Mengawal
Nilai Tukar Rupiah
Firmanzah ; Rektor
Paramadina dan Guru Besar FEUI
|
KORAN
SINDO, 16 Februari 2015
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS)
pada perdagangan minggu lalu menghadapi tekanan. Pada Jumat (13/2), nilai
tukar rupiah ditutup di posisi Rp12.798 per dolar AS dan sempat mencapai
level Rp12.851 per dolar AS di hari sebelumnya. Tekanan terhadap nilai tukar
rupiah ini juga kita rasakan sepanjang 2014, di mana rupiah terdepresiasi
sebesar 1,74% (year on year ).
Pelemahan nilai tukar rupiah dimulai menjelang berakhirnya
tahun 2012 atau awal 2013 ketika The Fed mulai menyampaikan rencana
percepatan penghentian program stimulus quantitative easing (QE III) hingga
rencana kenaikan suku bunga The Fed. Secara umum kebijakan The Fed ini memicu
pelemahan nilai tukar rupiah dan hampir sebagian besar nilai tukar negara
berkembang (soft currency ).
Di saat bersamaan negara-negara di kawasan Eropa, China,
dan Jepang, mengalami perlambatan ekonomi. Hal ini memperbesar bobot tekanan
bagi nilai tukar rupiah mengingat kawasan Eropa, China, dan Jepang merupakan
mitra strategis Indonesia. Pada Jumat (13/2), Bank Indonesia merilis neraca
pembayaran triwulan IV 2014 surplus sebesar USD2,4 miliar akibat surplus
transaksi modal dan finansial sebesar USD7,8 miliar yang melampaui defisit
transaksi berjalan sebesar USD6,2 miliar (2,81% produk domestik bruto/PDB).
Dengan demikian, neraca pembayaran tahun 2014 mencatatkan
surplus USD15,2 miliar setelah pada 2013 defisit USD7,3 miliar. Perbaikan
tersebut ditopang oleh menyusutnya defisit transaksi berjalan dan
meningkatnya surplus transaksi modal dan finansial. Surplus ini juga memberi
efek pada peningkatan cadangan devisa yang hingga akhir Januari telah
mencapai USD114,2 miliar.
Selain itu Bank Indonesia juga merilis kinerja transaksi
berjalan, di mana defisit transaksi berjalan triwulan IV 2014 sebesar USD6,18
miliar atau lebih rendah dibandingkan dengan defisit USD7 miliar (2,99% PDB)
pada triwulan III 2014. Dengan demikian, sepanjang 2014, defisit transaksi
berjalan tercatat USD26,2 miliar (2,95% PDB) atau lebih kecil dibanding tahun
2013 yang mencapai USD29,1 miliar (3,18% PDB).
Sementara itu Badan Pusat Statistik (BPS) merilis kinerja
neraca perdagangan 2014 masih defisit sebesar USD1,88 miliar
dengannilaitotaleksportercatat USD 176,29 miliar, sementara impor USD178,18
miliar. Jika kita amati, surplus neraca pembayaran yang lebih banyak ditopang
oleh transaksi finansial pada 2014, di mana nilainya mencapai USD43,6 miliar
atau meningkat dua kali lipat dari 2013 yang sebesar USD21,9 miliar.
Sementara transaksi modal relatif stabil dari tahun ke
tahun. Transaksi finansial pada periode 2014 banyak disumbangkan oleh
investasi portofolio baik swasta maupun sektor publik. Di sisi lain neraca
transaksi berjalan sejak triwulan IV 2011 hingga saat ini terus negatif
(defisit) menunjukkan bahwa kinerja transaksi baik barang maupun jasa masih
relatif kurang menggembirakan.
Defisit transaksi berjalan tercatat terus defisit
sepanjang triwulan IV 2011-2014 atau telah berlangsung selama 13 triwulan
berturut-turut.Ini merupakan catatan penting bagi perekonomian nasional mengingat
ekonomi Indonesia baru periode tersebut mengalami defisit berturut-turut.
Memang argumentasi di belakang realita tersebut adalah perlambatan ekonomi
dunia yang juga menekan permintaan secara global.
Belum lagi dinamika ekonomi kawasan dan domestik yang juga
memberi sentimen terhadap perekonomian nasional. Dari gambaran ini,
pemerintah perlu mencermati dua hal. Pertama, potensi pembalikan modal
(reverse) yang sewaktuwaktu dapat terjadi dan menekan transaksi finansial
yang sebagian besar didominasi oleh investasi portofolio. Hal ini tentunya
bukan hal yang mustahil mengingat The Fed telah memberi sinyal kenaikan suku
bunga di Amerika Serikat (cepat atau lambat).
Kenaikan suku bunga The Fed tentunya akan berdampak pada
realokasi investasi dan pelarian modal keluar dari negara-negara berkembang
ke Amerika Serikat. Termasuk investasi dan modal derivatif yang saat ini
parkir di Indonesia. Kedua, dari sisi transaksi berjalan akan relatif sulit
diharapkan terlalu banyak mengingat tekanan melemahnya permintaan komoditas
dunia sementara sebagian besar kegiatan ekspor masih mengandalkan ekspor
komoditas.
Defisit yang terjadi sepanjang 13 triwulan sejak akhir
2011 mencerminkan masih perlunya dorongan bagi produksi-produksi barang/ jasa
yang bernilai tambah tinggi mengingat tekanan melemahnya permintaan komoditas
terus meningkat seiring dengan anjloknya harga komoditas. Asumsi bahwa
anjloknya nilai tukar rupiah akan memberi peluang bagi ekspor juga sulit
dipertahankan lantaran eksportasi yang dilakukan masih didominasi sektor
komoditas.
Artinya untuk dapat keluar dari persoalan defisit
transaksi berjalan, maka produksi barang/ jasa bernilai tambah tinggi mutlak
harus dilakukan Ketiga, stabilitas politik memerlukan kehati-hatian mengingat
contagion effect -nya cukup signifikan terhadap stabilitas perekonomian
nasional. Walaupun sentimen eksternal yang datang dari krisis Yunani pada
pekan lalu ditengarai sebagai sebab dari pelemahan rupiah, tetapi pemerintah
juga perlu menyadari situasi dan dinamika domestik yang kini berlaku di
Indonesia.
Potensi tergerusnya kepercayaan investor, melemahnya animo
pasar akan berdampak pada kinerja neraca pembayaran di masa mendatang.
Persoalan-persoalan di atas tentunya sangat membutuhkan respons kebijakan
agar tekanan baik eksternal maupun internal dapat dimitigasi sehingga ekonomi
nasional dapat terus membaik. Proyeksi ekonomi global sepanjang 2015 masih
berputar sekitarkenaikansukubungaThe Fed, tertekannya ekonomi Eropa, China,
dan Jepang, konflik di sejumlah kawasan, akan berdampak sepanjang tahun 2015.
Pertama, permintaankomoditas masih terus melemah sepanjang
2015. Kedua, harga minyak dunia juga tetap berada pada level yang rendah
akibat pasokan yang berlimpah setelah Amerika mengumumkan surplus minyak
serpih. Ketiga, perbaikan ekonomi Amerika akan mendorong penguatan mata uang
dolar AS terhadap sebagian besar mata uang negara-negara di dunia termasuk
Indonesia.
Keempat, konflik Ukraina, Timur Tengah, dan
persoalan-persoalan di perbatasan negara juga akan memberi kontribusi
signifikan terhadap perlambatan ekonomi global sekaligus mendorong pelemahan
permintaan dunia. Dengan berbagai proyeksi tersebut, pemerintah tetap perlu
mencermati dan mewaspadai pelemahan nilai tukar rupiah mengingat dampak
pelemahan ini dapat mengakibatkan tertahannya pertumbuhan ekonomi.
Pertama, kebutuhan bahan baku yang sebagian besar impor
akan menghadapi masalah serius. Kedua , karena biaya bahan baku naik,
harga-harga barang industri juga berpotensi meningkat pada harga akhir.
Ketiga, daya beli masyarakat akan tergerus akibat kenaikan harga-harga
tersebut padahal sebelumnya sudah dihadapkan pada kenaikan harga listrik dan
elpiji.
Keempat, potensi pelarian modal dalam beberapa waktu ke
depan memiliki nilai probabilitas cukup tinggi yang dapat sewaktu- waktu
menekan kinerja neraca pembayaran. Kelima, kenaikan suku bunga The Fed dan
potensi pelarian modal berdampak pada kebijakan otoritas moneter yang salah
satu opsinya menaikkan suku bunga.
Kenaikan suku bunga ini tentunya akan berdampak pada
tertekannya sektor riil yang langsung atau tidak langsung juga menekan daya
beli masyarakat. Dari kelima potensi itu, hal paling mendasar bagi pemerintah
saat ini adalah mempertahankan dan memastikan daya beli masyarakat tidak
tergerus.
Ini dapat ditempuh melalui koordinasi kebijakan lintas
sektoral untuk tetap menjaga baik melalui instrumen harga di tingkat akhir,
maupun instrumen fiskal lain yang dapat menjaga daya beli masyarakat,
khususnya terhadap sejumlah barang kebutuhan pokok dan barang penting
lainnya. Setelah itu kinerja perdagangan perlu diarahkan pada produksi
barang-barang bernilai tinggi sekaligus digunakan untuk memperkuat orientasi
ekspor barang-barang bernilai tambah tinggi.
Dan yang tak kalah pentingnya adalah memastikan stabilitas
politik dan keamanan domestik untuk menjaga citra sebagai salah satu
destinasi investasi yang atraktif saat ini. Dengan mencermati hal ini, kita
berharap tekanan pelemahan rupiah dapat diantisipasi khususnya terkait
dampaknya terhadap ekonomi sektor riil dan rumah tangga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar