Entrepreneur
Spiritual
Biyanto ; Dosen UIN Sunan Ampel;
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
|
KORAN
SINDO, 19 Februari 2015
Ada fenomena yang menarik diamati terkait dengan kegiatan
training spiritual. Umumnya training spiritual diikuti kalangan muslim
perkotaan. Waktunya pun dipilih pada setiap akhir pekan (weekend).
Paket pelatihan yang ditawarkan para entrepreneur
spiritual ternyata laris manis. Padahal untuk mengikuti training spiritual
peserta dikenakan biaya mahal. Pertanyaannya, mengapa kalangan muslim
perkotaan antusias mengikuti training spiritual meski harus mengeluarkan
biaya mahal? Training spiritual kini telah menjadi rutinitas sekaligus
pengganti rekreasi yang biasa dilakukan kelompok menengah ke atas pada setiap
akhir pekan.
Training spiritual telah menjadi sarana relaksasi pikiran
setelah bekerja selama seminggu. Dengan mengikuti training spiritual,
seseorang berharap terhindar dari penyakit stres yang seringkali dialami
masyarakat perkotaan. Jika dicermati, training spiritual sejatinya telah
menjadi fenomena global era 1990-an. Tepatnya sejak Daniel Goleman
memopulerkan temuan para neurosaintis dan psikolog tentang kecerdasan emosi (emotional quotient/EQ).
Dengan EQ, seseorang dapat memahami perasaan orang lain
sehingga muncul kemampuan untuk mendeteksi kekuatan dan kelemahan diri (self awareness). Danah Zohar dan Ian
Marshall pada awal 2000-an juga mempromosikan temuan mengenai kecerdasan
spiritual (spiritual quotient/SQ).
Melalui SQ, seseorang mampu meraih nilainilai, pengalaman, dan kenikmatan
spiritual (the taste of spirituality).
Temuan tersebut menegaskan peranan EQ dan SQ sebagai
faktor penting kesuksesan seseorang. Dengan demikian, kesuksesan seseorang
tidak hanya ditentukan melalui intelligence
quotient (IQ). Begitu karya Daniel Goleman, Danah Zohar, dan Ian Marshall
diterbitkan dalam edisi Indonesia, kesadaran untuk mengoptimalkan potensi IQ,
EQ, dan SQ, dalam rangka meraih sukses hidup menjadi tren.
Karya-karya itu telah menginspirasi munculnya buku
bertemakan spiritualitas dan tasawuf. Kita pun menemukan karya
penulis-penulis produktif semacam Ary Ginanjar Agustian (ESQ Berdasarkan 6
Rukun Iman dan 5 Rukun Islam serta ESQ Power), Agus Mustafa (penulis
buku-buku bertemakan dialog tasawuf dan modernitas), Mohammad Sholeh (Salat
Tahajud dan Kesehatan), Abu Sangkan (Salat Khusyuk), dan Yusuf Mansur
(Belajar Salat).
Yang mengagumkan, ternyata buku-buku tersebut termasuk
kategori best seller. Respons masyarakat yang luar biasa itulah yang kemudian
mengilhami beberapa penggiat kajian spiritualitas dan tasawuf melakukan
terobosan dengan menawarkan berbagai paket pelatihan. Tawaran training
spiritual itu pun disambut muslim perkotaan dengan antusias. Maka itu,
jadilah kegiatan training spiritual menjadi profesi bagi entrepreneur
spiritual.
Kajian keagamaan dan paket training spiritual telah
menjadi gejala di beberapa kota besar. Warga Jakarta pasti mengenal beberapa
kelompok kajian keagamaan dan spiritualitas. Misalnya, Tazkia Sejati
(Djalaluddin Rahmat), Klub Kajian Agama (almarhum Nurcholish Madjid),
Training Meditasi (Anand Krishna), Training ESQ (Ary Ginanjar Agustian), dan
Shalat Khusyuk (Abu Sangkan). Demam training spiritual pun menular ke
Surabaya, Bandung, Makassar, dan Medan.
Selain training spiritual, kegiatan keagamaan dalam bentuk
zikir juga berkembang pesat melalui kiprah Arifin Ilham, Abdullah Gymnastiar
(AA Gym), dan Yusuf Mansur. Fenomena spiritualitas juga mewujud dalam
kelompok-kelompok salawat. Misalnya, kelompok salawat Nabi pimpinan Habib
Syech bin Abdul Qodir Assegaf.
Bukan hanya itu,
guru spiritual juga kini menjadi profesi yang menggiurkan di Ibu Kota. Itu
terjadi karena umumnya elite politik, pejabat publik, bahkan selebritas di
negeri ini membutuhkan guru spiritual. Para penggiat spiritual yang piawai
memanfaatkan psikologi masyarakat perkotaan inilah yang disebut entrepreneur
spiritual sejati. Mereka para penggiat training spiritual telah berhasil
melakukan komodifikasi nilai-nilai keagamaan dan modernitas.
Entrepreneur spiritual dapat menyelami perasaan muslim
perkotaan yang mengalami dahaga spiritual akibat kehidupan individualistik
dan materialistik. Ibaratnya, muslim perkotaan sedang merindukan kehidupan
yang bermakna (meaningful). Apalagi
jika melihat kondisi bangsa yang pelan, tapi pasti mengalami degradasi moral.
Training spiritual juga dapat menjadi benteng bagi muslim
perkotaan agar terjauhkan dari pengaruh dunia mistik, klenik, dan perdukunan,
yang juga menjadi tren. Mengutip hasil workshop tentang Urban Sufism: Alternative Paths to Liberalism and Modernity in
Contemporary Islam, yang diselenggarakan oleh Griffith University,
Brisbane, Australia dan Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta
(2001), dikatakan bahwa terdapat lima kecenderungan masyarakat kota terhadap
sufisme atau spiritualitas pada umumnya yaitu:
(1) searching for meaningful life (pencarian makna hidup),
(2) intellectual exercise and enrichment (perdebatan intelektual dan
peningkatan wawasan), (3) psychological escape (sebagai solusi problem
psikologis), (4) religious justification (mengikuti tren keagamaan), dan (5)
economic interest (komodifikasi agama untuk kepentingan ekonomi). Jika lima
indikator itu digunakan untuk mengamati tren spiritualitas muslim perkotaan,
faktor utama mereka mengikuti training spiritual adalah psychological escape.
Itu dapat dimaklumi karena muslim perkotaan merupakan
kelompok yang bersentuhan langsung dengan dampak modernitas. Problem terbesar
masyarakat modern umumnya adalah persoalan kemanusiaan seperti keterasingan,
individualistik, materialistik, dan moralitas. Berkaitan dengan ada
kecenderungan economic interest yang menyertai training spiritual, itu harus
diakui sebagai bagian dari profesionalisme. Budaya kerja profesional menuntut
pengelolaan training spiritual layaknya sebuah bisnis.
Karena itu, tidak mengherankan jika entrepreneur spiritual
melaksanakan training spiritual di hotel berbintang. Entrepreneur spiritual
juga memanfaatkan kecanggihan informasi dan teknologi (IT). Bahkan urusan
penataan ruang, soundsystem, dan cahaya lampu, menjadi bagian yang diperhatikan
entrepreneur spiritual. Dengan cara itu, entrepreneur spiritual dapat
memainkan emosi keagamaan peserta pelatihan sehingga mampu menghadirkan
penyesalan, kesedihan, keharuan, dan kesyahduan.
Puncaknya, ketika peserta training spiritual hanyut dalam
penyesalan. Tanpa terasa air mata peserta pun menetes. Peserta training
spiritual menangis tersedu-sedu sebagai tanda penyesalan atas segala
kesalahan. Pertanyaannya, apakah dengan mengikuti training spiritual itu
seseorang dapat berubah menjadi lebih baik. Untuk menjawab pertanyaan ini
tentu tidak mudah. Karena pasti butuh waktu untuk mengamati perubahan
perilaku peserta training spiritual. Paling tidak entrepreneur spiritual
telah membantu muslim perkotaan untuk merasakan kenikmatan spiritual. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar