Revolusi
Moral Hukum
Thomas Koten ; Direktur
Social Development Center
|
SINAR
HARAPAN, 16 Februari 2015
Quid leges sine moribus, sebuah ungkapan Latin; apa
artinya hukum, jika tidak disertai moralitas? Selanjutnya, bagaimana kita
bisa menantikan terpatrinya supremasi hukum di negeri ini jika moralitas hukum telah mengalami
kematiannya? Bagaimana kita dapat mengharapkan derap langkah hukum diarahkan
untuk memuliakan tatanan berbangsa dan bernegara, jika yang ditampilkan adalah kegaduhan politik
dan pelampiasan kehausan akan polaritas dan kekuasaan hukum?
Itulah pertanyaan sekaligus kekhawatiran publik yang
pantas diajukan ke hadapan para penegak hukum kita. Khususnya di KPK dan
kepolisian, dalam kaitan penetapan Kapolri Komjen Budi Gunawan sebagai
tersangka kasus korupsi dan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto dalam kasus
pemberian keterangan palsu pada Pilkada Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah.
Dlam penilaian publik, kasus-kasus tersebut ada nuansa drama politisasi hukum
yang dimainkan para penegak hukum.
Sebuah drama politisasi hukum yang mengekspresikan nurani
dan moralitas hukum kita telah mati oleh berbagai kepentingan. Adalah
perilaku-perilaku para aparat penegak
hukum yang menambah panjang deretan ketidakpuasan dan keputusasaan
publik terhadap penegakan hukum di negeri ini. Belum lagi banyak kasus lain
yang tidak henti-hentinya melukai rasa keadilan publik oleh ulah para penegak
hukum itu.
Pertanyaannya, bagaimana kita mengelaborasi persoalan
hukum yang menohok rasa keadilan publik ini, semakin menjauhkan bangsa ini
dari niatan untuk membangun keadaban dan beradaban kemanusiaan modern yang
diharapkan bermula dari ranah hukum itu? Inilah pertanyaan penting yang perlu
dijawab. Esai ini lebih bermuara pada perlunya revolusi moral hukum kita di
tengah kematian moralitas hukum yang sudah tidak terbantahkan.
Kematian Moralitas Hukum
Semua kasus hukum yang tidak henti-hentinya menyembulkan
kecurigaan dan mencederai rasa keadilan publik selama ini tidak lain
memotretkan arogansi kekuatan dalam jaring-jaring kekuasaan dan kematian
moralitas hukum. Moralitas yang
seharusnya melekat pada aparat penegak hukum yang ditampilkan lewat penegakan
hukum kini semakin jauh panggang dari api. Itulah yang membuat aparat penegak
hukum di negeri ini senantiasa dinilai tidak memiliki nurani dan kepekaan
moral.
Sebenarnya, kredibilitas penegakan hukum di negeri ini
sudah hampir berada di titik nadir. Cibiran dan cemoohan publik di Tanah Air
terhadap aparat penegak hukum yang tidak memiliki nurani itu juga sebenarnya
sudah mencolok.
Namun, mereka seperti masa bodoh atau karena tidak lagi
memiliki rasa malu? Semoga tidak! Malanglah negeri ini jika aparat penegak
hukum kita tidak lagi memiliki rasa malu serta telah kehilangan nurani dan
tumpul kepekaan moralnya terhadap jeritan publik soal keadilan yang masih
jauh dari mimpi. Jadu, betapa kasihannya publik atau rakyat negeri ini jika
suap dan korupsi besar-besaran terus terjadi di tingkat elite. Sementara itu,
para aparat penegak hukum terus mengerjakan hukum dengan berbantalkan
kepentingan sebagai ekspresi kehausan akan polaritas dan kekuasaan hukum.
Itulah yang membuat kematian moralitas hukum kita semakin
tak terbantahkan. Moralitas yang hakikatnya berorientasi pada penciptaan
keadilan publik sebagai bentuk pengabdian kepada rakyat kian lenyap.
Akibatnya, korupsi, suap, dan konflik kepentingan di ranah sosial dan politik
tetap meluas di lembaga-lembaga negara yang tambah memprihatinkan. Ujungnya,
berbagai upaya perbaikan birokrasi dan organisasi sosial politik tampak
sia-sia. Komisi-komisi dibentuk, organisasi antikuropsi didirikan, pejabat
terus diganti, tetapi semuanya tampak tidak berarti lantaran korupsi dan suap
jalan terus.
Kita pun semakin tidak mengerti mengapa semua itu
berlanjut dengan tingkat yang semakin memprihatinkan, yang membuat
terkoyaknya rasa keadilan publik. Pembaca mungkin masih ingat tahun 2011
terjadi peristiwa tuduhan mencuri sandal jepit yang dilakukan AAL (15) di Palu. Hal ini serta-merta
membuat rakyat tersinggung dan marah sehingga rakyat di berbagai daerah
menyumbangkan ribuan sandal jepit untuk sang tertuduh. Sangat tidak lucu
ketika koruptor kelas kakap yang membangkrutkan negara dibebaskan atau dihukum
sangat ringan, sedangkan pencuri kakao, singkong, sarung, atau anak ayam
dijebloskan ke dalam jeruji besi, katanya demi keadilan?
Kasus pengadilan atau kasus hukum seperti itu persis
dipraktikkan di zaman kolonial. Praktek hukum yang menindas dan penuh dengan
bau amis kepentingan menunjukkan berlanjutnya struktur dan mental
kolonialisme dalam pemerintahan Indonesia hingga kini. Para aparat penegak
hukum yang semestinya menegakkan keadilan dan membangun keadaban publik malah
tak henti-hentinya mengerjakan hukum secara tebang pilih. Reformasi yang
selama ini didengungkan ternyata hanyalah semu.
Revolusi Moral Hukum
Untuk mengembalikan moralitas hukum dan atau mewujudkan
moralitas hukum, pertama, harus dilakukan revolusi moral di bidang hukum yang
disertai perubahan perilaku hukum para aparat penegak hukum agar dapat
lahir dan terbentuk moralitas hukum.
Kedua, apa yang disebut dengan moral habit formation yaitu pembentukkan
kebiasaan-kebiasaan baru setelah revolusi moral yang menerjemahkan
nilai-nilai baik-buruk ke dalam tingkah laku sosial masyarakat, terutama di
kalangan aparat penegak hukum. Ketiga, pendalaman hidup beragama, penjernihan
hati nurani, pembangunan kepekaan moral dan/atau pengembangan rasa tanggung
jawab moral hukum kepada aparat penegak hukum. Jadi, dengan hal itu kita bisa
berharap lama-kelamaan dapat terlahir dan terbentuk moralitas hukum di negeri
ini.
Penegakan hukum yang bermoral dan berkeadilan serta
berkeadaban itu tidak sebatas teks. Namun, harus menyinggung rasa kemanusiaan
dengan meletakkan keadilan di atas segala-galanya. Hukum harus tampil bak
pedang yang menebas segala ketidakadilan, bukan lagi ibarat zombie, yakni
tanpa nurani dan tanpa kepekaan moral dari para aparat penegak hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar