Tubuh
Digital, Tradisi Lisan Tersier
Acep Iwan Saidi ; Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB
|
KOMPAS,
02 Januari 2015
DI
tengah wacana pro-kontra pembatalan Kurikulum 2013, muncul gosip tentang
tradisi berdoa bagi siswa sekolah dasar dan menengah saat mengawali aktivitas
belajar pagi hari. Mulanya dari berita di media daring (online) yang menengarai, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sedang
menyiapkan aturan berdoa bagi pelajar (www.liputan6.com 1/12/14). Tokoh
sekaliber Ustaz Yusuf Mansur pun terjebak ke dalam pusaran gosip ini. Melalui
akun Twitter-nya, Ustaz Mansur membuat suasana agak panas—meski kemudian
ustaz energik ini mengklarifikasi dan meminta maaf karena berita itu sesat belaka.
Hal
yang nyaris tak beda dengan gosip itu adalah cara media daring memberitakan
klarifikasi Ustaz Mansur. Tribunnews.com, misalnya, membuat judul ”Emosional
Kurikulum 2013 Dihapus, Ustaz Yusuf Mansyur Ditelepon Anies Baswedan”
(9/12/2014). Padahal, dalam uraian beritanya tak terdapat sekata pun
menyinggung Kurikulum 2013. Faktanya, Mansur hanya mengkritik soal kebijakan
berdoa.
Fatalogi informasi
Namun,
hiruk pikuk informasi seperti itu kian hari kian lumrah di negeri ini.
Barangsiapa mengamati fenomena di dunia maya, tak akan terkejut menyikapi isu
demikian. Hanya, celakanya, publik selalu tak memiliki kesiapan menerimanya,
dalam arti memahami media secara kritis—dalam hal ini khususnya media siber.
Itu sebabnya kampanye hitam pada masa pemilu presiden, pemilu legislatif, dan
pemilu kepala daerah masih disukai politisi busuk. Soalnya, fungsi kampanye
hitam memang masih efektif.
Ingatlah
pilpres kemarin. Secara logis pilpres yang hanya diikuti dua kontestan lebih
sederhana sebab mudah memilah dan mencari perbedaan keduanya. Namun, justru
karena terlalu banyak informasi daring ditambah media konvensional partisan,
segalanya jadi sangat rumit. Dalam kebisingan demikian, telinga kita sulit
mendengar suara jelas. Sulit membedakan mana informasi, mana pseudeoinformasi.
Terjadilah yang disebut fatalogi informasi. Alih-alih menuntun kita ke tujuan
yang benar, informasi malah menjerumuskan.
Beberapa
pihak berpendapat fenomena dunia maya demikian bukan hanya di negeri ini,
melainkan di seluruh dunia. Benar. Namun, di Indonesia sangat berbeda. Kita
tak memiliki tradisi literasi yang kuat. Padahal, tradisi literasi merupakan
modal utama memahami media siber atau lebih luas dunia maya.
Media
siber merupakan ruang informasi eklektik, terdiri atas berbagai tempelan,
hibirida, dan memfasilitasi beragam imitasi. Dari sisi bagaimana realitas
dihadirkan, media siber merupakan campuran presentasi, representasi,
sekaligus simulasi. Penghadiran realitas itu dilakukan ”individu maya” atau
”tubuh digital” yang bermigrasi dari individu riil (tubuh biologis).
Tubuh
digital mampu mempresentasikan dirinya dalam beragam penampilan sejauh
kapasitas byte yang dimilikinya. Tubuh ini pula yang mengirim pesan-pesan
representatif tentang realitas yang ditafsirkannya. Jurnalisme warga yang
kelahirannya terkait media siber sebenarnya tak lebih dari produksi informasi
oleh individu digital sedemikian. Di sini tak ada realitas dalam arti
material, yang hadir adalah realitas gagasan yang divisualkan melalui
simulasi.
Kelisanan tersier
Karena
situasi itu, informasi yang diproduksi media siber bersifat cair dan liar
sehingga, karena itu, terus-menerus menuntut klarifikasi. Namun, kemampuan
mengklarifikasi sedemikian hanya mungkin dilahirkan dari tradisi literasi.
Tradisi literasi menumbuhkan sikap pada individu selalu mengkaji dan melacak
informasi hingga pada sumber primer dan tekstual. Dalam tradisi ini, individu
mendahulukan nalar sebelum berbicara, berpikir kritis sebelum percaya.
Dunia
maya melahirkan tradisi lisan digital. Pasalnya, yang terjadi di dunia maya
sesungguhnya perbincangan lisan yang dimediasi teknologi digital. Ia mudah
diucapkan sekaligus dihapus. Pada kasus obrolan daring melalui akun Facebook
atau Twitter, hal demikian eksplisit. Tubuh digital berhadapan, berbincang, bertukar
gagasan, hingga berkelahi. Efek perbincangan tubuh digital di situs
netokrasi—meminjam Alexander Bard (2002)—jauh berbeda dengan di situs
socious. Masyarakat jaringan yang di sini disebut sosiodigital amat dinamis,
progresif, bahkan liar. Nyaris tiada yang membatasi gerak tubuh digital sebab
dunia maya tak kenal batas geografis.
Tradisi
itulah yang ingin saya sebut sebagai kelisanan tersier. Istilah ini saya
pakai untuk ”melanjutkan” uraian Walter J Ong tentang tradisi lisan primer
dan sekunder dalam bukunya, Orality and
Literacy (2004). Ong menyebut kelisanan primer sebagai tradisi masyarakat
yang sama sekali belum kenal aksara. Dalam masyarakat ini, realitas hadir
hanya dalam memori yang direpresentasikan melalui media biologis mulut dan
telinga. Tradisi lisan sekunder digunakan untuk menyebut masyarakat lisan
pada zaman keberaksaraan. Kehadiran media elektronik radio, TV, juga telepon
pada era ini mengonfigurasi tradisi kelisanan: menonton, mendengar,
berkerumun, dan seterusnya.
Berbeda
dengan tradisi lisan sekunder yang cenderung statis karena publik hanya
berposisi sebagai pendengar dan penonton, kelisanan tersier memosisikan
publik sebagai pelaku aktif. Sebagaimana telah disinggung, mereka berbincang,
berinteraksi, dan bertransaksi sebagai anggota masyarakat sosiodigital.
Tradisi lisan yang dimediasi teknologi digital sedemikian sangat berpotensi
bagi lahirnya kebarbaran baru. Jika pada masyarakat lisan primer keliaran
dibatasi ruang dan waktu, pada kelisanan tersier situasinya terbalik. Teknologi
informasi nyaris menirbataskan ruang dan melipatgandakan kecepatan waktu.
Akibatnya,
kita jadi manusia yang ”panik”, selalu ingin lekas menjangkau segala hal.
Kebiasaan copy-paste, menjawab SMS
sambil bersepeda motor, ingin cepat kaya dengan korupsi, dan ingin cepat jadi
penguasa dengan politik uang adalah sedikit contoh yang bisa disebut. Secara
kultural terbentuklah masyarakat reaktif, yang mudah dimobilisasi beragam
isu. Mereka bertindak tanpa berpikir lebih dulu. Walhasil, era sosiodigital
adalah zaman yang menomorduakan nalar.
Tentu
situasi demikian harus mendapat perhatian kita bersama. Untuk hal ini, dalam
jangka panjang posisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sangat
menentukan. Tak ada rambu yang mampu mengatur dengan ketat masyarakat sosiodigital,
kecuali setiap individu dalam masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, hanya
diri yang berkarakter teguhlah yang bisa mengantisipasinya. Diri demikian
hanya bisa dilahirkan sistem pendidikan berkarakter pula.
Namun,
penting dipahami bahwa karakter bukanlah sifat dan sikap yang bisa
ditempelkan seperti ditunjukkan secara teknis di dalam Kompetensi Inti/Dasar
(KI/KD) Kurikulum 2013. Karakter adalah sebuah fleksibilitas diri dalam
menghadapi tantangan ruang dan waktu secara kreatif dan inovatif. Hal ini
hanya bisa dilahirkan jika pendidikan didudukkan di dalam kebudayaan.
Mengingat kebudayaan kita sangat beragam, pendidikan meniscayakan lahirnya
karakter jika berada dalam keberagaman budaya sedemikian. Artinya, sistem
pendidikan yang salah satunya diturunkan melalui kurikulum tak bisa
diseragamkan sebagaimana dikehendaki pemerintah melalui penerapan Kurikulum
2013. Penyeragaman justru akan melahirkan manusia mesin, tubuh-tubuh digital
yang sensitif, mewah, tetapi sekaligus reaktif dan mengabaikan nalar
kemanusiaan. Itulah kebarbaran baru dalam tradisi kelisanan tersier. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar