Budi
dan Spirit ‘Bushido’
Mokhamad Abdil Aziz ; Penulis
|
KORAN
TEMPO, 06 Februari 2015
Komisaris Jenderal Budi Gunawan menolak mundur dan memilih
menunggu putusan sidang praperadilan yang ia ajukan terhadap Komisi
Pemberantasan Korupsi. Padahal Istana telah beberapa kali meminta Budi
Gunawan mundur dari pencalonannya sebagai Kepala Polri setelah ia ditetapkan
sebagai tersangka oleh KPK. Pengunduran diri Budi Gunawan (BG) adalah opsi
ideal yang sebenarnya diinginkan oleh Istana. Itulah yang dikatakan oleh
Menteri-Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto (Tempo, 4 Februari 2015).
Istana sudah menyiapkan enam opsi yang ditawarkan kepada
presiden, menyangkut solusi atas pencalonan Kapolri. Pertama, mundurnya Budi
Gunawan; kedua, melantik definitif; ketiga, melantik lalu nonaktif; keempat,
penundaan sampai ada status hukum yang tetap; kelima, membatalkan lalu
mencalonkan nama baru; dan terakhir, memilih kondisi status quo sambil
menunggu adanya kalkulasi yang baru. Kondisi ini tentu saja memperpanjang "kegaduhan"
politik yang tengah terjadi.
Presiden Joko Widodo, sebagai orang yang paling berkuasa
di negeri ini, tidak mampu berbuat banyak. Sikap Jokowi yang normatif dan
terlihat sangat dilematis menjadikan seolah-olah Presiden tidak punya kuasa
atas penyelesaian kasus ini. Namun, selain sikap Jokowi yang tidak
"tegas", yang menjadi pertanyaan adalah mengapa Budi Gunawan begitu
ngotot untuk dilantik menjadi Kapolri definitif, sedangkan dirinya tengah
menyandang status tersangka. Apakah Budi sangat yakin bahwa dirinya
benar-benar bersih dari sangkaan KPK, atau ada faktor lain yang mendasarinya?
Sikap semacam ini berbeda dengan beberapa pejabat publik
pada masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebut saja, Andi
Mallarangeng mengundurkan diri dari jabatan Menteri Pemuda dan Olahraga
setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kaitan dengan dugaan
korupsi kasus Hambalang; juga Suryadharma Ali, yang mundur setelah menjadi
tersangka, dan sebagainya. Orang jadi bertanya-tanya, di mana fatsoen (baca:
etika) politik pejabat publik saat ini, sehingga tidak merasa
"malu" dengan status tersangka.
Hal ini tentu saja menjadi renungan bagi bangsa Indonesia
ke depan, bagaimana jika pejabat publik tidak punya rasa malu lagi, padahal
dia telah melakukan pelanggaran terhadap aturan yang berlaku. Penulis tidak
hendak mengadili lebih dulu status tersangka Budi Gunawan, juga tidak ingin
mengasosiasikan BG sebagai pihak yang bersalah. Berbeda dengan itu,
setidaknya inilah kegelisahan rakyat kecil yang mendambakan pejabat yang
notabene menjadi pengemban amanat rakyat, bisa menghisab diri, tentu saja
untuk kemaslahatan bangsa dan negara.
Alasan yang digunakan Budi Gunawan (juga pengacara dan
pendukungnya) adalah bahwa saat ini ia belum diputuskan bersalah oleh pengadilan,
sehingga asa praduga tak bersalah harus tetap dihormati. Secara hukum, hal
ini sah dan tidak disalahkan. Namun, bagaimana etikanya? Dalam
penyelenggaraan negara, hukum dan etika menjadi pegangan yang utuh dalam
kehidupan berbangsa. Bahkan bisa dipastikan sebagian besar lingkungan
penyelenggaraan negara dikendalikan oleh hukum dan etika, termasuk regulasi
dan lembaga etikanya.
Soal etika, sebenarnya telah diatur oleh Ketetapan No.
VI/MPR/2001 bahwa pejabat yang mendapat sorotan negatif dari publik harus
bersedia mundur dan tidak menjabat lagi tanpa harus menunggu putusan
pengadilan. Intinya, ketetapan tersebut mengamanatkan agar penyelenggara
negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada
publik. Termasuk siap mundur bila dirasa tak mampu memenuhi amanah rakyat.
Berkenaan dengan hal ini, penulis teringat akan pola
kepemimpinan di Jepang yang secara umum berlandaskan etika dan spirit
bushido. Yang terakhir inilah yang menarik untuk dijadikan pelajaran
berbangsa. Bushido terdiri atas dua kata, yaitu bushi yang artinya kesatria atau prajurit dan do yang berarti jalan. Bushido atau
"jalan kesatria atau prajurit" merupakan sebuah sistem etika atau
aturan moral kekesatriaan yang berlaku di kalangan samurai, yaitu pada zaman
feodal Jepang. Makna bushido secara umum bisa diartikan sebagai sikap rela
mati untuk negara atau kerajaan.
Yamamoto Tsunetomo mengungkapkan bahwa para samurai
menjadi orang-orang yang mencintai tugas dan kewajibannya melebihi kecintaan
kepada diri mereka sendiri, meskipun nyawa taruhannya. Jika gagal menunaikan
tugas, mereka rela melakukan bunuh diri-dikenal dengan sebutan seppuku (pengeluaran isi perut) atau harakiri (penyobekan perut). Nah,
inilah yang kemudian membudaya di Jepang, meskipun sekarang bermetamorfosis
menjadi tradisi mengundurkan diri ketika dianggap tidak mampu menjalankan
tugas atau melanggar aturan. Alhasil, Jepang menjadi negara yang sangat maju.
Kapan Indonesia bisa meniru dan melaksanakan spirit bushido ini? Wallahualam.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar