Jalan
Tengah Jokowi
Jakob Sumardjo ; Budayawan
|
KOMPAS,
04 Februari 2015
DI awal pemerintahannya, Presiden Joko Widodo telah
dihadapkan pada ujian- ujian esensial kepemimpinannya. Tampaknya dia lebih
cenderung menempuh jalan tengah dalam prinsip harmoni dan bukan prinsip
dominasi kalah-menang.
Dalam kehidupan ini, manusia senantiasa dihadapkan pada
rangkaian konflik, entah di dalam dirinya maupun di luar dirinya. Konflik
selalu mengandaikan adanya pertentangan dua hal yang substansinya berseberangan.
Ada dua entitas yang amat kontradiktif. Bagi manusia modern di mana pun,
pemecahannya sudah jelas, yakni Anda dibebaskan memilih mana yang benar dalam
kontradiksi itu.
Kalau Anda menentukan salah satu sebagai benar, baik, dan
sepantasnya, lawannya dengan sendirinya salah, jahat, dan tidak layak. Di
sini ada prinsip dominasi, mengalahkan, mematikan terhadap pihak yang kita
nilai tidak benar dan tidak baik. Kebenaran itu selalu ada di pihak yang
dominan, yang kuat, yang menang, sedangkan yang dikalahkan harus mengikuti
yang menang.
Itulah adat dunia sekarang ini, individu dan kelompok
berupaya mendominasi kebenaran dengan kemenangan, entah dengan pikiran,
kekuatan, kekerasan. Kebebasan memilih mana yang benar dan mana yang salah
mengakibatkan adanya kebenaran tunggal: pilihan saya adalah kebenaran saya
yang harus saya perjuangkan mati-matian.
Itulah sebabnya, konflik terus terjadi dan semakin hebat
karena yang kalah akan berusaha bangkit mengalahkan kebenaran yang sedang
berkuasa. Ambisi terbesar manusia adalah pemegang kebenaran di seluruh muka
bumi. Jokowi adalah produk manusia modern-global yang dibesarkan di daerah
pedalaman Surakarta. Alam pikiran primordial Nusantara diam-diam, disadari
atau tidak disadari, masih hidup dalam masyarakat yang membesarkannya.
Dalam alam pikiran ini, prinsip dominasi memang dijalankan
juga, hanya tak sampai melenyapkan kebebasan memilih kebenaran yang
dikalahkan. Prinsipnya, saya selamat dan Anda juga selamat. Saya bebas
memilih, tetapi Anda juga bebas memilih kebenaran. Raja-raja Nusantara sejak
dahulu kala saling menyerang dan mengalahkan, tetapi tidak pernah terjadi
penjajahan kebenaran tunggal di dalamnya. Setiap negara taklukan tetap
melanjutkan cara hidup masing-masing dengan kebenarannya sendiri. Hanya setiap
kali harus datang lapor kepada raja penguasa di pusat negara bahwa mereka
masih mengakui raja pemenang.
Majapahit atau Sriwijaya tidak pernah memaksakan cara
hidup, atau kebenaran, yang berlaku di pusat untuk diseragamkan di seluruh
wilayah yang pernah dipaksa mengakui kekuasaannya.
Begitu pula suku-suku primordial Indonesia yang punya
tradisi ”perang suku” tidak pernah ada ambisi untuk melenyapkan suku
”musuh”-nya (yang sebenarnya pasangan hidupnya). Prinsipnya, aku hidup
selamat, engkau juga hidup selamat, meskipun konflik tetap dipelihara.
KPK vs Polri
Dalam konflik Polri versus KPK, tampak solusi jalan tengah
ini, yakni tidak membenarkan yang satu dan menyalahkan yang lain, tidak
menyalahkan calon Kapolri dan tidak menyalahkan KPK. Nilai kebenaran calon
Kapolri sebenarnya lebih unggul karena dibenarkan oleh Presiden dan
dibenarkan oleh DPR, sedangkan nilai kebenaran KPK hanya milik KPK sendiri.
Mengikuti logika harmoni primordial, jalan tengahnya
adalah tetap melantik calon Kapolri karena disetujui wakil-wakil rakyat dan
tetap membiarkan KPK mengusut ketidaklayakannya yang dituduh sebagai
koruptor.
Masalah menjadi berat untuk mengambil jalan tengah karena
kebenaran KPK didukung massa relawan pendukung Jokowi waktu pemilihan
presiden dahulu, sehingga kedudukan menjadi 2-2. Menghadapi dilema ini, jalan
tengah yang diambil adalah menangguhkan pelantikan Kapolri dan KPK boleh
melanjutkan pembuktian tuduhannya.
Secara tak langsung, sebenarnya Jokowi menggunakan
kebebasan memilih kebenarannya sendiri, yakni menyalahkan calon Kapolri dan
mencegahnya untuk ditangguhkan sampai perkaranya dibuktikan benar atau salah
oleh pengadilan korupsi. Keputusan ini dengan sendirinya memihak kepada KPK
dan massa pendukungnya yang dikatakan oleh Menko Polhukam sebagai ”rakyat
yang tidak jelas”, dalam arti tidak sejelas wakil-wakil rakyat di DPR. Namun,
harus diingat juga bahwa ”rakyat yang tidak jelas” ini dapat merupakan
kekuatan yang diam berupa people’s
power yang dapat mengamuk menimbulkan situasi khaos yang sulit
dipadamkan.
Karena Polri merasa disalahkan sebelum dibuktikan, maka
prinsip dominasi dilancarkan, yakni menyerang balik KPK dengan tuduhan yang
sama, yakni Wakil Ketua KPK, meskipun tidak dituduh korupsi, tetapi melakukan
”sumpah palsu” di pengadilan (untung bukan ”dosa-dosa” masa lampaunya juga).
Menghadapi dilema yang terus berlanjut ini, Jokowi melancarkan jalan tengah
kedua dengan mengangkat tim independen dari tokoh-tokoh yang integritas
karakternya sudah teruji bersih dan bebas netral selama ini.
Filosofi jalan tengah ini membutuhkan kreativitas tinggi
yang kadang-kadang amat tidak diduga-duga pemecahannya. Kadang tampak salah,
tetapi benar. Butuh ketajaman intuitif yang bersifat rasa, semacam ilham yang
muncul secara spontan di luar logika yang berlaku, dan membutuhkan kesabaran
waktu. Biasanya hanya orang-orang besar yang punya potensi kreatif semacam
ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar