Nakal
Rhenald Kasali ; Akademisi, Praktisi Bisnis;
Guru Besar Bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia
|
JAWA
POS, 08 Februari 2015
SIAPA yang masa kecilnya tidak pernah nakal? Namanya juga
anak-anak, selalu ada cara untuk mencari ’’celah’’. Mencuri buah di kebun
tetangga atau berkelahi adalah hal yang biasa. Di sekolah yang isinya lelaki
semua, dulu teman-teman saya senang membuat ibu guru cantik mengambek.
Bahkan, ada anak baik yang tiba-tiba panik melihat tas
sekolahnya sudah tergantung di leher kambing di lapangan. Sepeda motor guru
yang galak pun biasa diumpetin siswa sampai dia panik.
Katanya, nakal adalah cara anak untuk menarik perhatian.
Rachel Johnson, presenter TV Inggris, mengakuinya. ’’Of course I'm naughty. I've always had to compete for attention,
you see.’’
Tapi, bukan hanya itu. Kenakalan juga pertanda
kreativitas. Banyak inovator dunia yang masa kecilnya dikenal nakal.
Contohnya, Steve Jobs, pendiri Apple.
Di sekolah dasar, dia mengaku pernah diam-diam menulis
pengumuman ini di papan sekolah: ’’Bring your pet to school’’. Esoknya,
sekolah pun geger. Seluruh murid membawa hewan peliharaan. Anjing-anjing
berlarian memburu kucing. Guru-guru pun bingung.
Masih ada lagi. Dia membujuk teman-temannya agar memberi
tahu nomor kombinasi kunci rantai pengaman sepeda mereka yang diparkir di
sekolah. Begitu ada kesempatan, Jobs pun mengubah nomornya. Sepulang sekolah,
seluruh murid yang membawa sepeda sibuk mencari nomor kombinasi yang sudah
diubah Jobs.
Presiden Ke-4 RI (almarhum) Gus Dur juga pernah memberikan
pengakuan serupa. Konon, saking nakalnya, Gus Dur beberapa kali dihukum
dengan diikat di tiang bendera depan rumah oleh ayahnya, KH Wahid Hasyim.
Dia juga gemar memanjat pohon hingga jatuh dari ketinggian
dan tangannya patah. Itu pun tidak sekali. Dia mengambil makanan dan
memakannya di atas pohon, lalu ngantuk dan tertidur di atas sana. Akibatnya,
dia pun jatuh dan tulangnya patah. Tangannya nyaris diamputasi. Untungnya,
dokter mampu menyambung kembali.
Jobs dan Gus Dur adalah dua di antara beberapa tokoh dunia
yang mengakui kenakalan masa kecilnya. Masih banyak lagi tokoh lainnya.
Misalnya, Bill Gates, ahli fisika Albert Einstein, Presiden AS John F.
Kennedy, megabintang basket Michael Jordan, atau mungkin juga saya sendiri.
Kita Yang Celaka
Tapi, apa jadinya bila kenakalan seseorang baru terjadi
pada usia dewasa? Ini juga banyak contohnya. Kita bingung melihat anak yang
masa kecilnya begitu serius, juara kelas, justru menjadi koruptor atau gemar
party pada hari tuanya. Ini jelas, kitalah yang celaka. Latihan kreativitas
itu tidak dipakai untuk pengabdian bagi kemanusiaan dan inovasi, melainkan
dibawa mati sia-sia.
Belum lama berselang, kita membaca berita tentang
pengusaha nakal yang menimbun barang-barang tertentu, bahkan mengoplosnya
sehingga terjadi kelangkaan dan kematian. Harga-harga pun melonjak
gila-gilaan, sampai empat kali lipat.
Anda ingat bukan dengan kasus harga bawang yang pernah
menembus Rp 100 ribu per kilogram? Atau, mereka yang mengoplos miras, beras,
gula, minyak zaitun, obat-obatan, dan sebagainya. Siapa yang susah? Kita
semua.
Gara-gara sering dioplos dengan kopi dari daerah lain,
importer kopi Toraja dari Jepang bahkan memilih berkebun sendiri atau membeli
langsung dari petani di Toraja. Akibatnya, banyak eksporter kopi yang
bisnisnya terganggu.
Kita juga pernah mendengar sebutan banker dan menteri yang
nakal. Itu merujuk pada perilaku para banker atau pejabat yang melakukan
markup nilai kredit atau proyek dan sebagian dananya ternyata mengalir
kembali ke kocek mereka. Akibatnya, proyek menjadi tidak feasible lagi dan
macet total.
Jangan heran pula mengapa prestasi sepak bola kita terus
merosot. Kita sudah lama mendengar di sana banyak orang dewasa (pengurus)
yang nakalnya minta ampun, membuat atlet kita pun menjadi nakal.
Prestasi sepak bola kita juga tidak optimal. Selalu kalah
di ujung penantian tatkala kita tengah bergairah dan mengimpikan kemenangan.
Beberapa bank yang karena kredit macetnya bertimbun
akhirnya ditutup. Nasabah pun kalang kabut. Pemerintah juga mesti
menyuntikkan dana. Dari mana uangnya? Dari pajak yang secara rutin kita
bayarkan. Artinya, uang kita juga.
Anda tentu tahu tentang hakim, jaksa, dan polisi nakal.
Ketika mereka berkolaborasi, jadilah mafia peradilan. Negara kita pun hancur
lebur. Tidak ada lagi kepercayaan dan berlakulah hukum rimba. Tidak ada rasa
nyaman selain perampasan dan kebencian.
Kata orang di luar sana, keadilan di sini bisa dibeli,
menjadi milik pemegang kuasa dan pemilik uang. Kita betul-betul dibuat celaka
ketika yang nakal adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan. Seperti yang
kita saksikan di parlemen belakangan ini, kalangan politisi terus mendesak
agar presiden mengangkat orang pilihan mereka yang mungkin saja bermasalah.
Mereka menyandera hidup kita.
Molimo
Kenakalan punya banyak rupa. Orang-orang tua di Jawa kerap
menyebutnya sebagai perangkap molimo alias 5M. Apa saja? Main (tergila-gila
judi), madon (main perempuan), maling (mencuri, korupsi atau mengambil yang
bukan haknya), madat (mengisap candu), dan minum (suka meminum minuman keras
atau yang memabukkan).
Saya berharap kehebohan cicak vs buaya jilid III tidak
menjadi contoh kasus yang berbau molimo itu, meski selentingannya santer
terdengar. Saya juga berharap pimpinan KPK dan Polri tidak merusak reputasi
mereka dengan asal tuduh atau memainkan kekuasaan.
Di luar itu, saya sangat sebal kalau perilaku orang dewasa
yang benar-benar berengsek tersebut hanya disebut nakal. Mestinya lebih dari
itu. Hanya, saya tidak sampai hati menuliskannya di sini. Tapi, Anda tentu
tahu kan maksudnya? Iya, kata yang itu! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar