Berharap
Rupiah, Mendapatkan Musibah
Jejen Musfah ; Sekretaris Program
Magister FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
|
KORAN
SINDO, 19 Februari 2015
Kasus dugaan 700-an ijazah palsu yang dilakukan guru di
Minahasa awal 2015 ini tidak bisa dianggap persoalan sepele. Kasus ini terus
berulang, dan sepertinya sulit dihilangkan.
Pada 2012 lalu, di Jawa Timur ditemukan 1.600- an ijazah
palsu yang dipakai guru, dosen, dan mahasiswa. Dari jumlah tersebut, 62% akta
IV, 31% S-1, 4% S-2, dan 1% S-3. Pemalsuan ijazah dengan alasan apa pun tidak
bisa dibenarkan, apalagi yang melakukan adalah guru, orang yang tugas
utamanya membentuk karakter siswa. Disebut guru artinya bisa digugu dan
ditiru segala ucapan dan tindakannya. Selain guru, pemalsuan ijazah dilakukan
oleh calon kepala daerah dan calon anggota legislatif.
Karena Rupiah
Mudah diduga bahwa kasus ini bertambah masif–dipicu oleh
rencana pemerintah yang mewajibkan guru bergelar sarjana (S-1) paling lambat
akhir 2015 (UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen). Jika tidak maka guru
harus rela turun pangkat menjadi staf administrasi atau dipensiunkan sebagai
guru. Siapa yang tidak takut dengan kebijakan ini, meski realitasnya bisa
saja diundur.
Kecuali itu, guru membeli ijazah palsu demi sertifikasi.
Guru yang belum sarjana tidak akan dipanggil mengikuti Pendidikan dan Latihan
Profesi Guru (PLPG) atau Pendidikan Profesi Guru (PPG) sebagai proses
peningkatan mutu, dan jika lulus maka ia berhak mendapat sertifikat pendidik.
Dengan itu, guru dianggap layak mengajar dan berhak mendapat tunjangan
sertifikasi sebesar satu kali gaji pokok.
Guru melakukan dosa berjamaah demi rupiah, yaitu membeli
ijazah palsu. Saya tidak percaya bahwa kasus ini semata kesalahan guru.
Kepala sekolah dan pengawas pasti tahu kondisi guru. Analoginya, orang tua
pasti tahu apa saja yang diperbuat anaknya. Jika kuliah, guru setidaknya
membutuhkan izin dari kepala sekolah.
Jika tiba-tiba ia punya ijazah, mestinya kepala sekolah
adalah orang pertama yang menindaknya. Besar kemungkinan kepala sekolah
terlibat langsung maupun tidak langsung. Mengapa banyak guru yang
belumsarjana? Setiapguru punya jawaban masing-masing, namun tak lepas dari tiga
hal ini: tidak punya biaya kuliah, jarak tempuh ke tempat kuliah jauh, dan
sudah malas belajar entah karena usia maupun kesibukan.
Saya percaya minat belajarguru kitamasihrendah. Bahwa
persyaratan guru minimalharusS- 1sudahditetapkan pemerintah sejak 2005.
Artinya, mereka mengabaikan kebijakan ini yang sudah berusia sembilan tahun
rentang waktu yang lebih dari cukup untuk mengambil keputusan: menjadi guru
atau tidak sama sekali.
Alih-alih segera kuliah, mereka malah memalsukan ijazah.
Meski praktik ini mungkin dianggap biasa, guru harus bisa mengatakan tidak.
Mark Driscoll menyatakan, “Morality is
not determined by majority, it “Morality is not determined by majority, its
determined by the lord.”
Moralitas Guru
Sungguh guru harus segera merevolusi mentalnya. Kejujuran
adalah modal paling berharga yang harus dimiliki guru. Bagaimana pun
situasinya, guru tidak bisa dibenarkan berbohong. Kecuali pemalsuan ijazah,
banyak guru terbukti melakukan plagiasi karya tulis ilmiah untuk kenaikan
pangkatnya, dan memberikan jawaban soal UN (ujian nasional) kepada siswa agar
lulus.
Sekadar memberikan contoh lain tentang sikap tak terpuji
guru. Guru harus punya integritas karena tugasnya adalah mendidik di samping
mengajar. Martin Luther King berkata, “Intelligence plus character, that is
the goal of true education.” Tugas berat guru bukan menjadikan siswa pintar,
tetapi menjadikan mereka manusia yang baik. Pembentukan karakter itu akan
berhasil manakala guru bisa dijadikan teladan dalam soal moralitas.
Dalam mendidik, sangat penting dilandasi kepercayaan siswa
terhadap guru. Thomas Jefferson berujar, “Truth is certainly a branch of
morality and a very important one to society.” Kepercayaan siswa tumbuh
manakala guru mampu hadir sebagai sosok teladan dalam ucapan dan tindakan.
Tindakan guru mengambil jalan pintas dengan memalsukan
ijazah merupakan antitesis dari kesungguhan dan keuletan dalam menuntut ilmu,
meski misalnya, dalam keterbatasan ekonomi, jarak jauh, dan sangat sibuk.
Yang pertama merupakan contoh buruk bagi siswa, sedangkan yang kedua adalah
contoh baik yang bisa menginspirasi siswa (ingat novel best seller dan film
Laskar Pelangi).
Kasus ini mengandung pelajaran bahwa guru harus jujur dan
tidak berhenti belajar. Dua sikap yang jika ditiru siswa akan menjadikan
mereka sukses dalam kehidupan. Siswa memiliki kecenderungan meniru gurunya,
karena ia adalah pahlawan dan bintang bagi siswa. Elbert Hubbard menulis, “The teacher is the one who gets the most
out of the lessons, and the true teacher is the learner.”
Tiga Langkah
Mengingat darurat moralitas guru di atas, pemerintah dan
yayasan bisa mempertimbangkan langkah berikut. Pertama, pemerintah
menyediakan beasiswa bagi guru yang belum S-1, terutama guru yang lokasi
sekolahnya jauh dari LPTK (Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan). Artinya,
Mendikbud memperpanjang batas waktu guru harus S-1, maksimal empat tahun dari
2015.
Kedua, pemerintah dan yayasan menjamin bahwa kepala
sekolah memberikan kelonggaran waktu mengajar bagi guru yang melanjutkan
studi. Guru sering dilema karena kepala sekolah tidak atau kurang mendukung
kuliahnya. Pilihan guru yang kuliah hanya dua: tetap mengajar atau kuliah.
Demi kelangsungan hidup, banyak guru memilih tidak kuliah.
Ketiga, aparat penegak hukum memproses kasus pemalsuan
ijazah ini sampai tuntas untuk memberikan efek jera bagi guru-guru lainnya.
Guru, kepala sekolah, pengawas, dan pembuat ijazah yang terbukti terlibat
ijazah palsu diberi hukuman sesuai hukum yang berlaku. Saya yakin masih
banyak guru yang memiliki moralitas dan integritas tinggi.
Akhirnya, sah saja guru berharap tambahan rupiah, tapi
caranya harus benar. Membeli ijazah, karena berharap rupiah, bertentangan
dengan moralitas (dan) hukum. Alih-alih mendapat rupiah, bisa jadi guru
mendapat musibah. Lagi pula, terlalu rendah martabat guru, jika menjadikan
rupiah sebagai tujuan.
Guru harus tetap menjaga marwah, walaupun hidup susah.
Mempertahankan integritas inilah yang membuat hidup menjadi bermakna,
sebagaimana ditulis Immanuel Kant, “Life
without reason and morality has no value.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar