Menghentikan
Metamorfosis Radikalisme
Hasibullah Satrawi ; Pengamat
Politik Timur Tengah dan Dunia Islam
|
MEDIA
INDONESIA, 06 Februari 2015
SADISME dan radikalisme terus
dipertontonkan oleh Islamic State of
Iraq and Syria (ISIS) ke masyarakat dunia.Sadisme mutakhir dilakukan oleh
ISIS terhadap pilot tempur Yordania bernama Moaz al-Kassasbeh dengan cara
dibakar dalam keadaan hidup.Kejadian ini hanya berselang beberapa hari dari
eksekusi mati yang juga dilakukan oleh ISIS terhadap tahanan dari Jepang.
Sementara itu masyarakat dunia tak
kunjung melakukan aksi nyata yang bersifat strategis dan komprehensif untuk
menghentikan sadisme dan radikalisme seperti kerap dilakukan ISIS ataupun
kelompok-kelompok radikal lain. Aksi nyata strategis yang penulis maksud
ialah sebuah upaya yang bersifat komprehensif, mulai pencegahan, penyelesaian
akar-akar masalah, hingga pendekatan yang bersifat militeristik.
Hal yang kerap dilakukan oleh
masyarakat dunia justru penyelesaian yang bersifat militeristik. Apa yang
dilakukan oleh koalisi global di bawah pimpinan Amerika Serikat (AS) untuk
menghancurkan ISIS bisa dijadikan sebagai salah satu contoh dari yang penulis
sampaikan. Alih-alih berhasil, ISIS bahkan tampak lebih brutal. Bahkan
sebagian dari anggota koalisi AS (seperti Uni Emirat Arab) belakangan
diberitakan menarik diri dari koalisi AS pascapembakaran terhadap tahanan
dari Yordania.
Konflik politik
Dalam konteks Timur Tengah,
setidaknya ada dua faktor utama bagi munculnya pelbagai radikalisme. Pertama,
konflik politik. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak negara di Timur Tengah
yang menghadapi persoalan radikalisme secara akut, khususnya negara-negara
yang sempat dilanda Arab Spring seperti Libia, Mesir, Yaman, dan Suriah.
Secara politik, dunia mungkin
berbeda-beda dalam menyikapi radikalisme yang terjadi di negaranegera
tersebut. Dalam konteks ISIS yang kerap menebar sadisme di bumi Suriah dan
Irak, contohnya, masyarakat dunia seakan berhasil mencapai konsesnus bahwa
gerakan ini harus dijadikan sebagai musuh bersama.
Namun, sikap masyarakat dunia
berbeda menyikapi pelbagai radikalisme di Mesir yang diduga melibatkan para
pengikut maupun simpatisan Ikhwan Muslimin, khususnya setelah militer
menggulingkan Muhammad Mursi pada 2013 lalu, bahkan walaupun otoritas Mesir
saat ini telah memvonis Ikhwan Muslimin sebagai gerakan teroris.
Perbedaan sikap masyarakat dunia
lebih parah lagi terjadi dalam konteks Palestina. Pelbagai kekerasan yang
kerap terjadi di wilayah ini acap `terlupakan begitu' saja. Pada hal aksi
kekerasan demi kekerasan di wilayah ini telah merenggut ribuan nyawa.
Perbedaan sikap negara-negara
dunia seperti itu tentu sesuai dengan kepentingan nasional masing-masing.
Namun, hal yang harus diperhatikan ialah bahwa pelbagai aksi kekerasan yang
ter jadi di negara-negara itu sesungguh nya menampakkan satu substansi, yaitu
hilangnya perdamaian, hilang nya rasa aman, bahkan hancurnya kemanusiaan. Dilihat
dari segi faktor, pelbagai kekerasan yang terjadi disebabkan oleh faktor
konflik poli tik yang berkepanjangan.
Dengan kata lain, konflik politik
yang berkepanjangan akan memicu lahirnya pelbagai bentuk radikal isme dan
sadisme. Inilah yang kerap terjadi di Palestina, terus berlang sung di
Suriah, Mesir, dan yang lainnya.
Oleh karena itu, sejatinya masya
rakat dunia memberikan perhatian yang sangat besar untuk mendorong
penyelesaian pelbagai konflik politik di wilayah ini. Alih-alih, masyarakat
dunia seakan hanya lebih suka berperang daripada secara serius menyelesaikan
konflik konflik yang ada.
Apa yang terjadi dengan ISIS saat
ini bisa dijadikan sebagai salah satu contoh dari yang telah disampaikan.
Masyarakat dunia tampak lebih suka menyerang ISIS secara langsung daripada
menyelesaikan konflik politik yang terjadi di Suriah dan Irak. Padahal ISIS
sesungguhnya terlahir akibat pelbagai konflik politik yang terjadi di dua
negara itu secara berkepanjangan dan acap tak terselesaikan sampai hari ini.
Bahkan dalam konteks Palestina,
masyarakat dunia seakan sangat berat untuk mendukung negara ini merdeka dan
berdampingan secara damai dengan Israel. Bahkan upayaupaya diplomasi di
tingkat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mewujudkan Palestina yang
merdeka acap dipandang sebelah mata.
Puritanisme keagamaan
Kedua, puritanisme keagamaan.Ini
adalah faktor yang tak kalah menentukan
bagi tumbuh suburnya pelbagai
kelompok radikal di Timur Tengah. Konteks soial dan politik yang jauh dari
kedamaian bisa menjadi lahan yang subur bagi munculnya paham dan gerakan
keagamaan yang bercorak puritanistik dan teroristik.
Dengan kata lain, paham keagamaan
bisa menjadi justifikasi bagi cita-cita kekerasan yang dilahirkan dari
konteks sosial-politik yang jauh dari rasa aman dan ketenteraman. Melalui
justifikasi keagamaan, kekerasan yang dirancang oleh kelompok tertentu bisa
berjalan secara sadis yang tak menampakkan `wajah luhur' agama sedikit pun.
Kenyataan di atas kerap kita
temukan dari pelbagai aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok tertentu
dengan mengatasnamakan agama, tak terkecuali sadisme mutakhir yang dilakukan
oleh kelompok ISIS (sebagaimana telah disampaikan di atas). Harus diakui
bersama, aksi-aksi itu dilakukan dengan justifikasi keagamaan. Tapi justru
tak ada nuansa agama sedikit pun dalam aksiaksi brutal nan sadis yang mereka
lakukan.
Hal yang harus dipahami bersama,
puritanisme dan radikalisme keagamaan acap berjalan dengan semangat
`mengiris-iris' kesatuan umat. Dalam studi gerakan radikal, semangat ini lahir
dari kecenderungan mengekslusifkan kelompok sendiri sekaligus menihilkan yang
lain.Maka, kelompok maupun bangsa yang pada awalnya satu, kemudian dipecah
sedemikian rupa berdasarkan `kelompok kita' dan `kelompok mereka'. Begitu
seterusnya hingga kelompok yang satu menjadi varian-varian kecil. Bahkan
varian-varian yang kecil terus diiris menjadi lebih kecil lagi dengan nuansa
sadisme yang jauh lebih ekstrem lagi.
Inilah yang saat ini dialami oleh
ISIS. Kelompok yang pada awalnya menginduk ke Al-Qaeda itu kini tampil dengan
radikalisme dan sadisme yang jauh lebih ekstrem ketimbang yang dilakukan oleh
Al-Qaeda. Adapun Al-Qaeda sendiri merupakan metamorfosis dari gerakan-gerakan
radikal lain yang ada sebelumnya.
Oleh karena itu, masyarakat dunia
harus segera menghentikan metamorfosis radikalisme ini, termasuk pemerintah
Indonesia, yakni dengan menyelesaikan konflik-konflik politik yang ada dan
disertai dengan penguatan paham keagamaan yang bersifat toleran dan moderat.
Apalagi gerakan radikal di negeri ini juga mengalami metamorfosis yang kurang
lebih sama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar