Lihatlah
Jakarta dan Surabaya
Gatot Sudjito ; Anggota DPR Fraksi Partai Golkar
|
JAWA
POS, 07 Februari 2015
SETELAH dinobatkan sebagai kota paling tidak aman di
dunia, beberapa hari lalu (5/2) harian ini merilis stop-start index yang
dikeluarkan Castrol bahwa Jakarta merupakan kota dengan lalu lintas terburuk
di dunia. Itu sama halnya termacet di dunia. Lebih mengejutkan lagi, Kota
Surabaya pun masuk peringkat terburuk keempat dengan indeks 29.880 stop-start
di dunia. Apa yang dirilis Castrol tersebut mungkin 30–40 tahun lalu yang
masih lengang tidak pernah dibayangkan jika predikat kota termacet di dunia
akan tersematkan untuk Jakarta dan Surabaya.
Kenyataannya, kondisi jalanan di Jakarta dan Surabaya
semakin hari kian padat. Kemacetan yang seharusnya merupakan anomali
perkotaan justru berubah seperti tradisi normal di kota tersebut. Laju
pertumbuhan penduduk yang tinggi, migrasi dari desa ke kota, meningkatnya
kelas menengah, dan tingginya pertumbuhan kendaraan yang tidak berimbang
dengan perluasan jalan mendorong terciptanya lalu lintas yang semakinsemrawut
dan padat.
Mindset masyarakat masih menempatkan kota sebagai sentrum
ekonomi sehingga memberikan daya tarik bagi mereka. Karena itu, mereka
berbondong-bondong pergi ke pusat kota. Faktanya, lapangan pekerjaan memang
banyak tersedia di perkotaan, sedangkan di perdesaan relatif kecil. Lahirnya
UU Nomor 06/2014 tentang Desa memberikan harapan bagi percepatan pembangunan
desa sehingga denyut nadi perekonomian tidak hanya terpusat di perkotaan.
Jumlah penduduk yang terus meningkat dengan meningkatkan
kelas menengah menciptakan permintaan terhadap kendaraan kian tinggi. Di sisi
lain, kondisi tersebut dapat memberikan keuntungan kepada negara atas
pemasukan pajak kendaraan. Tapi, dalam jangka panjang, keadaan itu berdampak
pada kepadatan dan kemacetan yang tidak ekonomis. Contohnya, rata-rata warga
Jakarta dalam sehari menghabiskan waktu 6 jam di jalan karena kemacetan. Itu
berarti, dalam setahun, mereka menghabiskan 720 jam atau setara 3 bulan waktu
kerja efektif.
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo)
pada 2014 memprediksi penjualan mobil di tanah air mencapai 1,2 juta unit.
Bahkan, diperkirakan 37 persen populasi kendaraan yang ada di Indonesia
beredar di Jakarta dan sekitarnya. Beban yang ditanggung Jakarta dalam
peningkatan kendaraan sangat tinggi. Tidak heran, Jakarta kemudian dinobatkan
sebagai kota termacet di Indonesia.
Kesadaran Masa Depan
Jika diurai, kemacetan tidak lagi melulu menjadi masalah
Jakarta dan Surabaya. Bahkan, beberapa dekade lalu, macet hanya milik
Jakarta. Kini, kemacetan mulai merambah ke kota-kota di daerah lain seperti
Surabaya, Jogjakarta, Semarang, Bandung, Medan, dan Makassar. Hal ini
merupakan sirene tanda bahaya bagi kota-kota tersebut. Jika tidak cepat
melakukan pembenahan dari semua lini, kemacetan akan menjadi masalah besar
sebagaimana yang terjadi di Jakarta.
Dengan demikian, kita harus mulai membangun kota yang
berkesadaran masa depan. Kota yang berkesadaran masa depan adalah kota yang
sanggup mengatasi dan mencegah terjadinya problem-problem laten perkotaan
seperti kemacetan, kriminalitas, dan kemiskinan. Jika ini tidak dilakukan
sejak dini, kota-kota di Indonesia akan seperti Jakarta saat ini; macet,
padat, dan penat. Jakarta yang macet dan padat harus dijadikan cermin masa
depan seluruh kota di Indonesia jika cara penanganan dan desain perkotaannya
tidak ditata dengan baik dari sekarang.
Kota-kota yang tidak terbelit macet seharusnya mulai
memikirkan pembangunan dan penguatan sistem transportasi masal. Meningkatnya
kelas menengah dan mudahnya akses memperoleh kredit kendaraan menciptakan
tingkat penggunaan terhadap kendaraan bermotor sangat tinggi. Hadirnya budaya
konsumtif dan glamor di masyarakat mendorong peningkatan pengguna kendaraan
pribadi sehingga penggunaan kendaraan tidak lagi berdasar kebutuhan, tetapi
pertimbangan gengsi dan prestise.
Kondisi tersebut mengakibatkan migrasi besar-besaran dari
pengguna angkutan umum ke pengguna kendaraan pribadi. Saat ini banyak daerah
di mana kendaraan angkutan umum tidak diminati masyarakat karena sudah
memiliki kendaraan pribadi; mobil dan sepeda motor. Jika kondisi itu
dibiarkan tanpa ada rekayasa untuk mengantisipasi lonjakan pertumbuhan
kendaraan, siap-siap kota tersebut akan bernasib seperti Kota Jakarta.
Pembangunan dan peningkatan sarana jalan umum bukan
langkah solutif untuk mengatasi kemacetan dalam jangka waktu yang lebih
panjang. Sebab, itu akan berhadapan dengan laju pertumbuhan manusia yang
dinamis dan terus meningkat, sedangkan ketersediaan lahan statis dan
terbatas. Karena itu, keberadaan moda transportasi masal harus segera
diwujudkan kota-kota lainnya, sekalipun masalah kemacetan belum menjadi
persoalan utama. Tapi, itu akan menjadi masalah di waktu mendatang jika tidak
diantisipasi sejak dini.
Membangun kota yang berkesadaran masa depan harus segera
dilakukan seluruh komponen stakeholder yang terlibat dalam membangun
perkotaan. Kota-kota di Indonesia yang dulunya lengang dan saat ini mulai
macet sebaiknya menjadi cerminan bagi kota-kota di Indonesia lainnya. Tidak
menutup kemungkinan, jika tanpa antisipasi, lima tahun mendatang kota selain
Jakarta dan Surabaya bisa masuk lima besar kota termacet di dunia. Semoga
tidak terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar