Gaji
Fantastis PNS DKI
Abraham Fanggidae ; Widyaiswara
Utama Pusdiklat Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial
|
KORAN
JAKARTA, 06 Februari 2015
Idealisme Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama
(Ahok), untuk menyejahterahkan sekitar 76.000 PNS DKI Jakarta beserta
keluarganya tercapai.
Ahok pernah mengatakan ingin membuat orang bangga bekerja
di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Ahok bercita-cita gaji PNS lebih besar
dari swasta. Caranya dengan memacu efisiensi APBD.
Cita-cita Ahok terwujud tahun 2015. Di sinilah letak
kehebatan kepemimpinan seorang Ahok, menyemangati pegawai agar bekerja lebih
giat karena memperoleh tunjangan fantastis, disertai membersihkan aparatur
dari korupsi. Yang terakhir ini tidak cukup dengan mendatangani MoU antara
Pemprov DKI Jakarta dan KPK (2014), tetapi memberikan gaji besar agar pegawai
tidak mencari-cari “uang rokok”.
Mulai Januari 2015, Pemprov DKI menerapkan sistem
penggajian (remunerasi) baru terkait pemberian tunjangan kinerja daerah (TKD)
yang statis dan dinamis. Besaran TKD statis disusun berdasarkan tingkatan
jabatan dan pangkat/golongan. Sementara TKD dinamis dihitung berdasarkan
capaian penilaian kinerja (SKP).
Keduanya berbasis poin dengan mengalikan indeks harga.
Sistem pemberian TKD merupakan satu-satunya di instansi pemerintah
kementerian/ lembaga negara (K/L) dan pemerintah daerah (pemprov, pemkab/
pemkot). Sistem pembayaran tunjangan tersebut, tidak hanya mewujudkan
idealisme Ahok, tapi sebagian PNS DKI Jakarta pun menjadi terperangah. Mereka
tidak percaya atas kenaikan gaji yang begitu tinggi.
Akankah sistem penggajian Pemprov DKI Jakarta diadopsi K/L
dan pemda tergantung pada kemampuan anggaran negara APBN terutama penerimaan
negara, jumlah PNS/ASN, serta ketentuannya.
Dengan kondisi sekarang bisa dikatakan sulit bagi negara
menaikkan gaji seluruh PNS/ASN secara fantastis. Pemerintah perlu bekerja
keras memperbesar penerimaan negara melalui pajak, penerimaan negara bukan
pajak (PNBP), penerimaan Bea Cukai, dan penghasilan lain.
Pemerintah pun harus bisa menekan angka kebocoran APBN
yang masih berjumlah triliunan rupiah tiap tahun. Dana APBN yang diperkirakan
bocor berkisar sampai dengan angka fantastis antara 20 hingga 30 persen dari
APBN setiap tahun.
Pantasan setiap tahun ada saja PNS/ASN serta
bupati/walikota aktif maupun yang sudah purnatugas ditahan oleh KPK dan
berstatus tersangka, dan sekitar 350 orang pejabat berjabatan gubernur,
bupati/walikota terindikasi korupsi. Gubernur, bupati/ walikota teridikasi
korupsi tidak mungkin mengikuti langkah Ahok untuk menyejahterahkan pegawai
mereka.
Maka, sistem penggajian dengan jumlah besar tunjangan
Pemprov DKI terbaik saat ini pada birokrasi nasional. Ini diharapkan
berdampak kinerjanya menjadi terbaik pula. Mereka yang bekerja pada sektor
produktif/sumber penerimaan daerah harus mampu menggenjot.
Pemprov harus mampu menekan kebocoran melalui
pemberantasan korupsi sebagai penyakit kronis yang membuat pejabat tertentu
dalam jabatan eselon II, dan III memiliki “rekening gendut.”
Rekayasa
Dasar hukum acuan TKD adalah Peraturan Gubernur DKI
Jakarta No 217 Tahun 2014. Besaran “take home pay/THP” per bulan dari
beberapa jenis jabatan membuat iri karena jauh melebihi THP PNS lain.
Hitungannya, total THP lurah (jabatan eselon IVa) 33.732.000.
Ini di atas eselon IIIa, bahkan beda tipis dengan eselon
IIa K/L. Wali kota menerima gaji 75.642.000, jauh di atas THP eselon Ia
(sekjen, dirjen, sekda provinsi). Prediksi besaran THP fungsional/pelaksana
yang akan diberikan Pemprov DKI, antara lain tenaga operasional (13.606.000),
administrasi (17.797.000), teknis (22.625.000).
Maka, seorang PNS/ASN dengan golongan/ruang gaji IIa tanpa
jabatan menerima gaji 13 jutaan. Guru atau perawat/bidan sebagai tenaga
teknis menerima gaji maksimal 22 jutaan. CPNS golongan/ ruang gaji IIIa pada
K/L, pemda gaji belum sampai 3 jutaan/bulan.
Jumlah tersebut gaji maksimal yang diterima setiap
pejabat. Menerima lebih dari jumlah maksimal tidak mungkin, menerima lebih
kecil bisa, tergantung pada kinerja PNS bersangkutan. Perubahan jumlah
(berkurang) tergantung pada TKD dinamis setiap PNS.
Butir kinerja PNS tiap jam, hari, sudah ditentukan. Butir
kinerja tersebut yang harus diisi PNS untuk dinilai pejabat kepegawaian.
Persoalannya, butir kinerja bisa diatur pejabat kepegawaian dengan PNS
bersangkutan. Ada kebijakan setiap unit, “barangnya”, maksudnya butir kinerja
sudah jadi/ rapi diketik, tinggal ditandatangani PNS bersangkutan.
Jadi kemungkinan jumlah THP berubah lebih kecil dari tiap
PNS, me- mang mungkin, tetapi secara persentase amat kecil perubahan
tersebut. Artinya jumlah THP memang bisa berkurang, namun kemungkinan
tersebut kecil terjadi dalam praktik. Persoalan krusial, yaitu apakah pejabat
kepegawaian membaca/menilai tiap butir kinerja setiap PNS dengan objektif? Terus
terang ini pekerjaan berat.
Jumlah PNS DKI 65.000. Mampukah pegawai di bidang
kepegawaian membaca butiran kinerja dari 65.000 PNS untuk menilai dan
menentukan fluktuasi THP? Pengawasan terhadap PNS di bidang kepegawaian
menjadi penting. Longgar dalam pengawasan, maka fluktuasi butir kinerja tidak
akan/sulit diangkat ke permukaan secara massal yang memengaruhi besar
kecilnya dana pemprov yang harus dibayarkan tiap bulan.
Diperkirakan persentase fluktuasi memang ada, tetapi
kemungkinan hanya kecil. Maka, penilaian bisa menjadi sebuah
perekayasaan/pemalsuan yang sulit dihindari. Di sini soal moralitas dan
mentalitas jujur amat penting dimiliki PNS DKI Jakarta. Jangan ada
perekayasaan, tahu sama tahu dalam menilai butir kinerja tiap PNS.
Kalau seperti itu realitanya, maka sia-sia menaikkan gaji
yang fantastis karena tidak ada kemajuan kinerja. Sulit mengubah mentalitas
malas bekerja yang sudah membudaya. Berat sekali mengubahnya dalam waktu
dekat menjadi aktif bahkan super aktif. Diperlukan waktu lama.
Tapi peningkatan kerja keras tak bisa ditawar lagi. Mereka
harus mengubah diri secara cepat. Jika tidak, maka akan gagal tujuan
menaikkan gaji PNS DKI tersebut. Pemprov DKI akan dinilai memboroskan dana
dengan memanjakan PNS.
Ahok memang berani dan konsekuen mendisiplinkan pegawai
melalui penggajian yang fantastis. PNS yang baik memperoleh
promosi/kepercayaan, sedangkan yang tidak becus distafkan. Tetapi kebijakan
penggajian PNS Pemprov DKI Jakarta yang mulai direalisasikan pembayaran TMT Februari
2015 sudah pasti menimbulkan iri PNS lain.
Mereka pun bekerja sungguh-sungguh, memberikan pelayanan
prima kepada publik. Mengapa gaji tidak sefantastis PNS DKI Jakarta? Tuntutan
PNS K/L, pemda lain agar bisa memperoleh gaji setara sesuatu yang wajar.
Maka berlomba- lombalah meningkatkan kinerja agar gajinya
pantas dinaikkan secara fantastis asal kinerja juga fantastis bagusnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar