Jokowi,
Prabowo, dan Petugas Partai
M Bambang Pranowo ; Guru Besar UIN Jakarta;
Rektor Universitas Mathlaul Anwar, Banten
|
KORAN
SINDO, 07 Februari 2015
Pertemuan Prabowo dan Jokowi di Istana Bogor (29/1)
mengejutkan publik. Mengejutkan karena ada kesan pertemuan tersebut menyimpan
sesuatu yang sangat berarti. Apalagi setelah pertemuan itu, Prabowo
menyatakan akan mendukung apa pun yang diputuskan Presiden Jokowi.
Termasuk, tentu saja, soal pelantikan atau pembatalan
pelantikan Budi Gunawan sebagai kapolri. Seperti kita ketahui, penunjukan
Budi Gunawan sebagai calon tunggal kapolri telah menuai protes publik karena
dia ditengarai mempunyai rekening gendut yang tidak sesuai dengan
penghasilannya sebagai pejabat di Polri.
Karena faktor rekening gendut inilah, kemudian KPK
mengumumkan Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka. Kasus ini kemudian
berkembang liar–bukan hanya prokontra penunjukan BG sebagai kapolri,
melainkan juga ”jegalmenjegal adu kekuatan” antara Polri dan KPK. Dalam
pusaran masalah ini, pada awalnya KPK ”menang” karena berhasil
”menersangkakan” BG sebagai koruptor (rekening gendut), tapi kemudian polisi”
berhasil” membalasnya.
Empat pimpinan KPK, Bambang Widjojanto, Abraham Samad,
Zulkarnaen, dan Adnan Pandu Praja sebagai ”tersangka” dan ”calon tersangka”.
Secara praktis, empat pimpinan KPK yang tersisa (setelah Busyro Muqoddas
habis masa jabatannya) menjadi tidak berdaya. Buya Syafii Maarif menyatakan,
pilihan calon tunggal kapolri untuk Budi Gunawan bukanlah inisiatif Jokowi.
Publik pun sebetulnya tahu, siapa yang memaksakan Budi
Gunawan sebagai calon kapolri meski sudah dijadikan tersangka oleh KPK. Dan
publik tahu, Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sangat mendukung Budi Gunawan.
Bahkan anehnya, DPRpun akhirnya menyetujui pencalonan BG tersebut. Ini memang
aneh, DPR sebagai wakil rakyat yang tahu aspirasi rakyat, tapi keputusannya
bertentangan dengan kehendak rakyat.
Ada pertanyaan, apakah persetujuan DPR memang murni untuk
mendukung BG, atau sebaliknya ingin menjungkalkan Presiden Jokowi agar
terjerembap dalam dilema? Kita tak tahu. Tapi toh arah politik bisa diterka.
Akibat pusaran masalah BG ini, Republik jadi kacau dan Jokowi tersandera. Mestinya,
dalam ”filosofi bahasa” jika ada masalah dalam kenegaraan maka kembalikan
(re) ke publik (rakyat).
Jadi penentunya adalah rakyat. Kita tahu, rakyat cenderung
membela siapa dan menolak siapa. Presiden Jokowi, Koalisi Indonesia Hebat
(KIH), dan Koalisi Merah Putih (KMP) pasti tahu rakyat cenderung ke mana.
Tapi anehnya, tokoh-tokoh politik pengusung Jokowi memilih BG. Barangkali
inilah misteri perpolitikan Indonesia. Dalam kondisi inilah, negeri seakan
”tergoyang”.
Presiden menghadapi dilema. Partai politik menghadapi
dilema. Dan, rakyat pun merasakan dilema. Dalam kondisi inilah, Prabowo
Subianto hadir menemui Jokowi dan mendukung apa pun yang diputuskan Presiden.
Kenapa tiba-tiba Prabowo mau mendukung apa pun yang diputuskan Presiden?
Itulah jiwa nasionalisme seorang prajurit bila melihat kondisi bangsanya
”kacau”.
Bagi seorang prajurit yang sudah disumpah untuk mengabdi
kepada negara, kestabilan negara dan NKRI adalah final. Prabowo sebagai
prajurit sejati tahu betul apa yang harus dilakukannya, yaitu mendukung
keputusan Presiden. Ini karena presiden adalah pimpinan tertinggi negara.
Negara hanya akan stabil bila presidennya kuat dan berani memutuskan sesuatu
berdasarkan aspirasi rakyat.
Dari konteks inilah, kita melihat kehadiran Prabowo di Istana
Bogor untuk mendukung apa pun yang diputuskan Presiden. Jiwa besar yang
bersandarkan pada nasionalisme dan NKRI inilah kiranya yang mendorong Prabowo
menemui Jokowi di Istana Bogor. Padahal kalau dilihat dari layat belakang
sebelumnya, sebagai pimpinan KMP, mestinya Prabowo berseberangan dengan arah
politik Jokowi yang didukung KIH.
Tapi sebagai seorang prajurit Saptamarga, Prabowo justru
memilih sebaliknya untuk mendukung apa pun keputusan Presiden. Pertimbangan
Prabowo, jelas, Presiden perlu didukung untuk kestabilan politik. Kita tahu
saat ini, posisi Presiden secara politik lemah karena beliau bukan pimpinan
partai. Ini berbeda dengan SBY, di mana beliau adalah pimpinan partai
pemenang pemilu.
Sedangkan Jokowi, meski didukung partai pemenang pemilu
(PDIP), Jokowi bukanlah pimpinan partai. Megawati sebagai ketua umum PDIP
menyatakan Jokowi adalah kader partai, dan karena itu beliau sebagai presiden
adalah mengemban tugas partai. Pernyataan ini jelas bertentangan dengan
filosofi politik kenegaraan, di mana bila seorang kader atau pimpinan partai
menjadi presiden maka selesailah tugas partai karena dia telah menjadi
”petugas” rakyat seluruh negara.
Dalam bahasa politik, presiden adalah mandataris rakyat
sebuah negara. Jadi presiden bukan petugas partai. Tugas partai sudah selesai
karena dia harus menjalankan tugas negara. Ketika seorang politikus menjadi
presiden, kata Kennedy, maka tugas partai pun berakhir. Di pundaknya kini
memikul tugas negara dan menjalankan amanat rakyat. Apalagi, Jokowi terpilih
dengan suara lebih dari 57% sedangkan suara PDIP hanya 18%.
Iniartinya, yang memilihJokowi sebagai presiden adalah
rakyat– bukan kader partai. Dengan demikian, Jokowi adalah milik semua
rakyat, simbol negara– bukan milik golongan dan partai politik. Jika
demikian, partai politik yang mengaku ”pemberi tugas” untuk Jokowi tidak lagi
menyerimpungnya. Kasus BG dan perseteruan antara Polri dan KPK hendaklah jadi
pelajaran. Jangan melawan suara rakyat karena rakyatlah pemilik negeri ini,
bukan partai politik! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar