Independensi
dan Integritas
Abdul Hakim G Nusantara ; Ketua
Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia 2002-2007'; Advokat /Arbiter
|
KOMPAS,
02 Februari 2015
MENANGGAPI tekanan publik agar Presiden segera mengambil
langkah nyata untuk menyelesaikan konflik antara Komisi Pemberantasan Korupsi
dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Presiden Joko Widodo menyatakan
bahwa proses hukum di KPK dan di Polri harus terang-benderang dan transparan
agar masing-masing dapat membuktikan telah bertindak dengan benar.
Semua pihak, mulai dari lembaga swadaya masyarakat (LSM),
media, partai politik, hingga pejabat negara, termasuk dirinya sebagai
presiden, tidak boleh melakukan intervensi atas proses hukum tersebut (Kompas
TV, Sabtu, 24 Januari 2015 malam).
Arah penyelesaian
Untuk pertama kali Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut
partai politik tidak boleh mengintervensi proses hukum. Peringatan Presiden
ini tentu ditujukan kepada semua partai politik, terutama kepada
partai-partai politik anggota koalisinya.
Lebih jauh, dalam konferensi pers hari Minggu (25/1)
malam, Presiden Jokowi juga menegaskan tidak boleh ada kriminalisasi dalam
proses hukum tersebut. Dengan perkataan lain, Presiden meminta agar kita
semua menjaga independensi dan integritas KPK dan Polri, serta semua
institusi penegak hukum yang vital bagi penegakan hukum, khususnya
pemberantasan korupsi.
Pernyataan normatif Presiden Jokowi itu belum memberikan
gambaran dan arah jelas bagi penyelesaian konflik KPK versus Polri. Siapa pun
tidak dapat menyangkal fakta bahwa perselisihan antara KPK dan Polri dimulai
dari ketika KPK menyelidiki berbagai kasus korupsi yang diduga melibatkan
para petinggi Polri. Hanya saja, konflik ini masih bersifat laten di bawah
permukaan.
Para petinggi Polri yang diduga terlibat rekening gendut
sudah pasti gerah, gelisah, dan marah atas penyelidikan kasus tersebut oleh
KPK. Kasus dugaan korupsi yang membuat Komisaris Jenderal Budi Gunawan
ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK adalah salah satu di antaranya. Oleh
karena itu, tak terhindarkan apabila kasus penangkapan penahanan dan
penersangkaan terhadap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto oleh Polri, untuk
suatu perkara pemberian keterangan palsu yang terjadi lima tahun lalu,
dinilai publik sebagai bentuk kriminalisasi terhadap KPK.
Tindakan menetapkan Bambang Widjojanto dan mungkin aparat
KPK lainnya sebagai tersangka oleh Polri tidak salah apabila ditafsirkan oleh
publik sebagai sinyal ancaman, gangguan, hambatan, pelemahan, dan bahkan
pemusnahan KPK. Oleh karena itu, guna melindungi KPK dan para komisionernya
dalam menjalankan tugasnya, wajar apabila kepada komisioner KPK diberikan hak
imunitas yang berlaku saat mereka menjabat sebagai komisioner.
Lalu, bagaimana menjaga independensi dan martabat KPK dan
Polri sebagaimana yang dikehendaki Presiden Jokowi?
Independensi secara singkat bisa diterangkan sebagai
pandangan, sikap, dan tindakan penegak hukum yang dalam menjalankan tugasnya
berpegang pada undang-undang dasar, undang-undang, nilai-nilai dan norma
kepatutan, kesusilaan, dan keadilan dalam masyarakat bernegara. Itu bermakna
penolakan terhadap pengaruh dan kuasa uang, politik, dan kepentingan lain
yang bertentangan dengan hukum dan keadilan.
Adapun integritas berkaitan dengan kejujuran, kompetensi,
dan konsistensi dalam menjalankan prinsip, kebijakan, dan hukum. Parameter
independensi dan integritas tertuang dalam berbagai undang-undang, antara
lain Undang-Undang Polri, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor),
Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, dan
Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.
Beberapa langkah
Masalahnya sekarang adalah bagaimana menjalankan amanat
Presiden Jokowi, dalam konteks penyelesaian konflik KPK versus Polri saat
ini, dan dapat mencegah pengulangannya di masa depan. Untuk itu, beberapa
kebijakan diusulkan.
Pertama, menindaklanjuti pernyataan Presiden untuk
menghentikan kriminalisasi dalam proses hukum dengan kebijakan yang jelas dan
tegas. Misalnya, jika menurut pemantauan Presiden, ditemukan fakta telah
terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse
of power) oleh polisi, maka Presiden demi hukum harus segera mengambil
tindakan remedial. Abuse of power oleh aparat negara
jelas merupakan tanggung jawab Presiden untuk segera menghentikannya.
Kedua, Presiden harus segera memerintahkan petinggi Polri
untuk memenuhi panggilan KPK guna diperiksa sebagai saksi dalam perkara
tersangka Budi Gunawan. Sebagaimana dilaporkan oleh media massa, sejumlah
petinggi Polri yang merupakan para saksi penting kasus Budi Gunawan dengan
berbagai cara menolak panggilan KPK. Ini jelas merintangi proses pengadilan (obstruction of justice). Presiden
wajib mengingatkan dan bila perlu menindak aparatnya yang melakukan obstruction of justice.
Ketiga, Presiden harus segera membatalkan pelantikan Budi
Gunawan sebagai Kapolri, dan bersamaan dengan hal itu mengajukan calon
Kapolri baru ke DPR. Tindakan Presiden ini akan menenangkan dan memulihkan
kepercayaan publik terhadap pemerintahan Jokowi, terutama komitmennya untuk
memberantas korupsi, dan dengan demikian secara bersamaan memperkuat KPK dan
Polri.
Keempat, mengaudit KPK dan Polri, khususnya berkenaan
dengan kasus rekening gendut, kasus Bambang Widjojanto, dan mungkin kasus
lain yang mengait dinamika relasional antara KPK dan Polri, yakni apakah
telah terjadi abuse of power atau misconduct.
Kelima, dalam upaya menguatkan KPK, Presiden melalui
peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) atau UU memberikan
imunitas kepada komisioner KPK dan bersamaan dengan itu membentuk Dewan
Pengawas KPK serta memperkuat kewenangan Komisi Kepolisian Nasional
(Kompolnas) dalam mengawasi Polri.
Seluruh rangkaian kebijakan itu bukan merupakan intervensi
proses hukum, justru merupakan pelaksanaan dari tanggung jawab hukum Presiden
dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. Marilah kita dukung Presiden Joko
Widodo untuk menjaga independensi dan integritas KPK dan Polri, antara lain
melalui rangkaian kebijakan tersebut di atas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar