Upaya
Pencegahan Darurat Narkoba Indonesia
Fathurrohman ; Analis Kejahatan
Narkotika
|
MEDIA
INDONESIA, 24 Februari 2015
DALAM kurun waktu kurang dari dua
bulan, Badan Narkotika Nasional (BNN) kembali melakukan pengungkapan kasus
besar. Saat masyarakat Indonesia masih merasakan kehangatan datangnya 2015,
BNN melakukan penangkapan terhadap 9 tersangka, 4 WNI dan 5 WNA. Barang bukti
diperoleh dengan jumlah fantastis 862 kg di Jakarta Barat. Raihan tersebut
ialah yang terbanyak dalam proses penyelidikan di Indonesia. Sebelumnya, BNN
mengamankan sejumlah tersangka dengan barang bukti ganja asal Aceh sebanyak
8,8 ton di Pekanbaru tujuan Jakarta. Di November 2014, BNN juga berhasil
mengamankan sabu dengan jumlah besar, yaitu 151,5 kg di Jakarta Barat, dengan
jumlah tersangka 3 WNA.
Dalam dua bulan, jumlah sabu dari
dua TKP tersebut ialah 1.013,5 kg. Kalau pengguna sabu per gramnya untuk 4
orang, 1.013.500 gram dapat digunakan untuk 4.054.000 orang. Jika pengguna
aktif menggunakan sabu dalam satu bulan sebanyak 4 kali sebanyak 1 gram,
dalam satu tahun pengguna tersebut menggunakan 91 gram. Artinya, sabu 1,013
ton yang dapat disita BNN akan habis dalam satu tahun jika digunakan 11.130
pengguna aktif.
Pasar di Indonesia
Tingginya jumlah konsumen dan disparitas
harga yang tinggi tinggi menjadi rangsangan besar bagi para pebisnis narkoba
untuk memasarkan produk haram tersebut di Indonesia. Harga pasar sabu di
Indonesia lebih dari dua kali lipat jika dibandingkan dengan harga di
Malaysia dan Tiongkok. Narkoba menjadi ancaman serius karena Indonesia
memenuhi syarat keseriusan tersebut.
Berdasarkan penelitian BNN dan
Puslitkes UI 2014, angka prevalensi penyalah guna narkoba di Indonesia 4 juta
orang dengan rincian 1,6 juta ialah mereka yang mencoba-coba, kemudian 1,4
juta pemakai teratur, dan 943 ialah pecandu. Selain itu, penelitian tersebut
mendapatkan temuan bahwa pengguna narkoba diidentifi kasi sebanyak 20% tidak
bekerja, 25% ialah pelajar dan mahasiswa, dan 56% orang yang sudah bekerja
(karyawan, pegawai pemerintah, dan wiraswasta). Kemudian, yang menjadi
persoalan besar ialah temuan 12.044 orang per tahun meninggal atau 33 orang
per hari meregang nyawa yang diakibatkan narkoba.
Fakta lainnya dan ini menjadi
persoalan besar tersendiri dari hasil penelitian BNN-Puslitkes UI 2014 ialah
75% peredaran narkoba dikendalikan dari dalam lembaga pemasyarakatan (LP).
Narapidana yang di penjara, berada dalam pengawasan petugas selama 24 jam,
lalu menjadi pengendali utama atas peredaran narkoba sebanyak 75% ialah sesuatu
yang sangat memprihatinkan.
Perhatian utama tentu ditunjukkan
kepada jajaran Ditjen Pemasyarakatan Kemenkum dan HAM yang menjadi penanggung
jawab atas pengelolaan LP di Indonesia. Diperlukan petugas berintegritas,
bermoral, berkomitmen, dan sungguh-sungguh dalam melaksanakan tugasnya
sebagai penanggung jawab LP. Secara revolusioner, Kemenkum dan HAM harus
concern terhadap persoalan ini. Jika upaya yang dilakukan hanya pada tataran
normatif, prosedural, reguler, dan pelaksana tugasnya ialah jajaran Ditjen Pas
seperti saat ini, LP akan menjadi persembunyian istimewa bagi para bandar dan
menjadi university of crime bagi
penghuni pemula LP. Terdapat kesepakatan nilai bahwa pemain narkoba mempunyai
prestise yang berbeda dengan berdasarkan LP yang dihuninya. LP Cipinang dan
Nusakambangan ialah pemain narkoba ‘kelas teratas’.
Masuknya narkoba sejumlah 151,5 kg
dengan cara diselundupkan melalui ‘kargo legal’ pada November 2014
mencerminkan adanya persoalan besar dalam proses importasi di Indonesia.
Paket 151,5 kg diselundupkan ke dalam manisan yang dikirim dari Tiongkok
menuju Port Klang, Malaysia, lalu diteruskan ke Indonesia melalui Pelabuhan
Dumai. Dari Dumai paket dikirim ke Jakarta via jalur darat. Artinya, sabu
sebanyak 151,5 kg ternyata tidak terdeteksi baik secara teknologi intelijen
atau pun human intelijen yang dimiliki petugas. Petugas Bea dan Cukai dalam
hal ini ‘kecolongan’ dengan importasi sabu dalam manisan tersebut.
Masuknya sabu ke Indonesia
sebanyak 862 kg dengan cara transaksi `terbuka' di laut Jakarta menunjukkan
kedaulatan wilayah teritorium Indonesia sedang dalam persoalan serius.
Indonesia seolah menjadi kawasan terbuka dalam upaya penyelundupan
narkoba.Kondisi geografis laut kita yang terbuka menjadi masalah besar dalam
upaya penyelundupan barang laknat ini.
Seperti yang dilansir
Chinadaily.com.cn (4/12/2014), bahwa pengungkapan sabu sebanyak 151,5 kg
ialah hasil kerja sama antara Kepolisian Tiongkok dengan BNN. Begitu pun
dalam upaya pengungkapan sabu sebanyak 862 kg ialah hasil kerja sama BNN
dengan China NNCC dan Narcotics Bureau
of Hong Kong Police. Kerja sama tersebut menjadi poin positif dalam upaya
pemberantasan yang dilakukan BNN mengingat Tiongkok menjadi salah satu sumber
narkoba di Indonesia.
Dalam hal kerja sama dengan negara
luar, pemerintah melalui BNN harus melakukan upaya serius untuk melakukan
kerja sama dengan Malaysia karena lalu lintas penyelundupan narkoba dari
negeri jiran ini tergolong besar. Beberapa kali pengungkapan penyelundupan
sabu yang dapat diungkap berasal dari Malaysia, baik ke wilayah Sumatra Utara
dan Aceh melalui Selat Malaka, di Sebatik-Nunukan dari Tawau Malaysia,
ataupun melalui jalur darat di sepanjang perbatasan Kalimantan Barat dan
Kalimantan Timur.
Upaya pencegahan
Dalam konteks pemberantasan
narkotika, akhir-akhir ini BNN telah menunjukkan keberhasilannya. Sebagai
organisasi baru dengan kewenangan penyidikan BNN hanya ada di tingkat pusat
dan provinsi, BNN telah cukup sukses memutus jaringan narkotika. Berbeda
dengan Polri yang mempunyai unit narkotika (narkoba) secara lengkap dari
level pusat (Mabes Polri) hingga level polsek (kecamatan).
Sebagai focal point persoalan narkotika di Indonesia, BNN mempunyai peran
strategis persoalan narkotika dari hulu hingga hilir. Sebagaimana amanat UU,
BNN juga bertanggung jawab dalam upaya pencegahan. Harga narkoba di Indonesia
yang tinggi dan permintaan pasar yang masih besar, banyak menunjukkan upaya
pemberantasan telah cukup berhasil dan namun upaya pencegahan belum
berhasil.Jika harga tinggi dan dibarengi dengan permintaan pasar yang
sedikit, hal tersebut menunjukkan upaya pencegahan cukup berhasil.
Upaya pencegahan harus dilakukan
dengan pendekatan yang ilmiah, segmented,
dan berdasarkan persoalan-persoalan khusus karena tiap daerah mempunyai
persoalan narkoba yang berbeda (local
minded). Misalnya upaya pencegahan di daerah perbatasan Indonesia dengan
Malaysia di sepanjang perbatasan darat Kalimantan maka model pencegahan
menjadi berbeda dengan persoalan narkoba di Jakarta.
Upaya pencegahan menjadi berbeda
dan bergantung objek pencegahan tersebut. Situasi sosial ekonomi, tingkat
pendidikan, lokasi, atau kelompok komunitas harus dilihat sehingga program
tepat sasaran.Indikator keberhasilan program pencegahan juga harus dilakukan
agar program menjadi lebih terukur dan tepat sasaran. Institusi pendidikan
seperti sekolah, perguruan tinggi, atau pondok pesantren bukan hanya harus
bebas narkoba, melainkan juga menjadi partner aktif dalam upaya mencegah
kejahatan luar biasa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar