Jokowi,
Jangan Ragu
Refly Harun ; Pengamat
dan Pengajar Hukum Tatanegara
|
DETIKNEWS,
16 Februari 2015
“…jika Budi Gunawan batal diangkat
sebagai Kapolri maka Presiden telah melanggar etika hubungan legislatif.
Namun jika tetap dilantik maka Jokowi akan melanggar etika dengan rakyatnya.” (Jimly Asshiddiqie, detik.com, 13
Febaruari 2015)
Saya ingin memulai tulisan ini dengan mengutip pernyataan
Prof. Jimly Asshiddiqe, seorang pakar hukum tata negara terkemuka yang juga
mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Pernyataan itu menjadi penting karena
memberhadapkan antara rakyat dan wakil rakyat dan sama-sama di ranah etika.
Pertanyaan Jimly kepada Presiden Jokowi, mana yang dipilih bila memang harus
memilih, melanggar etika dengan wakil rakyat atau melanggar etika dengan
rakyat itu sendiri?
Kewarasan publik pasti akan memilih melanggar etika dengan
wakil rakyat ketimbang rakyat itu sendiri. Rakyat adalah tuan dalam
demokrasi, sedangkan wakil rakyat hanya perwakilan atau corong dari kemauan
rakyat. Sayangnya, dalam banyak hal corong sering menggemakan suara yang
berbeda dengan suara rakyat yang memilih mereka.
Ketika wakil rakyat tidak berada dalam genderang yang sama
dengan rakyat maka sangat absah dan penuh justifikasi bila rakyat meneriakkan
suaranya sendiri, yang berbeda dengan wakil-wakil rakyat. Tugas rakyat tidak
selesai di bilik-bilik suara pemilu saja. Rakyat tetap punya ruang dalam
demokrasi untuk terus-menerus berpartisipasi dalam jalannya pemerintahan,
dalam pengambilan keputusan.
Itulah hakikat dari demokrasi partisipatoris, sebuah
tipologi demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai subjek, bukan objek. Kita
mungkin masih jauh ke arah sana. Orang menyebut demokrasi kita masih
demokrasi formal-prosedural. Namun, gerakan ke arah sana harus terus dijaga,
diperjuangkan, dalam setiap kesempatan, dalam setiap momen.
Momen berbedanya suara (mayoritas) rakyat --- yang bisa
dipastikan mewakili kewarasan dan hati nurani publik --- dengan suara
(sebagian) wakil rakyat dan elite dalam hal pelantikan seorang tersangka
korupsi menjadi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) adalah
momen untuk membuktikan demokrasi partisipatoris tersebut memiliki cikal
bakal. Inilah saatnya bersuara nyaring untuk kewarasan dan hati nurani, untuk
sebuah sikap yang pro terhadap pemberantasan korupsi, pro menghadirkan para
pejabat publik yang (kalau bisa) semuanya tidak bermasalah.
Lagipula (sebagian) wakil-wakil rakyat dan elite yang
tetap mendorong Budi Gunawan menjadi Kapolri tidaklah mengabsorbsi semua
suara rakyat. Tidak semua rakyat memiliki suara dalam pemilu. Tidak semua
pemilik suara tersebut menggunakan suaranya dalam pemilu. Pastinya pula,
tidak semua rakyat yang menggunakan suaranya dalam pemilu tersebut memilih
para wakil rakyat yang tidak setuju pembatalan Budi Gunawan sebagai Kapolri.
Dari sisi keterwakilan angka pun masih patut ditanyakan klaim sebagai
representasi rakyat, apalagi dari sisi keterwakilan substantif.
Kendati Jimly menyatakan bahwa Jokowi menghadapi dilema
terhadap dua pilihan tersebut, sesungguhnya pilihan yang harus dipilih
Presiden hanya satu: dengarkan suara rakyat. Suara rakyat adalah suara yang
genuine. Suara rakyat adalah suara Tuhan (vox
populi vox dei).
Masih terngiang dalam ingatan kita betapa gaduhnya para
wakil rakyat meributkan pemilihan langsung kepala daerah atau cukup melalui
DPRD. Sidang yang dibuka pada pagi hari tanggal 25 Sepember 2014 harus
diakhiri dengan voting tanggal 26 September dini hari, ditingkahi dengan aksi
jalan keluar (walk out) Fraksi Demokrasi
yang memunculkan tanda tanya besar. Di media ini saya sampai perlu menulis
“Khianat Demokrat” untuk mengkritik perilaku Fraksi Demokrat yang dianggap
menghancurkan benih-benih baik dari demorkasi
lokal.
Ketika Presiden SBY mengeluarkan perppu untuk
mengembalikan pemilihan langsung oleh rakyat, suara pro dan kontra
bersahut-sahutan. Mayoritas rakyat menghendaki pemilihan langsung, yang
tercermin dari hasil survei dan penyampaian aspirasi ke DPR baik langsung
maupun melalui aksi demonstrasi, tetapi suara mayoritas wakil rakyat berbeda.
Nyatanya, ketika kursi-kursi pimpinan MPR dan DPR telah
terbagi untuk mayoritas yang tidak menghendaki pemilihan langsung kepala
daerah, suara penolakan terhadap perppu surut. Januari lalu, perppu mulus
diterima menjadi undang-undang. Catatan keberatan terhadap beberapa substansi
perppu tidak menghilangkan kesan betapa mudahnya suara wakil rakyat berubah
ketika insentif politik sudah tidak ada lagi lantaran target untuk menguasai
semua pimpinan MPR dan DPR tercapai.
Penolakan (sebagian) wakil rakyat dan elite terhadap
pembatalan pelantikan Budi Gunawan dan, terutama, pengajuan calon baru
Kapolri, bisa jadi, juga akan berakhir dengan situasi antiklimaks. Penolakan keras di awal bisa jadi akan segera berubah
ketika deal-deal politik sudah menemukan kata sepakat. Suara elite selalu
akan berubah ketika kepentingan sudah tercapai atau kepentingan sudah tidak
mungkin tercapai lagi. Bila kepentingan masih dalam jangkauan antara bisa dan
tidak, elite-elite terus bermanuver. Politik memang tidak sederhana. Bukan
pelajaran di atas lembaran-lembaran kertas saja, tetapi harus diselami secara
riil di lapangan.
Kembali kepada kewarasan dan hati nurani publik harusnya
menjadi pilihan Jokowi sampai kapan pun. Tanpa itu, Jokowi, yang notebene
bukan darah biru parpol pemenang, bukanlah apa-apa. Parpol memang yang
menominasikan Jokowi, tetapi rakyatlah yang memilih dan memenangkannya. Baru
pada Pilpres 2014 inilah rakyat bahu membahu untuk memenangkan sosok yang
tidak punya akar kuat di parpol.
Jokowi tidak boleh tercerabut dari akarnya, tetapi rakyat
pun tidak boleh lalai untuk terus mengawal dan mengawasi. Bilamana Jokowi
dililit oleh banyak kepentingan di sekitarnya, mulai dari pemburu rente
hingga pemburu kekuasaan, rakyat harus menjadi tameng yang melindungi. Yang
penting, Jokowi jangan berubah. Jokowi harus tetap memegang janji Nawa
Cita-nya. Memilih Kapolri yang bersih dan bebas dari korupsi adalah sebagian
dari janji di Nawa Cita. Janji adalah utang. Utang harus ditagih.
Jokowi harus melunasi semua utangnya kepada rakyat
pemilih. Ia tidak bisa menghindar atau bergeser, apalagi berubah. Jangan ragu
memilih kewarasan dan hati nurani publik. Abaikan yang tidak sejalan. Jangan
dengarkan para elite dan sebagian pengamat yang mau menghancurkan amanat suci
dari publik pemilih.
Kecuali Anda sendiri yang sudah berubah Pak Jokowi, maka
jangan ragu untuk memutuskan apa pun yang terbaik bagi rakyat, terutama bagi
mereka yang telah menghadirkan kehormatan kepada Anda untuk menjadi sais
kereta negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar