Polri
versus KPK : Acak Logika Publik
Teddy Rusdy ; Mantan
Direktur BAIS; Mantan Asrenum Pangab 1987-1992
|
SINAR
HARAPAN, 17 Februari 2015
Putusan praperadilan yang memenangi Komisaris Jenderal
(Komjen) Budi Gunawan, Senin (16/2) membuat calon Kapolri itu tidak lagi
bersatus tersangka, yang sebelumnya ditetapkan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Putusan ini bukan
mengakhiri masalah, justru memperpanjang daftar masalah antara KPK dan Polri.
Di satu sisi, ini memantik kontroversi anomali hukum dan melahirkan kepelikan
tersendiri dalam agenda pemberantasan korupsi Tanah Air.
Belum lama ini, Mahfud MD mengingatkan, KPK adalah anak
kandung Reformasi yang yang harus diproteksi dari gangguan siapa pun yang
melemahkan, apalagi punya agenda menghancurkan peran pemberantasannya. KPK
dilahirkan karena peran Polri dinilai tumpul. Kini, KPK dan Polri, dua
lembaga penegak hokum, justru menjadi lawan yang berhadap-hadapan.
KPK mampu menjangkau pelaku korupsi di banyak lembaga,
dari politikus hingga penyelenggara pemerintahan pusat dan daerah, serta
penegak hukum lain. Tentu banyak pihak yang “kebakaran jenggot” karena hal
tersebut.
Namun jika pemberantasan korupsi itu menyasar pejabat
Polri yang menjadi tersangka, bukan justru menggugah Polri untuk membersihkan
diri, melainkan institusi itu selalu bereaksi melawan keras dengan aksi
“geger celeng”. Itu terlihat mulai kasus pidana Komjen Susno Duadji,
Inspektur Jenderal (Irjen) Djoko Susilo, Brigadir Jenderal (Brigjen) Didik
Purnama, hingga kasus Komjen Budi Gunawan.
Bukan hanya tersangka dari kalangan perwira tinggi Polri,
seorang Aiptu Labora Sitorus saja sudah membuat aparat kejaksaaan kerepotan
mengeksekusi karena diduga ada atasan yang terlibat.
Di sisi lain, publik mengharapkan KPK semakin kuat karena
institusi ini dipercaya publik memerangi musuh utama rakyat, korupsi. Jika
perlawanan terhadap kerja KPK tidak segera dihentikan, “relawan pendukung
koruptor” akan menjadikan aksi penetapan tersangka dan tangkap tangan menjadi
isu-isu politik yang tidak hanya menghambat jalannya roda pemerintahan,
tetapi juga menyasar presiden hasil pemilu yang mahal harga dan nilainya bagi
stabilitas NKRI.
Anak Haram Reformasi
Apabila dikatakan kelahiran KPK adalah anak kandung
Reformasi, lembaga apa pun yang menentang pemberantasan korupsi adalah anak
haram Reformasi. Di NKRI, hanya Polri yang demikian menggegerkan negara
setiap kali ada pihaknya yang menjadi tersangka korupsi di KPK.
Hal ini tidak terjadi pada menteri, jaksa, hakim, dan
anggota DPR atau kepala daerah yang menjadi tersangka. Siapa yang disalahkan
jika berkembang pandangan Polri adalah anak haram Reformasi karena sikap
perlawanannya setiap terjadi penyidikan tersangka korupsi bagi kalangan
mereka.
Kita pahami, kelahiran Polri juga pada masa Reformasi.
Namun, Polri lahir bukan karena kebutuhan mendesak mengatasi masalah, tetapi
karena memanfaatkan euforia Reformasi untuk melepaskan diri dari sumber
asalnya, keluarga besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)/TNI,
hingga lepas tidak terkendali. Sudah banyak desakan mengembalikan Polri ke
posisi yang sebenarnya. Bahkan sudah ada usaha untuk mendudukkan kembali
dasar hukum yang menempatkan Polri di bawah satuan atas presiden.
Saya dapat katakan haram karena tidak lazim Polri
bertanggung jawab langsung kepada presiden, baik sebagai kepala negara maupun
kepala pemerintahan. Dalam struktur organisasi yang demikian, kaidah-kaidah
universal mengartikan presiden harus bertindak sebagai “satuan atas” yang
membawahi Polri sebagai “satuan bawah”.
Artinya, presiden sebagai “satuan atas” wajib ke bawah
memberikan komando dan pembinaan. Komando jika diartikan secara luas,
menandakan perintah dan instruksi. Sementara itu, pembinaan secara luas
diartikan memberikan dukungan dan teguran.
Struktur ini terlalu teknis bagi presiden. Oleh karena
itu, kepala negara tidak dapat bertindak sebagai satuan atas Polri, bahkan
tidak berani tegas, karena khawatir dikatakan intervensi atau
politisasi.
Mengapa kelahiran Polri pada era Reformasi menjadi anak
haram? Dalam konteks ketatanegaraan, dua unsur penting dari kelahiran dan
keberadaan suatu bangsa adalah “dengan tahannya resilience”. Pemikiran tersebut menghasilkan doktrin pertahanan
keamanan (negara) semesta (hankamrata).
Dalam hiruk pikuk Reformasi dengan euforia, retorika, dan
traumanya; doktrin hankam menjadi pertahanan dan keamanan, masalah pertahanan
(musuh dari luar) ditangani TNI, masalah keamanan (musuh dari dalam)
ditangani Polri. Lebih jauh lagi, keamanan negara diartikan sebagai keamanan
ketertiban masyarakat yang memang menjadi porsi Polri.
Keamanan negara sesungguhya bukan hanya soal keamanan dan
ketertiban masyarakat. Dalam era “perang” modern dewasa ini dan jauh ke
depan, suatu invasi militer (naked
total war) tidak akan terjadi lagi. Ancaman ke depan dipersepsikan akan
timbul dari dalam negeri yang apabila bereskalasi, dapat mengundang kekuatan
luar untuk masuk mengambil manfaat.
Nah, ancaman itu akan mulai dari keamanan dalam negeri
yang tidak terkendali, baik disebabkan faktor-faktor politik, ekonomi,
sosial, budaya, dan keamanan. Pasti bukan hanya tanggung jawab langsung Polri
untuk tugas seperti ini.
Tugas keamanan negara dalam spektrum yang begitu luas
menyentuh segenap sendi kehidupan bangsa. Ini harus ditangani bersama secara
terpadu, mulai dari rakyat sampai instansi-instansi pemerintah secara
keseluruhan. Inilah hakikat doktrin hankamrata.
Setiap rakyat yang diorganisasi serta dipersenjatai untuk
tugas hankamrata wajib berada pada satu komando. Sebab itu, polisi seharusnya
di bawah komando satuan atas. Dengan struktur seperti saat ini, untuk
menghindari penggunaan kekuasaan berlebihan atas kesatuan yang dipersenjatai,
nyaris tidak ada “satuan atas” yang mengawasi. Beberapa jenderal purnawirawan
Polri mengatakan, “Ini Polri yang merdeka sekali !”
Untuk mengembalikan struktur Polri ke tempat yang
seharusnya, sebaiknya dudukkanlah organisasi Polri di bawah “satuan atas”
yang bisa mengoreksi, membina, serta memerintah (karena bersenjata) tanpa
menimbulkan gejala dan goncangan politik yang bereskalasi menuju
tujuan-tujuan politik sektoral.
Secara professional, soal seleksi Kapolri juga wajib tetap
melalui Dewan Kebijaksanaan Pengangkatan Perwira Tinggi (Wanjakti).
Calon-calon tersebut kemudian diserahkan kepada “satuan atas” (menteri hukum
dan keamanan, menteri dalam negeri, menteri hukum dan HAM). Selanjutnya,
dimintakan persetujuan dan keputusan presiden tanpa uji kelayakan dan
kepatutan lagi di DPR.
Dengan demikian, Kapolri mempunyai tiga atasan, yang
menyangkut fungsi komando di bawah menteri hukum dan keamanan. Fungsi
kamtibmas di bawah menteri dalam negeri. Juga fungsi penegakan hukum di bawah
menteri hukum dan HAM.
Banyak kaum terdidik di negeri ini, namun mereka “bengong”
menyaksikan sikap Polri dalam setiap penetapan tersangka oleh KPK. Logika
publik juga teracak-acak melihat
pengangkatan Kapolri saja melahirkan bola api yang mengancam kedudukan
presiden. Ini niscaya terjadi karena Polri berada di struktur posisi yang
salah, juga kurang tepat dalam menerapkan doktrin pertahanan dan keamanan
negara.
Urusan Polri sudah menjadi menu politik. Ketika politik
dimaknai sebagai the art of possibilities, ia hanya menjadi sekadar permainan
(games). Saya kutip pendapat Day
Lewis (1904-1972, Anglo Poet and Critic), “It is the logic of our times, no subject for immortal verse. That we
who loved by honest dreams, defend the bad against the worse!” Logiskah? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar