Kontroversi
Gaji Tinggi DKI Jakarta
Said Zainal Abidin ; Guru
Besar Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi,
Lembaga Administrasi Negara, Jakarta
|
KOMPAS,
12 Februari 2015
KEBIJAKAN
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menaikkan gaji pegawai negeri
sipil Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menimbulkan perbedaan sikap di antara
banyak pihak. Ada yang pro dan ada yang tidak setuju dengan alasan tidak
didasarkan pada kinerja.
Perbedaan
pendapat itu dapat dipahami. Pertama, karena kenaikan itu cukup mencolok
dibandingkan dengan tingkat gaji pegawai negeri lain pada umumnya. Kedua,
kenaikan itu terbatas untuk satu provinsi saja. Ketiga, kenaikan itu terasa
tiba-tiba tanpa disertai alasan-alasan yang jelas dan masuk akal.
Pertanyaannya, apa yang dapat dicapai dengan menaikkan gaji setinggi itu?
Untuk
memahami pemikiran tentang kenaikan gaji ini, kita perlu melihat dampak dari
kenaikan gaji terhadap kinerja pekerja pada umumnya dan pegawai negeri
khususnya.
Secara
umum, para ahli membedakan pembayaran kepada pegawai atau pekerja atas dua
macam, yaitu gaji dan bonus. Herzberg menggolongkan gaji sebagai faktor
higienis, sementara bonus sebagai faktor motivator atau motivating factor.
Gaji
hal wajar
Bagi
pegawai negeri, gaji dipandang sebagai sesuatu yang wajar. Dia merasa
biasa-biasa saja kalau menerima, tetapi kecewa kalau tidak menerimanya. Jadi,
tidak ada unsur motivasi dari gaji.
Namun,
bonus kalau diberikan sebagai kompensasi atas tingginya kinerja adalah
sesuatu pemberian yang tidak mesti. Dia tidak kecewa kalau tidak menerima,
tetapi menimbulkan dorongan kalau dia terima. Dilihat dari pandangan ini,
kenaikan gaji PNS DKI Jakarta tidak akan memicu kenaikan kinerja.
Namun,
dalam negara berkembang seperti Indonesia, tingkat gaji pegawai negeri sampai
saat ini masih jauh di bawah gaji normal yang diterima pegawai swasta dalam
negeri dan pegawai negeri negara-negara maju pada umumnya.
Tingkat
gaji yang rendah itu telah menimbulkan berbagai efek. Antara lain,
tenaga-tenaga muda Indonesia yang terdidik dan terampil lebih memilih bekerja
di luar lingkup pemerintahan atau mencari kerja di luar negeri.
Yang
mau melamar atau menjadi pegawai negeri adalah mereka yang karena terhalang
oleh keadaan keluarga (orangtua sudah tua, istri tidak berkenan merantau,
anak banyak, dan sebagainya) dan terutama karena tidak mendapat pekerjaan
lain atau tak punya semangat juang (mengharapkan pensiun di hari tua).
Umumnya
mereka yang melamar jadi pegawai negeri adalah tenaga sisa yang tidak bermutu
dan bersemangat rendah. Dengan gaji yang rendah itu terlalu sulit untuk hidup
layak bagi orang-orang yang jujur.
Mengharapkan
adanya kenaikan kinerja sebelum gaji dinaikkan adalah sesuatu yang hampir
tidak mungkin. Dengan gaji yang tidak cukup untuk hidup, pegawai cenderung
mencari pendapatan sampingan di luar tugasnya ketimbang meningkatkan kinerja
atau bagi yang nakal melakukan penyelewengan kecil-kecilan.
Gaji
kecil yang diberikan kepada PNS selama ini mencerminkan adanya toleransi
untuk menyeleweng. Hal itu sudah membudaya, yaitu budaya yang dapat disebut
sebagai ”diberi tidak, diambil boleh”. Budaya ini adalah cermin dari
ketidakmampuan pengawasan dari pimpinan di masa lampau.
Seorang
raja tidak dapat mengontrol adipati atau bupatinya di daerah-daerah. Mereka
percaya saja. Gaji yang diberikan bukan untuk hidup, melainkan sekadar
sebagai simbol. Padahal, orang sehat tidak dapat hidup dengan simbol.
Dari
total pajak yang dipungut sebagian diambil adipati dan bupati. Sisanya
diserahkan kepada raja. Raja yang lemah itu tidak pernah mempersoalkan berapa
total pajak yang diterima. Sebenarnya raja tahu kalau adipati dan bupatinya
mengambil sebagian besar dari pajak itu, tetapi dia pura-pura tidak tahu.
Upeti sejumlah itu sudah cukup, malah berlebihan untuk kehidupan raja dan
lingkungan istana. Toh, pengeluarannya tidak banyak. Hanya untuk keperluan
rutin. Tidak ada program pembangunan untuk menyejahterakan rakyat. Proyek
pembangunan tidak perlu dianggarkan, cukup dengan gotong royong. Tidak perlu
ada pengeluaran pemerintah.
Revolusi
administrasi
Apa
yang dilakukan Gubernur DKI dengan menaikkan gaji secukupnya adalah sebuah
perubahan, sebuah revolusi administrasi. Sebagai orang yang pernah belajar
administrasi dan kebijakan publik, saya menyambut baik gagasan dan kebijakan
itu. Semoga pemerintah pusat mengambil contoh dari gebrakan tersebut.
Sebuah
pedoman yang perlu diingat dalam pemberian gaji adalah jumlah yang ”dapat
menjamin orang jujur hidup layak”. Dengan demikian, diharapkan dapat mengubah
pandangan yang keliru selama ini di Indonesia.
Pandangan
yang mengasosiasikan orang jujur sebagai orang yang terlihat sangat
sederhana, bahkan seperti orang melarat. Pakaian cukup satu atau dua pasang.
Ke mana-mana cukup jalan kaki atau naik sepeda. Ini harus diubah. Orang jujur
bukan pada penampilan melarat, tetapi pada integritas pribadinya. Boleh
sederhana, cukup hidup tanpa dibantu orang lain dan tidak terpaksa harus
korupsi sepeser pun.
Adalah
benar terhadap pegawai negeri yang telah diberikan gaji tinggi itu harus
diterapkan zero tolerance. Kalau juga masih malas, tidak ada inisiatif, atau
mencuri, tanpa tedeng aling-aling harus dipecat dengan tidak hormat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar