Uji
Publik Calon Kepala Daerah
Farouk Muhammad ; Wakil Ketua
DPD RI
|
KORAN
SINDO, 11 Februari 2015
Salah satu isu penting yang menjadi sorotan dalam kerangka
revisi Undang- Undang (UU) tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota
adalah uji publik calon kepala daerah. Dalam UU tersebut, uji publik
ditujukan kepada bakal calon kepala daerah sebelum penetapan dan pengajuan
sebagai calon di mana hasilnya menjadi salah satu syarat pencalonan kepala
daerah. Uji publik dilaksanakan oleh tim independen yang dibentuk oleh
penyelenggara pilkada yang anggotanya meliputi unsur akademisi, tokoh
masyarakat, dan penyelenggara.
Tersirat dalam UU bahwa uji publik dimaksudkan untuk
memperkuat pelibatan atau partisipasi publik dalam penjaringan calon kepala
daerah sejak penentuan bakal calon oleh partai politik dan perseorangan,
sehingga di satu sisi publik (pemilih) akan sejak dini ”menyeleksi” calon
terbaik sebagai kepala daerahnya dan di sisi lain partai politik didorong
semakin selektif, transparan, dan akuntabel dalam mengajukan calon kepala
daerah.
Pesan implisit konsep uji publik adalah upaya untuk
meminimalisasi oligarki partai dalam menentukan calon kepala daerah—yang
selama ini ditengarai lebih menonjolkan pertimbangan popularitas dan modal
(materi) ketimbang kualitas dan kapabilitas.
Pro-Kontra
Konsep uji publik telah diintroduksi dalam UU Nomor 22/2014
maupun Perppu No 1/2014 yang menganulir UU Nomor 22/2014 tersebut. Artinya
ada kesepahaman pembentuk UU (DPR, DPD, dan Pemerintah) bahwa uji publik
perlu diangkat menjadi norma UU.
Penulis menjadi pihak yang terlibat dalam pembahasan
materi ini dalam kapasitas saat itu sebagai Ketua Timja RUU Pilkada DPD RI.
Bahkan, uji publik sejak awal merupakan konsepsi yang secara resmi diusulkan
oleh DPD dan penulis menuangkan konsepsi tersebut dalam norma undang-undang
secara utuh yang kemudian berkembang dalam dinamika pembahasan.
Mayoritas Fraksi DPR dan Pemerintah pada saat pembahasan
UU Nomor 22/ 2014 mendukung gagasan DPD tersebut sebagai satu bentuk ikhtiar
untuk mendapatkan calon terbaikdari sejumlah bakal calon yang mendaftar atau
didaftarkan oleh partai politik dan perseorangan.
Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa esensi pilkada
adalah menghadirkan pemimpin daerah yang berkualitas dalam rangka
mendinamisasi dan memajukan daerah. Pemimpin yang demikian dapat diperoleh
jika dibuka ruang yang memadai bagi publik untuk mengetahui dan menguji rekam
jejak (track record) dan integritas serta kompetensi bakal calon sebelum
dicalonkan sebagai kepala daerah.
Gagasan uji publik pada dasarnya juga merupakan refleksi
terhadap hasil pilkada selama ini. Kita tidak bisa menutup mata bahwa banyak
calon yang diajukan oleh partai politik maupun perseorangan sebenarnya
bukanlah calon terbaik. Hanya karena publik tidak memiliki ruang yang
menentukan, mereka tidak memiliki (alternatif) pilihan lain.
Sementara proses penentuan calon merupakan hak prerogatif”
partai politik, yang sayangnya lebih bernuansa oligarkis, nir-public
discourse, dan lebih menonjolkan popularitas dan modal ketimbang kualitas dan
kapabilitas. Uji publik berusaha mengatasi hal tersebut sehingga ruang publik
turut serta dalam menentukan calon yang terbaik menjadi semakin luas.
Belakangan sayup terdengar norma uji publik ini termasuk
yang akan direvisi dengan argumentasi bahwa uji publik merupakan hak dan
kewenangan partai politik dalam proses penjaringan bakal calon, sebagaimana
langgam yang berlaku selama ini. Bukankah salah satu fungsi partai politik
adalah rekrutmen politik, termasuk rekrutmen calon pejabat publik?
Jika tim independen memiliki kewenangan untuk memberikan
penilaian lalu merekomendasikan bahkan dapat menentukan layak atau tidak
layak bakal calon, lalu di mana letak kewenangan partai politik sebagai salah
satu pilar demokrasi? Uji publik juga menjadikan tahapan pemilu menjadi lebih
panjang mengingat penambahan jadwal sebelum pencalonan.
Uji publik dikhawatirkan menjadi ajang menjatuhkan
karakter seseorang sehingga gagal atau batal dalam pencalonan. Toh publik
pemilih telah memiliki ruang yang menentukan selama masa kampanye hingga
saatnya menjatuhkan pilihan pada calon kepala daerah yang menurut mereka
terbaik di bilik suara.
Uji Publik Berkualitas
Pertanyaannya, bagaimana konsep uji publik yang secara
objektif menguntungkan publik dan menghasilkan kepala daerah yang
berkualitas? Mengingat UU tidak—atau paling kurang belum—menjabarkan konsep
uji publik tersebut. Penulis dapat memahami karena mungkin materi muatan
tersebut akan dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan penyelenggara pilkada.
Penulis berpendapat, kita harus memahami terlebih dahulu
esensi (dan urgensi) uji publik. Esensinya adalah pelibatan publik sehingga
publik menjadi sentral dalam proses-proses pilkada. Pesannya, setiap calon
harus berasal ”dari publik, oleh publik, dan untuk publik” sebagaimana kredo
demokrasi yang kita pahami bersama: ”dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat”.
Partai politik sebagai agen rekrutmen politik harus
diletakkan dalam kerangka tersebut, bahwa parpol sejatinya adalah publik itu
sendiri: lahir dari dan bekerja untuk publik. Mana ada parpol yang berani
mengabaikan publik, karena jika itu terjadi sama saja sedang menggali kubur
sendiri.
Dengan demikian uji publik dapat diterima sebagai upaya
untuk menangkap segala kepentingan, kebutuhan, dan harapan publik, yakni:
kepala daerah yang berkualitas. Pelaksanaan uji publik terhadap bakal calon kepala
daerah sama sekali tidak ada ruginya, bahkan justru menguntungkan
partaipolitikkarenaruanguntuk seleksi yang selama ini dilakukan oleh partai
politik menjadi difasilitasi oleh negara dalam ruang publik yang lebih luas.
Partai politik dapat mengajukan sebanyak mungkin bakal
calon untuk diseleksi awal (pre-eliminary
selection), bukan saja untuk mengukur bakal calon yang lebih diminati
publik, tapi juga bisa memprediksi bakal calon yang diperkirakan menang. Hal
ini jelas mengatasi ”mahalnya” ongkos pencalonan—mulai dari sulitnya
mendapatkan calon yang tepat hingga gesekan persaingan antarcalon—yang selama
ini (juga) banyak dikeluhkan partai politik.
Pemahaman tersebut
selanjutnya menjadi kerangka pengaturan uji publik dalam regulasi
penyelenggaraan pilkada. Secara substansi, fokus uji publik adalah untuk
menguji dua aspek utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Pertama,
aspek kompetensi meliputi seluruh pengetahuan, wawasan, dan keterampilan
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Kedua, aspek integritas meliputi sikap, perilaku, dan
karakter yang lekat pada bakal calon kepala daerah yang bisa dilihat dari
rekam jejak selama berkecimpung dalam aktivitas publik. Dua aspek inilah yang
sesungguhnya merupakan intisari dari konsep leadership (kepemimpinan) yang
sayangnya sering diabaikan dalam proses seleksi kepala daerah yang lebih
menonjolkan aspek popularitas dan modal (materi).
Jalan Tengah: Publik dan Partai
Secara prosedural, proses uji publik dilaksanakan oleh
suatu panel independen yang dibentuk oleh penyelenggara pilkada di mana panel
memiliki kewenangan untuk secara aktif membuka dan menerima masukan publik
terhadap bakal calon kepala daerah.
Harus dipastikan waktu yang memadai agar panel dapat
menggali, menerima, dan menguji- silang informasi publik terkait aspek
kompetensi dan kapabilitas para bakal calon kepala daerah. Dengan kewenangan
demikian, lazimnya panel memiliki hak untuk memberikan sertifikasi apakah
bakal calon layak (qualified) atau
tidak layak (unqualified).
Akan tetapi, mengingat hal ini akan menimbulkan resistensi
dari partai politik sebagai peserta pilkada, jalan tengah yang mungkin dapat
dilakukan adalah panel diberi kewenangan untuk secara proaktif mengungkapkan
data yang ditemukan kepada publik secara objektif tanpa menjustifikasi layak
atau tidak layak. Dengan demikian publik yang akan menentukan apakah yang
bersangkutan layak atau tidak menjadi calon kepala daerah.
Proses uji publik yang dilakukan secara konsisten dan
profesional niscaya akan menghasilkan demokrasi pemilihan kepala daerah yang
lebih matang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar