Kenangan Sportivitas Polri
Moh Mahfud MD
; Guru
Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 14 Februari 2015
Ketika pada akhir 2009 terjadi kasus “cicak vs buaya I”
dan Mahkamah Konstitusi (MK) memutar rekaman pembicaraan rekayasa para
penegak hukum atas dua komisioner KPK, Bibit Samad dan Chandra Hamzah,
sebagai ketua MK saat itu saya juga mengalami perlakuan yang kurang
menyenangkan dari pihak “oknum” Polri.
Namun akhirnya MK dan Polri dapat mengakhiri ketegangan
itu dengan sama-sama bersikap sportif. Seperti diberitakan secara meluas,
pada saat itu Bibit Samad dan Chandra Hamzah mengajukan pengujian atas UU KPK
yang mengatur bahwa “komisioner KPK yang menjadi terdakwa diberhentikan dari
jabatannya”.
Pada saat itu, tanpa bukti yang kuat dan terkesan
direkayasa kedua komisioner KPK itu dijadikan terdakwa, bahkan sudah
dijebloskan ke rumah tahanan, dengan dakwaan menerima suap. Kedua komisioner
itu merasa diperlakukan tidak adil, dijadikan terdakwa agar mereka
diberhentikan sehingga KPK menjadi tidak kuorum kolegialitasnya setelah
sebelumnya Antasari Azhar dihukum.
Kalau kedua komisioner itu jadi terdakwa, komisioner KPK
hanya akan tinggal dua orang sehingga, dalam pandangan umum, menjadi tidak
bisa melaksanakan tugasnya dan KPK jadi lumpuh. Apa bukti bahwa penerdakwaan
kedua komisioner itu rekayasa? Ternyata KPK memiliki rekaman pembicaraan
antara oknum-oknum polisi, pimpinan kejaksaan, pengacara dengan Anggodo
Widjojo yang sangat aktif mengarahkan agar kedua komisioner itu jadi
terdakwa.
Untuk membuktikan rekayasa itu kedua komisioner meminta
agar MK menyetel rekaman yang disadap secara sah oleh KPK itu di persidangan.
Terjadi kontroversi, apakah ada relevansinya MK menyetel sebuah rekaman
pembicaraan dalam perkara pengujian UU? Masak menguji konsistensi isi UU
terhadap UUD bisa dibuktikan dengan mendengar rekaman pembicaraan telepon?
Bahkan, Menkumham Patrialis Akbar saat itu juga mengecam
MK karena menyetel rekaman itu. Tapi sembilan hakim MK sepakat bulat, rekaman
itu harus disetel untuk mencari kebenaran materiil, apakah benar penerdakwaan
sebagaimana dimaksud oleh UU KPK itu bisa direkayasa. Ketika rekaman itu
disetel, Indonesia menjadi geger. Mafia hukum yang tadinya dianggap tak
pernah bisa dibuktikan ternyata bisa dibuktikan.
Puluhan ribu massa berhari-hari berdemo menuntut
pembebasan Bibit dan Chandra. Tim Delapan yang dipimpin Adnan Buyung Nasution
datang ke rumah penahanan Bibit dan Chandra untuk meminta pembebasan bagi
mereka. Akhirnya Presiden turun tangan, meminta Kejaksaan Agung mengeluarkan
SKP-3 atas keduanya. Saya sendiri tak luput dari dampak buruk dan teror atas
peristiwa itu.
Dua hari setelah penyetelan kaset rekaman itu, di pagi
buta, para ajudan, sopir-sopir pengawalan, dan penjaga rumah dinas menyatakan
mengundurkan diri. Menurut saya, pasti ada yang memerintahkan pengunduran
diri itu, sebab dalam peraturan disiplin Polri dan TNI, prajurit yang mundur
dari tugas pasti dianggap sebagai salah besar karena desersi. Saya pun grogi.
Pengunduran diri (yang saya artikan sebagai penarikan) itu menjadi berita
besar.
Panglima GP Ansor NU Tatang Hidayat menawarkan pengamanan
di MK siang dan malam. Pengasuh Ponpes Salafiyah Syafiiyah Situbondo KH
Fawaid Asad datang ke MK menawarkan santri-santrinya untuk mengawal.
Situasinya sungguh keruh pada saat itu. Tapi saya tidak menerima
tawaran-tawaran swasta itu. Kalaupun terpaksa, sebagai mantan menteri
pertahanan, saya bisa mencari pengawal dari TNI. Namun sebelum itu saya
melakukan komunikasi dengan pimpinan Polri.
Begitu juga dengan Menko Polhukam Joko Suyanto agar Istana
Kepresidenan turun tangan untuk mencari penyelesaian yang baik. Sebab MK
maupun Polri adalah penyangga tegaknya hukum. Saya katakan, kami hakim-hakim
MK tak punya niat atau agenda politik untuk merusak Polri sebagai institusi.
Rekaman yang disetel di MK itu adalah bukti tindakan
oknum, bukan kebijakan institusi Polri. MK hanya ingin menegakkan konstitusi
dan hukum demi kebaikan bangsa dan negara. Tak ada maksud menyerang Polri.
Selain dengan Istana Kepresidenan, pendekatan-pendekatan personal untuk
meyakinkan bahwa saya tak punya agenda politis-pribadi saya lakukan dengan
orangorang penting di Polri.
Saya menyelesaikannya tanpa menambah kegaduhan di pers.
Akhirnya Polri menerima penjelasan saya. Kapolda Metro Jaya Jenderal Wahyono,
mewakili Polri, datang ke kantor saya dan menyatakan bahwa keamanan MK dan
pengawalan hakim-hakimnya menjadi tanggung jawab Polri. “Polri menjamin, tak
boleh ada sejengkal jarak atau sedetik waktu Ketua MK merasa tidak aman.
Polri bertanggung jawab atas keamanan Bapak,” kata Wahyono.
“Berapa pun jumlah pengaman yang diperlukan MK akan kami
kirim hari ini. Yang mengundurkan diri kemarin itu anak-anak nakal, nanti
akan ditindak,” sambung Wahyono. Demikianlah, saat itu konflik MK dan Polri
cepat teratasi. Hubungan MK dan Polri maupun antarpejabat-pejabatnya menjadi
sangat baik. Kalau ketemu saya, di mana pun, pejabat Polri bersifatcorrect
seperti halnya saya menghormati mereka tanpa peduli apa pun jabatannya.
Melihat kegaduhan antara KPK dan Polri yang berlangsung
sangat gaduh saat ini, saya terkenang pada pengalaman pribadi saat menjadi
ketua MK. Saat itu MK bisa menunjukkan kesungguhannya bahwa dirinya tidak
berpolitik untuk memojokkan Polri.
Polri pun percaya dan kemudian bersikap sportif. Istana
Kepresidenan pun menengahi konflik kami dengan sangat baik. Tak bisakah cara
itu sekarang diwujudkan lagi? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar