adalah empati. Empati
bicara mengenai ”kemampuan untuk melihat dan merasakan dunia dari sudut pandang
dan penghayatan orang lain”. Dapat dipilah dalam ”empati kognitif” mengacu
pada kemampuan manusia untuk mengambil perspektif mental dari orang lain dan
”empati emosional” yang menunjuk pada kemampuan untuk dapat menghayati
perasaan yang dirasakan oleh orang lain (Smith, 2006).
Keduanya
berbeda. Saya dapat mencoba menjelaskan mengapa orang miskin mencuri,
misalnya, ”ia terpaksa mencuri karena merasa tidak punya pilihan lain,
sementara ia harus makan, dan anak-anaknya harus makan, dan ia sudah beberapa
kali mencuri dan tidak pernah ketahuan, jadi ia memantapkan perilaku
mencuri”. Ini contoh mengenai empati kognitif. Bila saya berpikir ”kasihan
sekali ya orang itu, terpaksa harus mencuri. Kalau saya ada di posisinya,
pasti pusing dan bingung sekali melihat bayi menangis karena tidak memperoleh
susu yang cukup, anak-anak lapar dan tidak bisa sekolah…”, ini adalah contoh
empati emosional.
Pemahaman kognitif
Empati
atau pemahaman kognitif diperlukan agar kita dapat bertahan dalam dunia
sosial yang sangat kompleks. Kita belajar dari dan menganalisis situasi yang
dihadapi orang lain atau ada di hadapan kita untuk dapat mengatasi persoalan.
Bila
orang kuat dalam empati atau pemahaman kognitif tapi tidak punya empati
emosional, ia dapat menjadi orang yang kompetitif, tidak peduli, dan
melakukan pelanggaran-pelanggaran yang merugikan orang lain. Ini karena fokus
perhatiannya adalah mencari pengetahuan untuk dapat menemukan peluang dan
cara-cara menguasai kompleksitas hidup, bagaimana bisa memperoleh yang paling
maksimal dengan cara yang paling strategis.
Orang
yang kuat dengan dominasi pengetahuan kognitif, tetapi berkekurangan empati
emosional, mungkin tidak mengalami kebingungan menghadapi dunia sosial. Bisa
jadi ia justru punya keterampilan sosial yang tinggi dan terlihat menarik.
Mereka punya pemahaman kognitif yang baik sehingga memberikan kesan seolah
sensitif atau peduli akan emosi orang lain, tetapi sebenarnya tidak demikian.
Karena tidak punya empati emosional, orang-orang seperti ini tidak punya
hambatan untuk mengambil manfaat atau melukai orang lain, sulit merasa
bersalah, mudah berbohong, tidak punya perasaan (Millon, Grossman, Millon,
Meagher, & Ramnath, 2004).
Ada
pula orang yang mungkin tidak memiliki empati kognitif ataupun empati
emosional. Orang seperti ini mungkin mengalami kebingungan memahami
kehidupan, tidak mengerti bagaimana harus menipu dan memanipulasi orang lain.
Tetapi, ia juga tidak mampu menghayati perasaan dan pengalaman orang lain.
Mungkin saja ia melakukan kejahatan atau melukai orang lain. Tetapi, karena
bukan orang yang pandai memanipulasi dan mengelabui, barangkali ia jadi orang
suruhan saja, atau ikut-ikutan dalam kelompok, bukan jadi pemimpin atau otak
kejahatan.
Empati emosional
Jadi,
empati yang selama ini sering kita bahas sebenarnya menunjuk pada empati
emosional. Tidak cukup untuk memiliki empati kognitif saja. Untuk hidup yang
manusiawi, sangat penting untuk kita juga memiliki empati emosional, bisa
merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain: ikut gembira ketika orang lain
mengalami keberhasilan dan mampu menghayati sakit dan kesedihan yang
dirasakan orang lain. Memang empati emosional yang sangat tinggi bisa
mengganggu juga. Bayangkan bila kita mudah sekali tertular emosi negatif
(sedih, takut, marah) atau sangat peka akan situasi yang dihadapi orang lain.
Mungkin itu akan mengganggu dalam memfokuskan perhatian pada tugas-tugas kita
dalam mengatasi persoalan yang kita hadapi sendiri.
Bagaimana
penjelasannya, hingga ada orang yang tidak memilikinya, dan mampu melakukan hal-hal
sangat buruk kepada orang lain? Ada yang menjelaskan, kepribadian anti sosial
mungkin merupakan strategi perkembangan dari individu yang rentan secara
genetik akibat dipicu pola pengasuhan yang kacau atau buruk (Murphy &
Stich, 2000; Stevens & Price, 1996). Orang yang punya keterampilan tinggi
memahami kondisi mental orang lain tetapi tidak punya empati emosional diduga
mengembangkan karakteristiknya sebagai bentuk strategi hidup.
Otak-atik
kita yang dimulai dengan keheranan menjelaskan fenomena begal motor akhirnya
merembet pada kasus-kasus kejahatan lain hingga kejahatan terorganisasi.
Pelaku begal bisa jadi (meski tidak selalu) orang yang rendah dalam pemahaman
akan situasi mental dan dalam empati akan kondisi emosional orang lain.
Tetapi, orang yang berkehendak melakukan kejahatan canggih barangkali justru
orang yang punya kemampuan tinggi dalam memahami kondisi mental orang lain.
Muncul
pertanyaan-pertanyaan baru: apakah penjelasan tidak ada atau hilangnya empati
emosional selalu harus dikembalikan pada pola pengasuhan (individu) di masa
kanak? Bagaimana dengan peran lingkungan sosial atau konteks lebih makro di
masa remaja atau dewasa? Mengapa bahkan ada orang yang bersusah payah memilih
untuk bergabung dengan kelompok yang mengambil ideologi kekerasan sebagai
dasar eksistensinya (seperti NIIS)?
Memang
masih banyak yang belum dapat dijelaskan. Diperlukan psikologi yang
interdisiplin, yang terpapar pada berbagai cara berpikir dari disiplin ilmu
lain, untuk dapat menjelaskan berbagai fenomena sosial khusus secara lebih
komprehensif, dan menelurkan rekomendasi penanganan yang lebih tepat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar