Membahas
Tembakau dalam Persahabatan
Mohamad Sobary ; Esais,
Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 16 Februari 2015
Serikat Rakyat, sebuah LSM yang memiliki komitmen besar
memperjuangkan nasib petani tembakau, berkoordinasi dengan Asosiasi Petani
Tembakau (APTI), meminta dukungan Komnas HAM, untuk menyelenggarakan sebuah
diskusi terbuka.
Diskusi itu diadakan pada 11 Februari 2015 di kantor
Komnas HAM, Jakarta. Tujuannya menyusun suatu konsep akademik yang bakal
diajukan pada pemerintah untuk menjadi suatu pertimbangan menyusun kebijakan
pertembakauan. Hadir dalam pertemuan itu para tokoh anti tembakau maupun
tokoh-tokoh pembela tembakau.
Diskusi itu membahas sikap pemerintah kita yang belum
melakukan ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang
resminya diajukan WHO, untuk menjadi perhatian negaranegara di seluruh dunia.
Seorang tokoh di bidang kesehatan masyarakat menguraikan perlunya pemerintah
meratifikasi FCTC tersebut, dengan argumen yang meyakinkan bahwa kita tidak
rugi apa pun bila kita meratifikasinya.
Diberikan contoh negaranegara yang telah melakukan
ratifikasi tanpa kerugian apa pun, bahkan dalam urusan dengan tembakau,
produk tembakau dan memperdagangkannya tetap secara leluasa tanpa beban apa
pun. Kecuali itu, dia menyarankan agar FCTC tak dihubungkan dengan persoalan
petani tembakau. Seorang tokoh lagi memberikan gambaran, sekarang ini kita
lemah di bidang olahraga karena pengaruh merokok.
Dia mencontohkan di zamanSarengat, pada tahun1962- an,
bidang olahraga kita mencapai prestasi hebat. Sekarang ini kita
bangsaperokok. Prestasiolahraga anjlok. Bangsa perokok bukan olahragawan yang
baik. Tanggapan bermunculan dari pihak pembela tembakau. Di antara tanggapan
yang muncul adalah ratifikasi tanpa pemahaman persoalan-persoalan yang bakal
muncul di kemudian hari jelas membahayakan bangsa kita.
Negara-negara yang telah melakukan ratifikasi tanpa
masalah, itu kasus mereka, yang berbeda dari kasus kita. Jika kita harus juga
melakukan ratifikasi itu, maka kita harus memiliki strategi dan
program-program mengatasi apa yang kemungkinan bakal timbul kelak. Jadi,
dipelajari dulu secara saksama dan mendalam, baru kemudian merancang berbagai
kemungkinan jalan keluar, jika timbul masalah di kemudian hari.
Ringkasnya, ratifikasi bukan sekadar ratifikasi, untuk
ikutikut negara lain tanpa mempelajari seluk-beluk teknisnya, yang mungkin
bakal merugikan kita, bahkan membahayakan kita. Suasana diskusi terasa begitu
tenang. Semua pihak mendengarkan tanggapan itu dengan sesekali mencatat di
buku masing-masing. Yang lain diam. Di wajah mereka tak terlihat kerut-merut
yang menandakan sikap tak setuju.
Suasana ruang diskusi di kantor Komnas HAM itu malah lebih
mirip dengan suatu acara pengarahan, yang hanya wajib didengar. Tidak ada
yang mendebat, atau memotong pada saat suatu pihak berbicara. Kelihatannya,
inilah pertemuan antara para tokoh antitembakau dengan para tokoh pembela
tembakau yang paling nyaman dan paling bersaudara. Biasanya, ada debat-debat,
tangkis-menangkis, perasaan tersinggung, marah, atau dengki, dan kelihatan
saling menuduh, saling memojokkan.
Tanggapan lain menggambarkan suasana lapangan jika
ratifikasi dilakukan tanpa pemahaman mendalam, dan tanpa menyiapkan program
penyelamatan. Dicontohkannya di zaman Badan Pengelola Perdagangan Cengkih
(BPPC), yang sangat mematikan petani cengkih. Petani terpukul. Kehidupan
ekonomi rumah tangga porak-poranda. Pendidikan anak-anak menjadi kacau.
Sebagian anak petani cengkih menempuh kuliah dengan susah
payah mencari uang sendiri. Ini kasus nyata, yang tak boleh terulang melalui
FCTC tersebut. Ratifikasi ya ratifikasi, tetapi dengan kesiapan konsep maupun
teknis yang matang. Tanggapan lain masih bermunculan dari pihak petani
tembakau dan pembela petani tembakau. Ratifikasi FCTC tanpa merisaukan
hubungannya dengan petani tembakau? Tidak bisa.
Petani tembakau di sini pihak yang turut diatur oleh
peraturantersebut. Dengan sendirinya, harus dihubungkan dengan petani
tembakau. Mereka yang bakal terkena dampak aturan itu. Kemudian tanggapan
tentang menurunnya prestasi olahraga bangsa kita. Mengapa yang disorot
generasi Sarengat, pada tahun 1962-an, dan meloncat ke generasi hari ini?
Bagaimana fenomena olah raga di zaman Rudy Hartono, Tjuntjun, Cristian
Hadinata, turun ke Liem Swie King, Icuk Sugiarto, dan lain-lain yang
hebat-hebat, dan mendominasi dunia bulu tangkis?
Mengapa fenomena ini tak disebutkan? Bukankah ini terjadi
sesudah zaman Sarengat tersebut? Prestasi olahraga kita sekarang merosot, apa
betul karena mereka perokok? Olahraga memang membutuhkan napas yang baik.
Napas pertama, jangan sesaki, oleh penyebab apa pun. Sesak napas bisa karena
faktor nonrokok. Selebihnya gizi.
Di pelatnas disediakan kebutuhan terbaik bagi olahragawan.
Banyak faktor penyebab prestasi olahraga kita merosot.Jadi bukan hanya
perkara merokok. Suasana bersahabat di dalam ruang diskusi sangat kelihatan.
Takadayangmemotong pembicaraan tersebut. Ini diskusi para pejuang yang
berpikir bagi kepentingan masyarakat.
Para petani tembakau, dan para pembela petani tembakau,
siap diatur, dan mau mendengarkan aturan itu. Mereka memerlukan pula tata
kehidupan masyarakat yang sehat, sebagaimana diinginkan para tokoh
antitembakau. Dalam hal itu ada kesamaan yang bisa dibikin makin dekat. Semua
berjuang dengan baik. Patut menjadi renungan, bahwa kita tak perlu baku
hantam, dengan kedengkian dan permusuhan, seperti terjadi selama ini. Diskusi
hari ini sangat bagus.
Para tokoh, semuanya bangsa Indonesia, beberapa di
antaranya tokoh terhormat, mengapa berkelahi satu sama lain, padahal yang
bakal memetik keuntungan terbesar justru bangsa asing. Kita semua tahu, ada
dana asing dalam jumlah sangat besar, yang diumumkan melalui website secara
global dan terbuka untuk diakses siapa pun.
Dana itu dikucurkan pada lembaga apa saja yang bisa
melakukan penelitian dan menemukan keburukan dan bahaya merokok. Intinya,
harus dinyatakan rokok berbahaya. Tujuan dukungan keuangan itu untuk membunuh
tembakau dan produk olahannya, keretek, dan semua tenaga kerja yang hidup
dari memproduksi keduanya. Semua pihak diam dan mendengarkan.
Ada yang membuat catatan. Tapi ruangan itu kelihatan lebih
tenang daripada ruang sebuah pengajian yang mana pun. Kita berbahagia, para
tokoh, aktivis, pemikir, peneliti, dokter, politisi, kelihatan seia sekata
dalam pembahasan perkara yang biasanya sensitif dan mudah “menyengat”. Bahkan
usul pihak antitembakau yang disampaikan pada bagian akhir diskusi, terdengar
seperti suara petani tembakau dan aspirasi petani tembakau itu sendiri. Ini
tanda kebesaran hati beliau.
Dan kita berterima kasih. Kita heran. Kali ini tidak ada
yang sengaja “menyengat” dan juga tidak ada yang “tersengat”. Suasana diskusi
seperti majelis zikir yang sedang berdoa, dan semua serentak menjawab: amin,
amin, amin. Semoga dikabulkan. Semoga Tuhan mengijabahi. Semoga bangsa
Indonesia bahagia. Dan petani tembakau pun ingin ikut berbahagia, sedikit
saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar