Putusan
Hakim Sarpin yang Mencerahkan
Romli Atmasasmita ; Guru Besar (Em) Hukum Pidana
|
MEDIA
INDONESIA, 26 Februari 2015
Bandingkan dengan artikel RA yang dimuat di KORAN SINDO 23
Februari 2015
PASCAPUTUSAN praperadilan yang
dipimpin hakim Sarpin Rizaldi, seorang hakim senior dengan golongan pangkat
IV/D telah mengundang pro dan kontra. Penulis yang memberikan keterangan ahli
dari pihak Budi Gunawan dan Divisi Hukum Mabes Polri, secara langsung mengalami
dan melihat sosok hakim senior ini, dapat mengatakan kepada publik bahwa ia
sosok hakim yang berani, tegas, dan mumpuni dari sisi ilmu hukum; bahkan dalam
beberapa kesempatan tanya jawab, hakim Sarpin ikut membantu kuasa hukum Budi
Gunawan dan KPK untuk memperbaiki pertanyaan sehingga pertanyaan hanya meminta
pendapat ahli bukan penilaian ahli terhadap fakta kasus yang dituduhkan kepada
Budi Gunawan.
Berbeda dengan mantan Hakim Agung RI
yang juga kolega senior dari hakim Sarpin, penulis mengapresiasi hakim Sarpin
karena pengalamannya sebagai hakim senior dan pertimbangannya menunjukkan bahwa
yang bersangkutan memahami betul hakikat lembaga praperadilan dalam konteks
sistem peradilan pidana terpadu, berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana; hakikat yang tidak banyak orang, sekalipun ahli hukum
pidana, memahami dengan sungguh-sungguh dan baik.
Para ahli hukum pidana dan pengamat
nonhukum mengkritik keyakinan hakim Sarpin yang dilindungi UU No 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, khususnya Pasal 3 ayat (2) yang menegaskan, `Segala campur tangan dalam urusan peradilan
oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945'.
Bahkan terdapat ancaman pidana terhadap siapa saja (ayat 3). Semua warga negara
Indonesia seharusnya menjunjung tinggi kedaulatan hakim di dalam memeriksa dan
memutus suatu perkara; dengan tidak mem-bully setiap hakim yang memeriksa dan
memutus perkara tipikor jauh sebelum hakim bersidang. Kebiasaan buruk dan tidak
terpuji yang selalu dilakukan LSM antikorupsi seharusnya tidak perlu terjadi di
dalam demokrasi yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945--bukan konstitusi AS
atau Inggris!
Begitu pula tokoh-tokoh masyarakat
yang latah mencampuri kekuasaan kehakiman dengan menyampaikan opini kepada
publik tanpa yang bersangkutan memiliki pengetahuan hukum sedikit pun kecuali
hanya `katanya' (testimonium de auditu).
Menurut pengamatan saya selaku ahli terhadap sikap pengamat, tokoh masyarakat,
dan ahli hukum yang tidak memiliki kompetensi hukum pidana, hal memprihatinkan
ketika mereka mengatakan, “Apa pun yang
diputuskan hakim harus kita hormati.“ Namun, dalam kenyataannya, mereka
menjadi munafik ketika putusan hakim tidak sesuai dengan kehendak hati dan
berlomba-lomba mengkritik keyakinan hakim, seperti terjadi pada Sarpin.
Dalam konteks inilah penulis sangat
mengapresiasi sikap dan keyakinan hakim Sarpin yang dengan tegar dan cerdas
memutus permohonan praperadilan Budi Gunawan tanpa ada rasa takut dan raguragu
dan dipersiapkan dengan baik. Jika membaca petikan putusan hakim Sarpin,
penulis melihat pertimbangan putusannya telah sejalan dengan ketentuan Pasal 5
ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman yang memerintahkan hakim dan hakim konstitusi
wajib menggali, mengikuti,dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat.
Nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
masyarakat dimaksud ialah sejalan dengan perkembangan HAM internasional dan UU
No 39 tahun 1999 tentang HAM dan hakikat perlindungan HAM yang tecermin dari
ketentuan Bab XA UUD 1945 tentang HAM. Pascaratifikasi Konvenan Internasional
tentang Hak Ekonomi, Hak Sosial, dan Hak Politik, dengan UU No 12 Tahun 2005,
seharusnya setiap bentuk tindakan aparatur negara termasuk penyidik dan
penuntut yang diduga telah melanggar hak-hak asasi tersebut dapat dimintakan
perlindungan kepada lembaga praperadilan. Tidak terbatas pada alasan-alasan apa
yang telah ditentukan secara limitative di dalam Pasal 77 KUHAP dengan dasar
perkembangan kebutuhan perlindungan HAM setiap orang terlepas dari latar
belakang etnik, sosial, ekonomi, dan kedudukannya dalam masyarakat dari
penyalahgunaan wewenang oleh aparatur hukum.
Selain itu, putusan ini merupakan
peringatan terhadap setiap aparatur penegak hukum tidak terbatas pada KPK untuk
bertindak hati-hati dan tidak menyalahgunakan wewenang. Putusan hakim Sarpin, menurut penulis, merupakan putusan yang
monumental (landmark decision) yang
membuka ruang bagi setiap orang di dalam wilayah hukum NKRI untuk mempersoalkan
pelanggaran HAM yang terjadi pada dirinya.
Dengan demikian, kritik dan cacian terhadap hakim Sarpin jelas mencerminkan ketidakpahamannya terhadap perkembangan terbaru dalam hukum pidana dan hukum acara pidana modern, terutama sejak Indonesia meratifikasi ICCPR. Sampai saat ini tidak ada lembaga khusus yang memberikan ruang bagi setiap orang selain lembaga praperadilan untuk mempertahankan hak asasi dari penyalahgunaan aparatur negara, baik dalam bentuk melampaui batas kewenangan, mencampuradukkan wewenang, ataupun bertindak sewenang-wenang (Pasal 17 UU RI Nomor 31 Tahun 2014) dalam proses pidana. Secara teoretis, pertimbangan hakim Sarpin dalam putusannya merupakan penemuan hukum (rechtsvinding) dan telah sejalan dengan hukum sebagai sistem norms and logic yang dapat membawa pencerahan kepada masyarakat (Mochtar Kusumaatmadja), hukum tentang perilaku (alm Satjipto Rahardjo), dan hukum sebagai sistem nilai (Romli Atmasasmita). |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar