Menimbang
Penghapusan Pajak Tanah
Akhmad Syakir Kurnia ; Dosen
Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB),
Kepala Pusat Penelitian Kajian Pembangunan LPPM Universitas
Diponegoro Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 16 Februari 2015
PEMERINTAH melalui Menteri Agraria dan Tata Ruang, Ferry
Mursyidan Baldan baru-baru ini mewacanakan penghapusan pajak atas tanah. Argumennya,
Tuhan-lah yang menciptakan bumi (tanah) untuk manusia sehingga tidak pantas
bila pemerintah tiap tahun mengenakan pajak atas tanah. Tindakan memajaki
tanah berarti berbuat tidak adil, bahkan lalim. Lebih jauh bahkan Menteri
Ferry membandingkan pajak dengan asuransi.
Wacana penghapusan pajak tanah menarik untuk dikaji, bukan
saja karena menyangkut salah satu sumber pendapatan penting bagi pemerintah
(daerah), melainkan juga menyangkut prinsip dasar hubungan antara pemerintah
sebagai pengelola negara dan rakyatnya.
Pajak adalah iuran wajib dari rakyat kepada pemerintah
guna membiayai kegiatan pemerintah dalam melayani publik. Pajak juga instrumen
regulasi bagi pemerintah untuk mengatur masyarakat. Fungsi regulasi inilah
yang sering dilupakan ketika membahas pajak. Pajak atas tanah juga merupakan
salah satu jenis pajak paling kuno. Semasa Rasulullah saw pengenaan pajak
atas tanah disebut kharaj.
Sebagian besar negara mengenakan pajak atas tanah berikut
bangunan di atasnya. Terkecuali antara lain Kroasia, Fiji, Israel, dan hampir
sebagian negara Timur Tengah (Bahrain, Arab Saudi, UEA, Oman, Qatar, dan
Kuwait). Objek pengenaan pajak tanah adalah kepemilikan orang atas sumber
daya.
Sumber daya itu tersedia tidak melalui kegiatan produksi,
dan berjumlah tetap. Karenanya, kepemilikan sumber daya tanah oleh sesorang
akan meng-exclude orang lain (publik) atas pemanfaatan tanah tersebut. Karena
itu pula pengakuan negara atas kepemilikan seseorang terhadap tanah
menjadikan negara merasa berhak mengenakan pajaknya.
Berdasarkan pemahaman itu, kepemilikan tanah oleh
seseorang mempunyai dasar kuat untuk dikenai pajak, yaitu sebagai pendapatan
sewa atas tanah atau harga tanah tersebut. Pertanyaannya adalah bagaimana
bila tanah itu dipakai sendiri? Bukankah pemilik tidak mendapatkan ”apa-apa”?
Lebih mudah menjawab pertanyaan ini dengan membayangkan sistuasi bahwa orang
yang memanfaatkan tanah harus membayar sewa kepada ”pemiliknya”.
Pajak tanah dan bangunan merupakan salah satu sumber
pendapatan bagi pemerintah. Meskipun demikian, kontribusi pajak tanah dan
bangunan masih relatif kecil. Government Financial Statistics (GFS)
menyebutkan, penerimaan pajak tanah dan bangunan di negara berkembang
rata-rata hanya 0,78% dari PDB atau 4,64% dari total penerimaan pajak.
Sementara di negara maju, peran pajak tanah dan bangunan
terhadap penerimaan negara sedikit lebih besar, yaitu rata-rata 1,93% PDB
atau 7,29% dari total penerimaan pajak. Di negara maju, pajak tanah dan
bangunan/properti memainkan peran penting sebagai instrumen regulasi. Sektor
properti merupakan salah satu indikator dinamika ekonomi.
Langkah Tepat
Karena itu, penerimaan pajak tanah dan bangunan berkorelasi
dengan dinamika ekonomi, dan perannya yang semakin besar terhadap penerimaan.
Sebaliknya, di negara berkembang, kecenderungannya peran pajak tanah dan
bangunan justru makin berkurang.
Sejak awal pengenaannya, pajak tanah dan bangunan pada
hampir semua negara merupakan pajak lokal. Alasan utamanya karena objek
pajaknya tidak dapat berpindah tempat. Di Indonesia, mulai tahun 2013 pajak
tanah (bumi) dan bangunan (PBB) menjadi kewenangan pemkab/pemkot, dari
sebelumnya menjadi kewenangan pusat.
Pendelegasian kewenangan pajak tanah dan bangunan kepada
pemda merupakan langkah tepat dari sisi prinsip perpajakan. Mengingat objek
pajaknya tidak bisa berpindah tempat maka pemda punya kewenangan menetapkan
tarif.
Termasuk memanfaatkan pajak yang diterimanya sesuai dengan
kondisi daerah masing-masing. Penghapusan pajak tanah pasti akan mengurangi
pendapatan asli daerah. Dibanding pajak penghasilan, wujud objek pajak tanah
dan bangunan sudah ”jelas dan terlihat”. Objek pajaknya terkait dengan banyak
aspek, karenanya kewenangan pemerintah mengenakan pajak memainkan peran
regulasi dalam reformasi agraria.
Alih-alih efektivitas pajak tanah sebagai instrumen
regulasi ditingkatkan dalam kontreks reformasi agraria, penghapusan pajak
tanah justru kontraproduktif bagi reformasi agraria yang berkeadilan. Kembali
kepada wacana Menteri Ferry, alasan yang dikemukakannya sekilas terlihat
populis, bahkan idealis.
Namun bila mengkaji lebih jauh, alasannya itu
menggambarkan kelemahan pemahaman mengenai prinsip-prinsip dasar perpajakan.
Tentu kita tak ingin suatu saat pemerintah mewacanakan penghapusan pajak air
permukaan (PAP) dan pajak air bawah tanah (PABT) dengan alasan bahwa air itu
disediakan Tuhan sehingga bila ada yang memajaki berarti berbuat lalim. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar