Negara
Sengkarut Pikir
Yudi Latif ; Pemikir
Kebangsaan dan Kenegaraan
|
KOMPAS,
02 Februari 2015
MENJELANG kematiannya pada 1873, pujangga agung Keraton
Surakarta, R Ng Ranggawarsita, menulis puisi ratapan, Serat Kalatidha (Puisi Zaman Keraguan). Bait pertama puisi
tersebut bersaksi, ”Kilau derajat
negara lenyap dari pandangan. Dalam puing-puing ajaran kebajikan dan
ketiadaan teladan. Para cerdik pandai terbawa arus zaman keraguan. Segala hal
makin gelap. Dunia tenggelam dalam kesuraman”.
Hampir satu setengah abad kemudian, gambaran serupa
membayangi pusat kekuasaan negara Republik Indonesia, yang mencapai titik
zenitnya pada masa kepresidenan Joko Widodo (Jokowi). Seorang putra Surakarta
dari kalangan kawula, yang karena sepak terjangnya sebagai political outsider yang berbeda dari
kebanyakan politisi, melesat cepat menjadi presiden dengan gelembung harapan
rakyat yang nyaris seperti ratu adil.
Namun, belum genap seratus hari pemerintahannya, harian
bergengsi The New York Times, 17 Januari 2015, melukiskan nasib sang
presiden dalam nada Serat Kalatidha. Bahwa bagi rakyat Indonesia, derajat
kepemimpinan negara telah kehilangan ”kilaunya” (”For
Indonesians, President’s Political Outsider Status loses Its Lustre”).
Kegagalan mentalitas
Ujian mental bagi independensi presiden pengusung revolusi
mental ini dilalui dengan kegagalan mentalitas, seperti tecemin dari
serangkaian penyangkalan terhadap ide-idenya sendiri. Gagasan koalisi ramping
demi kehebatan pemerintahan dirobohkan oleh susunan kabinet dan staf
kepresidenan yang sarat kepentingan, menampilkan kombinasi menteri-menteri
berkualitas rendah dan bertanda merah. Orientasi kerakyatan dihela dengan
menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) saat harga minyak dunia turun. Visi
pemerintahan bersih dan peradilan independen dinodai dengan mengangkat Jaksa
Agung dari kalangan partisan.
Presiden juga menerobos batas kepantasan dengan membentuk
Dewan Pertimbangan Presiden yang
didominasi orang-orang partai, dengan kualitas kenegarawanan yang jauh
dari semangat asal Dewan Pertimbangan Agung. Batas etis pun dilanggar dengan
mengajukan calon tunggal Kapolri bertanda merah dengan rekam jejak
pelanggaran yang sudah terpublikasikan.
Jurnal seratus hari pemerintahan Jokowi ditutup dengan sengketa KPK
versus polisi, dengan posisi dan jawaban presiden yang tidak meyakinkan.
Apa gerangan yang membuat seorang presiden yang
memenangkan mayoritas dukungan dalam pemilihan langsung begitu tak berdaya
menentukan pilihan? Persoalannya jelas tak bisa ditanggung oleh Jokowi
sendirian. Lewat symptomatic reading,
kita bisa mengenali bahwa kegagalan mentalitas pemimpin baru ini hanyalah
tanda permukaan dari arus bawah yang lebih sinister, yakni meluasnya
dekadensi dalam demokrasi kita.
Masalah terbesar politik Indonesia saat ini adalah semua
orang tahu ada banyak masalah dalam demokrasi, tetapi seperti tak ada seorang
pun yang bisa berbuat sesuatu untuk mengatasinya. Ketidaksanggupan warga
untuk mengatasi masalah-masalah kolektif ini terjadi karena
institusi-institusi representasi demokrasi dan lembaga publik tidak lagi di
bawah kendali publik, tetapi jatuh ke tangan pengendalian segelintir pemodal
kuat. Demokrasi tidak lagi menjadi sarana efektif bagi kekuatan kolektif
untuk mengendalikan kepentingan perseorangan, malahan berbalik arah menjadi
sarana efektif bagi kepentingan perseorangan untuk mengontrol institusi dan
kebijakan publik.
Dalam perkembangan demokrasi di negeri ini, pintu masuk
bagi penetrasi pemodal ke dalam domain publik itu melalui pengadopsian model
demokrasi liberal padat modal. Suatu model demokrasi, yang bagi Amerika
Serikat sendiri dengan ratusan tahun sejarah demokrasi dengan basis
egalitarianisme yang kuat, dalam perkembangannya terbukti hanyalah menjadi
tunggangan yang efektif bagi elevasi satu persen orang terkaya.
Di negeri ini, dengan warisan kesenjangan pasca-kolonial,
pengadopsian demokrasi liberal padat modal di tengah samudra kemiskinan,
membuat pemimpin terpilih—meskipun dengan dukungan mayoritas rakyat dalam
pemilihan langsung—lebih berutang pada pemodal yang nyata ketimbang rakyat
yang abstrak. Dalam konteks inilah kita melihat Jokowi sebagai presiden
hanyalah pekerja partai-pemodal.
Dimensi struktural dari dekadensi demokrasi itu diperburuk
oleh kapasitas pemimpin negara sebagai agen perubah. Menangkal kepentingan
pemodal-perseorangan meniscayakan kesadaran dan strategi ideologis. Berbagai
langkah blunder Jokowi dalam seratus hari pemerintahannya justru mencerminkan
kelemahan daya baca dan referensi ideologis ini. Tanpa radar ideologis,
seorang pemimpin tak memiliki kerangka referensial untuk membantu menentukan
jenis manusia dan kebijakan apa yang sepatutnya dipilih.
Tekanan Jokowi pada pengetahuan praktis-pragmatis
mengabaikan pentingnya ”narrative knowledges”.
Padahal, gagasan besar semacam revolusi mental harus diletakkan dalam
kerangka strategi ideologis berbasis pengetahuan naratif (sejarah,
antropologi, sosio-psikologi, ekonomi-politik dan praktik diskursif).
Ada semacam ilusi bahwa tindakan bisa dijalankan secara
benar tanpa pemikiran yang benar. Padahal, seperti diingatkan Lyndon B
Johnson, ”Tugas terberat seorang
presiden bukanlah mengerjakan apa yang benar, melainkan mengetahui apa yang
benar.” Tanpa pengetahuan yang benar, ketangkasan bertindak hanya akan
mempercepat kegagalan.
Anti-intelektualisme
Namun, Jokowi tidak berdiri sendirian. Kemunculan Jokowi
sebagai pemimpin negara membawa arus besar anti-intelektualisme dalam
masyarakat. Banyak orang yang tidak lagi menghargai pikiran, bahkan
mengembangkan sinisme terhadap kedalaman pengetahuan. Para cerdik cendekia
sendiri terbawa arus keraguan ini dengan tidak memercayai nilai pikirannya;
ikut-ikutan mengagumi sensasi tindakan sesaat seperti pembakaran perahu yang telah lama terampas
oleh menteri baru.
Gelombang anti-intelektualisme ini sebagian merupakan arus
balik dari pengkhianatan intelektual, tetapi utamanya karena desakan
kebutuhan sehari-hari yang tidak segera dipenuhi oleh konsepsi-konsepsi
pemikiran. Seperti kata Bung Karno, ”Orang
lapar tidak bisa segera kenyang hanya dengan diberikan kitab konstitusi.”
Pelarian dari kesulitan hidup ini dininabobokan oleh candu hiburan-hiburan
dangkal-miskin pikir yang disajikan secara intensif dan masif lewat siaran
televisi kita; membudayakan semacam ”the
cult of philistinism” (pemujaan terhadap budaya kedangkalan oleh
perhatian yang berlebihan terhadap interes-interes material dan praktis).
Peluluhan daya pikir ini memberi prakondisi bagi supremasi
pemodal untuk mengarahkan pilihan rakyat lewat kampanye media. Kekuatan
pemodal yang cenderung menepikan kekuatan kritis bertemu dengan kecenderungan
banalitas arus bawah. Lewat manajemen
impresi, subtansi pemikiran dikalahkan oleh kesan pencitraan.
Maka, para pemimpin terpilih mencerminkan defisit
pemikiran. Dengan begitu, negara tidak memiliki topangan pemikiran dan
pengetahuan yang kuat. Sengkarut negara mencerminkan sengkarut pemikiran. Hal
ini tecemin mulai dari ketidakberesan hasil amandemen konstitusi, produk
perundang-undangan, desain institusi-institusi demokrasi, hingga
ketidaktepatan pilihan kebijakan dan orang.
Keadaan ini menempatkan negara di tepi jurang. Para
pemikir kenegaraan lintas zaman dan lintas mazhab cenderung menyepakati
hubungan integral antara negara dan pengetahuan. Negara sendiri didefinisikan
sebagai organisasi rasional dari masyarakat. Bahkan Hegel menyatakan bahwa
negara merupakan penjelmaan dari pikiran. Michel Foucault menegaskan, ”Pemerintah, oleh karena itu, memerlukan
lebih dari sekadar usaha mengimplementasikan prinsip-prinsip umum pemikiran,
kebijaksanaan, dan kehati-hatian. Pengetahuan spesifik juga sangat
diperlukan: pengetahuan yang konkret, tepat, dan terukur.”
Membanguan negara harus melalui cara bagaimana kedaulatan
menyatakan dirinya dalam bidang pengetahuan. Negara dapat dipandang sebagai
mesin-pengumpul kecerdasan (intelligence-gathering
machine). Kedekatan antara negara dan kecerdasan, dan bahwa keselamatan
negara ditentukan oleh kecerdasan, terlihat dari pemahaman umum yang
cenderung mengaitkan istilah ”intelijen” dengan badan inteligen negara,
seperti Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis (BAIS), dan
sejenisnya.
Sebuah negara yang dibangun tanpa landasan kecerdasan dan
pengetahuan tak ubahnya seperti istana pasir. Oleh karena itu, jika demokrasi
kita maksudkan sebagai jalan kemaslahatan bangsa, maka jalan sesat demokrasi
dalam kendali plutokrasi-aristokrasi
itu harus dihentikan dengan cara membangun demokrasi-meritokratis.
Demokrasi yang kita kembangkan harus menumbuhkan kembali
daulat rakyat yang dipimpin oleh kekuatan akal budi (hikmat kebijaksanaan)
dalam suasana deliberatif dan argumentatif (permusyawaratan perwakilan). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar