Siapa
Pejabat Negara?
Said Zainal Abidin ; Guru
Besar STIA LAN
|
DETIKNEWS,
17 Februari 2015
Putusan perkara praperadilan yang diajukan Kombes Polisi
Budi Gunawan terhadap keputusan KPK sebagai tersangka, sebagian diterima oleh
majelis hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, S. Rizaldi, SH, MH.
Salah satu butir yang diterima adalah pencabutan Keputusan KPK terhadap BG
sebagai tersangka. Alasannya, karena BG belum menjadi pejabat negara pada
waktu terjadinya kasus yang dituduhkan itu, karena pada waktu itu BG masih
Eselon II/A, belum menjadi Eselon I.
Karena hakim mengambil jalan tengah dan demi ketenangan
situasi yang lagi keruh, putusan itu patut dihargai. Apalagi KPK juga
menghormati putusan Pengadilan tersebut. Namun demi kebenaran pertimbangan
tentang sesuatu istilah yang digunakan hakim, saya ingin sedikit
mempertanyakan tentang hal tersebut.
1. Khusus tentang kasus yang berkenaan dengan pejabat
negara yang disebutkan hakim dalam pasal 11 UU No. 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal tersebut selengkapnya berbunyi: “ Dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda
paling sedikit Rp. 50. 000.000,00 (lima puluh juta rupiah dan paling banyak
250.000.000.00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau
patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan
atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran
orang yang memberi hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan
jabatannya”.
Dalam hal ini penerimaan sesuatu suap atau pemberian
apapun yang diterima pegawai negeri karena terkait dengan jabatannya termasuk
yang tidak boleh diterima. Pengertian pegawai negeri dalam pasal ini jelas
tidak mesti sebagai Pejabat Eselon I.
2. Dalam pembacaan putusannya, khususnya tentang
pengertian Pejabat atau Penyelenggara Negara, Bapak Hakim telah merambah ke
bidang lain di luar hukum. Beliau merambah ke ranah ilmu kebijakan publik
(public policy science). Perambahan itu tentu saja hak hakim sepenuhnya,
tetapi pengertian dari istilah Pejabat Negara, menurut ilmu kebijakan publik
tidak terbatas hanya sebagai Pejabat Eselon I. Setiap instansi mempunyai
standar yang berbeda.
Yang dipakai sebagai ukuran adalah muatan kebijakan yang
terkandung dari jabatan dimaksud. Boleh jadi Pejabat Eselon II pada
Departeman dalam Negeri dapat dianggap sebagai Pejabat Negara, karena jabatan
itu mengandung muatan kebijakan publik. Misalnya Sekretaris Daerah Kabupaten
atau Kotamadya. Hal mana dapat berbeda pada Eselon II Departemen Luar Negeri
yang kandungan politiknya lebih sarat dari pada departemen lain.
Pertanyaannya, apakah BG ketika menjabat sebagai pejabat
eselon II termasuk pejabat negara atau bukan? Dengan perkataan lain, apakah
jabatan yang disandang beliau pada waktu terjadinya kasus yang dituduhkan
kepadanya mengandung wewenang untuk membuat keputusan atau kebijakan yang
berdampak publik? Kalau tidak mengandung kewenangan itu, mengapa ada orang
yang mau memberikan gratifikasi seperti yang dituduhkan KPK tersebut?
Demikian, semoga dapat memperjelas kerancuan dalam
masyarakat yang menganggap seolah-olah sebelum menjadi pejabat eselon I,
semua orang boleh menerima gratifikasi atau suap sekalipun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar