Efek
Sarpin
W Riawan Tjandra ; Pengajar FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
|
KORAN
TEMPO, 26 Februari 2015
Putusan praperadilan yang
dimohonkan oleh Komisaris Jenderal Budi Gunawan, dan dimenangkan melalui
putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Sarpin Rizaldi, kini seakan
telah dijadikan preseden bagi para tersangka korupsi lain untuk mengulangi
permohonan praperadilan yang sama.
Dalam putusannya, Sarpin Rizaldi
menyatakan mengabulkan sebagian permohonan praperadilan Budi Gunawan. Dalam
pertimbangannya, Sarpin menafsirkan penetapan tersangka sebagai salah satu
upaya paksa yang masuk ke lingkup praperadilan.
Sarpin beralasan, karena
undang-undang tidak mengatur secara jelas apa yang dimaksud dengan upaya
paksa, hakim berhak menafsirkan apa saja yang dikategorikan sebagai upaya
paksa. Ia menilai penetapan tersangka merupakan salah satu upaya paksa,
karena tindakan itu dilakukan dalam ranah pro justitia.
Selain itu, putusan praperadilan
tersebut dinilai telah melampaui kewenangan pengadilan negeri dalam memutus
praperadilan, karena terkesan telah melakukan uji materi atas Pasal 77 KUHAP
dengan memasukkan kewenangan guna memeriksa permohonan praperadilan tentang
penetapan status tersangka oleh KPK, yang sejatinya tak diatur dalam ketentuan
tersebut. Ini memperlihatkan, putusan praperadilan tersebut telah menyerobot
kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji materi konstitusionalitas suatu
UU.
Putusan praperadilan yang
kontroversial itu menunjukkan dengan kasatmata bahwa Sarpin telah “pasang
badan” untuk para koruptor. Setelah putusan praperadilan Sarpin, kini mulai
terjadi “efek Sarpin”. Surya Dharma Ali yang telah ditetapkan sebagai
tersangka oleh KPK RI dalam kasus korupsi dana haji di lingkungan Kementerian
Agama telah mangkir dari pemeriksaan KPK dan sekaligus mendaftarkan
permohonan praperadilan atas penetapan dirinya sebagai tersangka.
Tak lama berselang, Ketua DPRD
Bangkalan, Fuad Amin Imron, juga berencana mengajukan gugatan praperadilan
terhadap penetapan tersangka kasus dugaan korupsi oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi. Fuad ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang oleh
KPK pada awal Januari 2015. Ia ditangkap pada awal Desember 2014, ketika anak
buahnya, Rauf, tertangkap tangan menerima suap Rp 700 juta dari Direktur PT
Media Karya Sentosa, Antonio Djatmika. Dalam penggeledahan rumah Fuad, KPK
menemukan uang tunai Rp 4 miliar dan puluhan rekening dengan nilai total
lebih dari Rp 100 miliar.
Kini, setelah putusan Sarpin,
praperadilan telah menjadi “pintu penyelamat” bagi para koruptor untuk
berupaya melepaskan diri dari jerat hukum. Instrumen praperadilan yang semula
diciptakan dalam rangka mengintegrasikan perlindungan hak asasi bagi rakyat
dalam proses hukum telah menjelma menjadi “pemakaman massal” bagi penegakan
hukum dan gerakan antikorupsi. Mahkamah Agung harus bisa memberikan jalan
keluar untuk memperbaiki situasi hukum yang kian rusak agar praperadilan
tidak justru menjelma menjadi sarana legalisasi kejahatan bagi para penjahat
perusak negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar