Korea
Utara dan KAA
Dinna Wisnu ; Co-Founder
& Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
|
KORAN
SINDO, 11 Februari 2015
Konferensi Asia Afrika (KAA) akan diselenggarakan pada
19-24 April 2015 di Bandung. Selain untuk ajang berkumpul negara-negara
anggota, konferensi kali ini sekaligus memperingati 60 tahun terselenggaranya
acara yang sama di tempat yang sama.
Konferensi ini mengandung makna historis mendalam karena
ia dimulai sebagai ajang untuk mendorong gerakan dekolonisasi oleh 29 negara
dan pada akhirnya KAA menghimpun lebih dari 100 negara di dunia. Tambahan
lagi, KAA juga menggerakkan kegiatan solidaritas negara-negara berkembang
yang miskin dan terhimpit oleh pertarungan kepentingan antara dua negara
besar, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Banyak pihak yang melihat bahwa konferensi ini kemungkinan
hanya sebatas seremonial belaka, karena dalam kenyataannya negaranegara Asia
dan Afrika tidak lagi sama postur politik dan ekonominya dibandingkan 60
tahun yang lalu. Ada negara-negara Asia dan Afrika yang berkembang dan maju
seperti Republik Rakyat China, Jepang, India, Indonesia, Thailand, tetapi ada
juga yang masih tertinggal seperti Etiopia, Sudan, Laos, dan juga termasuk
Korea Utara.
Korea Utara adalah negara yang cukup kontroversial pada
saat ini, karena tingkah laku politik luar negeri yang terus memancing
perhatian dunia dan meresahkan, khususnya bagi Amerika Serikat dan
tetangganya, Korea Selatan. Negara-negara Barat telah mengeluarkan puluhan
sanksi ekonomi, politik, dan militer kepada Korea Utara, namun hingga kini
negara tersebut tetap bergeming sesuai yang diinginkan.
Tekanan terakhir setelah meninggalnya Kim Jong-il adalah
sanksi dari Dewan Keamanan PBB No UNSCR 2094/2013 sebagai reaksi atas
percobaan nuklir bawah tanah. Sanksi ini sendiri memuat tentang larangan atau
pembekuan aset terhadap individu dan perusahaan untuk melakukan bisnis mereka
di Eropa dan Amerika serta negaranegara lain.
Rangkaian sanksi tersebut memiliki tujuan untuk
mengisolasi Korea Utara dari pergaulan dengan negara-negara lain, terutama
dalam perdagangan dan politik luar negeri. Terkait dengan tujuan tersebut,
rencana kedatangan Korea Utara ke Bandung pada bulan pelaksanaan KAA telah
mengundang perhatian banyak pihak terutama dari diplomat Barat.
Mereka memiliki harapan supaya Indonesia juga dapat
memberikan tekanan kepada Korea Utara agar seirama dengan tekanan yang
dilakukan oleh dunia internasional. Apakah pemerintah Indonesia memiliki
keinginan untuk turut serta menekan Korea Utara untuk mengubah perilakunya?
Sejauh mana tekanan itu bermanfaat dan apa dampaknya bagi kepentingan
strategi di masa depan?
Sejauh ini pemerintah Indonesia tampaknya akan tetap
mengundang Korea Utara dalam konferensi di Bandung. Dalam sejarahnya,
pemerintah Korea Utara memiliki hubungan baik dengan Indonesia. Megawati
Soekarnoputri adalah presiden pertama di Asia yang mengunjungi Korea Utara
setelah negara itu disebut sebagai Poros Setan oleh Presiden Amerika Serikat
George Bush.
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa tahun lalu juga
menghabiskan tiga harinya di Korea Utara untuk mendiskusikan peningkatan
kerja sama ekonomi di antara kedua negara. Fakta-fakta ini bisa menjadi
petunjuk bahwa Indonesia lebih menyukai diplomasi Timur yang lebih luwes.
Diplomasi yang luwes terhadap negara-negara tertentu seperti Iran dan Suriah,
juga dilakukan oleh Indonesia.
Saya berpendapat bahwa diplomasi semacam ini bisa menjadi
penyeimbang dari diplomasi yang menuntut tekanan dan sanksi. Dalam sejarah,
sanksi dan tekanan terhadap sebuah negara jarang yang membuahkan hasil
positif. Efektivitas sanksi kadangkadang tidak menimbulkan reaksi yang
diharapkan bahkan justru merugikan warga di dalam negerinya.
Contohnya terkait dengan sanksi ekonomi terhadap Korea
Utara, Hugh Griffiths dari Stockholm International Peace Institute yang
menyelidiki sanksi terhadap Korea Utara, menemukan bahwa sanksi ekonomi
diragukan efektivitasnya. Perusahaan yang mendapat sanksi memang mendapat
kesulitan, tetapi masih banyak perusahaan negeri itu yang tercatat di luar
negeri.
Mereka bisa menggunakan identitas lain dan akan tetap
bertahan. Sebanyak 75% entitas bisnis dan individu terdaftar di luar badan
hukum Korea Utara, demikian informasi dalam laporan tersebut. Ada pula dugaan
bahwa sanksi ekonomi itu juga lebih banyak merugikan warga Korea Utara,
sementara kaum elite tetap dapat bertahan.
Hal ini menimbulkan dampak lain berupa krisis kemanusiaan
di mana warga Korea Utara justru dirugikan. Centre for Research on Globalization (CRG) menemukan juga bahwa
isi sejumlah resolusi sanksi terhadap Korea Utara sangat luas
interpretasinya, sehingga barang-barang yang menyangkut kesehatan atau
fasilitas sarana yang dibutuhkan agar warga negara dapat bertahan hidup juga
mendapat embargo.
Lembaga riset itu memberi contoh: penggunaan kata ”dapat
(could) ” secara berlebihan terusmenerus terlihat dalam ketentuan sanksi, di
mana kata tersebut berarti dapat dipakainya suatu instrumen tertentu (sebagai
bentuk sanksi) dan di sini ketentuan maknanya samar-samar (vague ), sebatas
ada ”reasonable grounds to believe”
(alasan yang masuk akal untuk meyakini sesuatu), sehingga tidak diperlukan
standar bukti yang tinggi atau bukti-bukti nyata apa pun, semata bergantung
pada keyakinan (belief ) yang subjektif yang dapat didasarkan pada atau
dipengaruhi oleh distorsi akibat bias politik (Global Research, 10/1/2014).
Kritik terhadap sanksi sebetulnya juga pernah disampaikan
oleh Sekjen PBB Kofi Annan. Ia dalam sebuah seminar Perdamaian Internasional
di Kanada tahun 2000 berpendapat bahwa ”sama seperti kita mengenali
pentingnya sanksi sebagai cara menjalankan kehendak masyarakat internasional,
kita juga patut mengenali bahwa sanksi merupakan instrumen kebijakan yang
tumpul, yang merugikan sejumlah besar orang yang justru bukan merupakan
target kebijakan itu sendiri.”
Sejak pidato tersebut, ada upaya untuk menjatuhkan smart-sanctions,
yaitu sanksi terbatas terhadap individu atau perusahaan. Namun seperti yang
diungkapkan oleh CRG, bahasa dalam sanksi begitu luas dan lentur untuk
diinterpretasikan.
Walaupun ada juga analis yang mengatakan bahwa semua
sanksi pasti menimbulkan biaya yang tidak diinginkan, Daniel Drezner (2010)
mengutip pernyataan Michael Brzoska yang menyatakan bahwa embargo senjata
menyebabkan biaya pencarian senjata meningkat dan mengurangi juga anggaran
kesejahteraan warganya.
Larangan terhadap transportasi laut dan udara juga
mengakibatkan lalu lintas perdagangan obat-obatan dan makanan menjadi
terhambat. Dengan kata lain, mereka ingin mengatakan bahwa tidak ada yang
dapat mengontrol sejauh mana sanksi menimbulkan konsekuensi. Smart atau tidak
smart sama-sama merugikan non-targeted sektor.
Hal-hal seperti ini patut dikomunikasikan secara lebih
luas sebagai dasar pilihan sikap Indonesia, baik sebagai suatu negara maupun
sebagai anggota dan pelopor KAA. Semoga dengan demikian, baik Indonesia
maupun KAA justru membawa angin segar bagi relasi antar negara! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar