Catatan
untuk Mahkamah Partai Golkar
Romanus Ndau ; Dosen Universitas Bina Nusantara, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 25 Februari 2015
KALAU tidak ada perubahan rencana,
hari ini Mahkamah Partai Golkar (MPG) yang terdiri dari Prof Muladi, Prof Natabaya,
Dr Andi Mattalatta, dan Mayjen (Purn) Jasri Marin akan menggelar sidang
ketiga penyelesaian perselisihan internal Partai Golkar. Perselisihan yang
dimaksud adalah dualisme kepengurusan DPP Partai Golkar Periode 2014-2019
antara kubu Agung Laksono versi Munas Ancol, Jakarta, dan kubu Aburizal
Bakrie versi Munas Bali.
Penyelesaian perselisihan internal
partai melalui mahkamah partai merupakan yang pertama di Indonesia. MPG
diharapkan mampu bertindak secara jujur, independen, dan objektif sehingga keputusan
yang diambil benar-benar dapat memenuhi rasa keadilan. Hal itu diperlukan
untuk menjaga martabat dan kredibilitas mahkamah partai di mata publik.
Kemandirian parpol
Langkah MPG menggelar sidang
perselisih an tersebut didasarkan pada ketentuan UU No 2 Tahun 2011 tentang
Partai Politik. Pasal 32 UU tersebut mengatur masalah penyelesaian
perselisihan internal parpol yang dilakukan oleh suatu mahkamah parpol atau
sebutan lain yang dibentuk oleh parpol. Khusus bagi Partai Golkar, keberadaan
mahkamah partai diatur secara jelas dalam Peraturan Organisasi No 13 Tahun
2011 tentang Disiplin, Sanksi Organisasi, dan Pembelaan Diri Kader.Pasal 25
PO tersebut berbunyi; (1) Untuk memeriksa dan memutus perselisihan internal
Partai Golkar dibentuk Mahkamah Partai; dan (2) Putusan Mahkamah Partai
bersifat final dan mengikat.
Langkah cepat MPG menggelar sidang
patut dihormati dan dipatuhi oleh pihak-pihak yang berselisih. Apalagi,
anggota MPG memiliki latar belakang, kapasitas dan integritas yang memadai
sehingga pantas diharapkan sebagai `juru selamat' Partai Golkar. Penyelesaian
lewat MPG juga diyakini lebih efektif dan efisien sehingga persoalan di
partai ini bisa diselesaikan secara dini.
Dalam perspektif yang lebih luas
dan berjangka panjang, keberadaan mahkamah partai merupakan langkah untuk
menumbuhkan kemandirian parpol. Parpol harus memelopori tumbuhnya sikap-sikap
politik yang rasional, santun, dan kritis sehingga mampu menyikapi berbagai
perbedaan secara dewasa dengan terus menjunjung tinggi semangat kebersamaan.
Itu berarti parpol harus mengejawantahkan diri sebagai kekuatan politik
modern dengan menyediakan mekanisme dan langkah antisipasi agar segala
persoalan yang dihadapi bisa diselesaikan secara demokratis.
Kemandirian parpol merupakan
kebutuhan mendesak untuk menekan seminimal mungkin peluang bagi negara untuk
melakukan intervensi. Secara empiris, intervensi negara dalam urusan internal
parpol jarang berbuah manis, sebaliknya justru memperburuk keadaan, contohnya
Kemelut PDI di era Orde Baru. Soeharto yang merasa terganggu oleh menguatnya
pengaruh Megawati Soekarno Putri, mendorong Suryadi untuk merebut posisi
sebagai Ketua Umum PDI. Puncak dari intervensi Soeharto ialah kisruh berdarah
akibat penyerangan Kantor PDI di Jalan Diponegoro, 27 Juli 1996.
Empat kriteria
Landasan hukum bagi MPG dalam
memutuskan perselisihan internal Partai Golkar ialah UU No 2 Tahun 2011 dan
Anggaran Da sar/Anggaran Rumah Tangga Partai Golkar. Pasal 10 UU No 2/2011
menyatakan bahwa parpol bertujuan untuk mengembangkan kehidupan demokrasi
berdasarkan Pancasila dan membangun budaya dan etika politik. Selanjutnya,
Pasal 13 menegaskan bahwa parpol berkewajiban menjunjung tinggi supremasi
hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia. Ketentuan ini diperkuat dalam Pasal
27 yang menyatakan bahwa pengambilan keputusan parpol di setiap tingkatan
dilakukan secara demokratis dan Pasal 28 pengambilan keputusan sebagaimana
dimaksud Pasal 27 sesuai dengan AD dan ART parpol.
Tekad untuk memajukan demokrasi
tercantum jelas dalam AD dan ART Partai Golkar. Pasal 36 AD menegaskan;
pengambilan keputusan pada dasarnya dilakukan secara musyawarah untuk mufakat
dan apabila ini tidak mungkin, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
Merujuk pada ketentuan tersebut,
jelas kiranya bahwa demokrasi merupakan dasar dan arah yang wajib
dilembagakan oleh parpol. Demokrasi tidak boleh direduksi sekadar menjadi
cara apalagi aksesori parpol. Singkatnya, keabsahan kegiatan parpol, termasuk
musyawarah nasional diukur dari konsistensi menerapkan nilai-nilai kejujuran,
keadilan, partisipatif, dan demokratis.
Meski UU No 2/2011 dan AD Partai
Golkar tidak melakukan perincian tentang nilai-nilai dan mekanisme demokrasi
yang wajib dijalankan parpol, tetapi setidaknya beberapa hal berikut menjadi
panduannya.Pertama, penyelenggaraan Munas Partai Golkar sebagai forum
tertinggi harus diputuskan melalui musyawarah untuk mufakat atau diambil
berdasarkan suara terbanyak.Kecenderungan individu dan kelompok untuk
memaksakan kehendak harus dicegah karena hal itu bisa diinterpretasi sebagai
bentuk rekayasa yang menguntungkan diri dan kelompok sekaligus mendistorsi
demokrasi.
Kedua, panitia munas harus
dibentuk secara bersama-sama melalui musyawarah untuk mufakat. Ketentuan ini
dimaksudkan agar panitia munas diisi oleh figur-figur yang netral, jujur, dan
independen. Syarat-syarat tersebut diperlukan agar panitia mampu
menyelenggarakan munas sesuai dengan aturan tanpa tersandera oleh intrik dan
intimidasi kelompok tertentu.
Ketiga, materi munas, termasuk
tata tertib dan persyaratan serta tahapan pencalonan harus dibahas secara
terbuka dengan memberi kesempatan seluas-luasnya kepada peserta. Pimpinan
munas wajib membuka ruang bagi berkembangnya ide-ide bernas dan inovasi yang
mutlak dibutuhkan untuk membudayakan demokrasi dalam parpol. Panitia munas
harus membangun obsesi bahwa suksesnya munas diukur dari kemampuan menerapkan
nilai-nilai demokrasi secara konsisten.
Keempat, semua figur yang
mencalonkan diri harus mampu bersaing secara sehat tanpa melakukan teror dan
intimidasi terhadap pemilik suara. Tidak boleh ada calon yang mendominasi,
termasuk memanfaatkan panitia munas untuk kepentingannya karena hal tersebut
berpotensi memecah belah kader dan melemahkan soliditas partai.
Nilai-nilai tersebut kiranya
menjadi catatan bagi MPG untuk menilai demokratis atau tidaknya Munas Jakarta
dan Munas Bali. Penyelenggaraan munas yang tidak memenuhi kriteria tersebut
sudah semestinya dianulir sebagai pembelajaran bagi elite politik agar lebih
berhati-hati dalam mengelola organisasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar