Mencari
Pialang Netral
Ratri Istania ; Dosen
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi LAN;
Kandidat Doktor Ilmu Politik di Loyola University Chicago
|
KOMPAS,
04 Februari 2015
MENYAMBUT 100 hari pemerintahan Joko Widodo, ekonom
kawakan Barclay Chief Asia Economist
menyebutkan prestasi Jokowi cukup impresif melalui gebrakan pemerintah
mencabut subsidi premium. Itu langkah luar biasa bagi presiden di awal
pemerintahannya.
Lingkaran Survei Indonesia mengindikasikan merosotnya
kepuasan publik atas kinerja 100 hari
pemerintahan Jokowi, terutama dalam penegakan hukum. Terlepas dari kemampuan
Jokowi memukau pihak asing, masalah domestik menderanya. Pertentangan KPK dan Polri mendorong publik
mempertanyakan kemampuan Presiden menjaga kepercayaan masyarakat mengambil
keputusan terkait hukum.
Presiden merupakan sosok sentral penentu arah kebijakan
domestik ataupun luar negeri.
Sentralitas itu perlu didukung berbagai pihak yang kompeten menduduki
jabatan publik (para menteri atau orang dengan tugas khusus) yang bekerja
demi memastikan kebijakan presiden
berjalan sesuai dengan rencana.
Banyak pihak menyalahkan kekosongan peran Kepala Staf
Kepresidenan Luhut Panjaitan berakibat pada lemahnya Jokowi mengambil
keputusan terkait kasus KPK-Polri. Tulisan ini adalah refleksi 100 hari
pemerintahan Jokowi dengan membandingkan peran kepala staf kepresidenan di
awal masa pemerintahan Obama dan Jokowi.
Obama-Jokowi
Dalam studi tentang bagaimana Obama mengambil keputusan,
Pfinner (2011) menggarisbawahi pentingnya tiga faktor sebagai indikator
keberhasilan: derajat sentralisasi figur presiden, tingkat keberagaman
masukan terhadap presiden, dan ketersediaan pialang netral. Di awal periode pertama pemerintahannya,
Obama memosisikan diri sebagai figur sentral pemerintahan. Seperti halnya pada sang pendahulu, Bush
Jr, semua pengambilan keputusan terpusat pada presiden. Belajar dari
kesalahan Bush Jr yang kerap mengambil keputusan tanpa berkonsultasi dengan
pihak kompeten dalam administrasi pemerintahannya, Obama memutuskan membuka
ruang debat bagi anggota kabinet dan para pembantunya. Kelemahannya, Obama
tak memiliki pialang yang bertanggung jawab memastikan orang-orang terlibat
dalam perdebatan di depan presiden berjalan dinamis dan berimbang.
Pengambilan keputusan kontroversial Obama dalam kasus pengiriman tentara AS ke Afganistan pada 2009 ditengarai
karena sang kepala staf kepresidenan, Rahm Emanuel, Wali Kota Chicago
sekarang kurang memainkan peran sebagai pialang netral.
Peran pialang netral sangat penting mengingat keterbatasan
pengetahuan seorang presiden tentang latar para pembantunya dalam
kabinet. Begitu pula seorang presiden
belum tentu paham tingkat kepentingan orang-orang di lingkaran dalam istana.
Seorang pialang netral bertugas menempatkan orang-orang berkompeten dengan
peta kekuatan berimbang antara pro dan kontra untuk memberikan masukan kepada
presiden. Dengan kata lain, kualitas keputusan seorang presiden dipengaruhi
peran pialang netral. Persoalannya, siapakah pialang netral yang dimaksud
dalam pemerintahan Jokowi?
Belajar dari administrasi pemerintahan Obama, Jokowi punya
sosok Luhut Panjaitan sebagai Kepala
Staf Kepresidenan yang bertanggung jawab meringankan beban Jokowi dalam
pengambilan keputusan. Secara garis
besar, Peraturan Presiden 190/2014 menyebutkan tentang fungsi kepala staf
unit kepresidenan sebagai pemimpin unit dalam mendukung komunikasi politik
dan pengelolaan isu strategis kepada presiden dan wakil presiden.
Kasus KPK vs Polri hendaknya dapat jadi momentum bagi
Luhut membuktikan diri piawai menjalankan fungsi strategisnya, bukan malah
menjerumuskan Jokowi berjalan sendirian dalam mengambil keputusan. Seorang presiden memerlukan informasi
akurat, apalagi terkait isu krusial yang berpotensi mengganggu stabilitas
politik bangsa. Seperti halnya Rahm Emanuel dalam pemerintahan Obama, Luhut
kurang memainkan posisinya selaku pialang netral. Mengapa Luhut bertindak
sedemikian rupa?
Perlu dipahami, Luhut bukan pemain netral dalam
politik. Sepanjang karier politiknya,
jenderal bintang tiga (purnawirawan) ini sudah berkecimpung di era
pemerintahan Presiden Habibie dan Abdurrahman Wahid. Sebagai lulusan Akmil (1970), pendidikan
dan karier militer Luhut menonjol. Latar Luhut sebagai wakil ketua Dewan
Pertimbangan Partai Golkar (2008-2014) tentu memengaruhi ideologi politiknya
saat menjadi pengarah tim sukses Jokowi-JK.
Luhut sangat berpengalaman menghadapi berbagai tipe
kepemimpinan presiden. Kepiawaian
Luhut menempatkan diri tentu berkontribusi terhadap kesintasannya (survival) dalam berbagai situasi
politik pemerintahan. Begitu pula di
masa pemerintahan Jokowi, Luhut mampu membaca situasi. Pilihan untuk tak berbuat banyak merupakan
keputusan strategis seorang pribadi Luhut. Dengan begitu, eksistensi
politiknya tetap terjaga.
Selaku seorang militer karier, Luhut paham silang
sengkarut posisi TNI dan Polri dalam politik pemerintahan. Tak seperti Polri bertanggung jawab
langsung kepada presiden, banyak pihak menganggap posisi TNI di bawah
Kementerian Pertahanan. Bagi seorang
prajurit setia pada lembaganya, status kelembagaan Polri tentu membangunkan
kembali egosektoral seorang Luhut membela TNI. Keterkaitan emosional Luhut
atas institusi TNI bertambah kompleks dengan kesetiaan ideologisnya terhadap
Golkar. Posisi dilematis Golkar dalam tubuh pemerintahan Jokowi sedikit
banyak berkontribusi terhadap pelemahan fungsi Luhut memediasi berbagai
kepentingan politik dalam isu KPK-Polri.
Kombinasi ketiga karakteristik itu membuat Luhut enggan
berkecimpung lebih dalam memainkan peran sebagai pialang netral. Serangan
publik terhadap lemahnya peran Luhut sebagai Kepala Staf Kepresidenan belum
tentu akan menolong Jokowi memutuskan perkara KPK-Polri.
Meski demikian, sebersit harapan tentu masih ada. Jokowi terpaksa harus memainkan peran
sentral dalam pengambilan keputusan tanpa bantuan pialang netral. Keterbukaan
Jokowi dalam mendengarkan saran dari kawan (Tim 9) dan lawan (Prabowo
Subianto) merupakan sinyal positif memantapkan posisi Presiden sebagai pemain
sentral politik. Harapan lebih lanjut, Jokowi perlu memikirkan ulang sosok
Kepala Staf Kepresiden. Kalau sekadar
memenuhi kontrak politik belaka, jadi bukan mencari sosok pialang netral, pilihan
sekarang adalah konsekuensi politik.
Itu harga mahal yang harus dibayar seorang Jokowi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar