Praperadilan
pada Perkara Pidana
Harifin A Tumpa ; Mantan
Ketua Mahkamah Agung
|
KOMPAS,
03 Februari 2015
Akhir-akhir ini ramai dibicarakan perihal ditetapkannya
tersangka Komisaris Jenderal Budi Gunawan oleh KPK dan ditangkapnya Wakil
Ketua KPK Bambang Widjojanto oleh Bareskrim Polri. Tontonan ini menarik untuk
dikaji secara hukum dan moral/etika.
Dari segi hukum dan wewenang, mungkin tidak ada yang
salah, tetapi segi etika antar-sesama
penegak hukum mungkin ada masalah. Penetapan Budi Gunawan (BG) yang mungkin
dipertanyakan orang adalah kenapa tidak ada komunikasi atau diskusi yang
cukup antara Polri dan KPK. Padahal, Polri juga menangani kasus rekening
gendut yang sudah mengemuka beberapa tahun lalu.
Penangkapan Bambang Widjojanto (BW) yang mungkin
dipertanyakan orang adalah mengapa Polri tidak melalui kebiasaan selama ini,
yaitu panggil dulu, apabila tidak datang, baru ditangkap. Kesemua fenomena
ini mengesankan adanya arogansi sektoral dan balas dendam.
Arogansi dan balas dendam merupakan bibit
ketidakobyektifan dan timbulnya akal tidak sehat yang pada akhirnya akan melibatkan lembaga
peradilan, yang kalau tidak hati-hati bisa terseret arus yang membahayakan
independensi lembaga peradilan. Peristiwa ini sudah terjadi, nasi sudah jadi
bubur, tetapi peristiwa ini mudah-mudahan akan menjadi pelajaran berharga
bagi para penegak hukum kita.
Sekarang ini terdengar berita bahwa akan diajukan
praperadilan atas tindakan tersebut di atas.
Praperadilan
Pihak yang terlibat dalam suatu proses pidana, baik
sebagai tersangka atau saksi korban maupun penyidik atau penuntut umum, dapat
mengajukan keberatan, baik secara vertikal maupun horizontal, apabila
menganggap ada tindakan penyidik/penuntut umum yang dianggap menyimpan dari
aturan hukum yang benar.
Keberatan secara vertikal adalah keberatan yang diajukan
kepada atasan pejabat yang melakukan tindakan. Keberatan horizontal adalah
keberatan kepada pengadilan negeri yang lazim disebut praperadilan.
Praperadilan adalah upaya hukum yang dapat diajukan pihak-pihak yang
berkepentingan dalam suatu proses perkara pidana. Upaya ini adalah untuk
mengoreksi tindakan penyidik atau penuntut umum. Di dalam Pasal 77 Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), disebutkan bahwa pengadilan negeri
berwenang memeriksa dan memutus tentang: (a) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, (b) ganti kerugian dan/atau rehabilitasi
yang dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Kewenangan ini sifatnya limitatif, dalam arti tidak semua
tindakan penyidik atau penuntut umum dapat diajukan praperadilan. Di
masa-masa yang lalu, ada hakim yang mencoba keluar dari ketentuan yang
terbatas ini, misalnya ada hakim yang pernah mengabulkan permohonan
praperadilan terhadap suatu penangkapan yang dilakukan oleh polisi Australia.
Orang yang ditangkap tersebut seorang buronan dari Indonesia yang terlibat
dalam kasus BLBI. Mahkamah Agung (MA) tidak membenarkan tindakan tersebut dan
memberikan sanksi administratif kepada hakim itu karena MA berpendapat bahwa
praperadilan Indonesia tidak menjangkau penegak hukum negara asing.
Pernah juga ada hakim yang mengabulkan permohonan
praperadilan penyitaan atas kayu-kayu yang disangka hasil illegal logging. Hakim tersebut
diberikan tindakan administratif oleh MA karena melampaui batas kewenangan
yang diberikan undang-undang. Penyitaan tidak masuk dalam kewenangan
praperadilan karena penyitaan akan diputus bersama-sama dengan pokok
perkaranya. Kalau ada pihak yang merasa keberatan dengan suatu penyitaan,
upaya hukumnya adalah perlawanan melalui pengadilan negeri.
MA berpendapat, hakim terikat pada pembatasan yang
ditetapkan undang-undang. Sama juga halnya hakim tidak boleh memberikan yang
lebih tinggi dari hukuman maksimal yang diancamkan dalam pasal-pasal pidana.
Batasan-batasan tersebut disebut Goldstein sebagai the area of no enforcement. Hakim praperadilan akan menguji
tindakan yang dilakukan penyidik dengan dasar-dasar hukum yang diatur dalam
KUHAP. Misalnya, apakah penahanan tersebut didasarkan pada ketentuan pasal
yang membolehkan seseorang itu ditahan.
Upaya hukum
Pasal 83 KUHAP menentukan bahwa putusan praperadilan dalam
hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 tidak dapat
dimintakan banding. Namun, dalam ayat berikutnya ditentukan pengecualian,
yaitu dalam hal putusan praperadilan itu menetapkan tidak sahnya penghentian
penyidikan atau penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke
pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan. Pasal pengecualian
ini kelihatan diskriminatif karena hak-hak terdakwa dibedakan dengan hak-hak
penyidik atau penuntut umum, ia menyalahi asas accusatoir.
Dalam Pasal 45 A Undang-Undang Mahkamah Agung
(Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009) disebutkan, salah satu perkara yang tidak boleh diajukan kasasi adalah
putusan praperadilan. Mahkamah Konstitusi dengan putusan No 65/PUU- IX/2011
menyatakan, aturan hak banding kepada penyidik/penuntut umum seperti yang
diatur dalam Pasal 83 Ayat 2 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945. Dengan
demikian, putusan praperadilan langsung berkekuatan hukum tetap. Pembatasan
upaya hukum ini tidaklah dimaksudkan membatasi keinginan para pihak
untuk memperoleh keadilan, tetapi
semata-mata dimaksudkan untuk mewujudkan ”acara cepat” untuk memperoleh
kepastian hukum dalam waktu yang relatif singkat.
Yang diperdebatkan orang adalah apakah terhadap putusan
praperadilan yang berkekuatan hukum tetap itu bisa diajukan peninjauan
kembali (PK). Menurut aturan tentang PK, suatu putusan yang telah berkekuatan
hukum tetap dapat diajukan PK. Perdebatan ini kelihatannya disikapi oleh MA dalam
rapat pleno kamar 8-11 Maret 2012 yang menentukan bahwa ”berdasarkan ketentuan Pasal 45 A UU No 5 Tahun 2004 bahwa terhadap
perkara-perkara praperadilan tidak dapat diajukan kasasi apalagi peninjauan
kembali”. Namun, dalam praktiknya, masih saja kita temui ada hakim agung
yang menerima permohonan PK atas putusan praperadilan.
Upaya praperadilan tidaklah perlu disikapi berlebihan,
seolah-olah antar-penegak hukum akan saling sikut dan menjatuhkan. Dalam
suatu negara hukum seperti dianut oleh negara kita, saling kontrol
antar-penegak hukum adalah suatu hal yang lumrah. Praperadilan bukan pula
untuk mencampuri kewenangan lembaga masing-masing, melainkan semata-mata
dimaksudkan sebagai mekanisme kontrol terhadap proses dan penegakan hukum
acara pidana yang diatur dalam perundang-undangan kita.
Semoga proses praperadilan yang dihadapi ini akan berjalan
obyektif, lepas dari segala pengaruh siapa pun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar