Partai
Aklamasi
Abdillah Toha ; Mantan Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN)
|
KOMPAS,
02 Januari 2015
BEBERAPA
waktu lalu Kompas melaporkan bahwa dalam Kongres Partai Amanat Nasional
mendatang akan ada tiga calon ketua umum. Saya meragukan hal itu. Apakah benar dan serius
akan ada pertandingan lebih dari satu calon atau yang akan terjadi mengulang
seperti dalam kongres ke-5, yang berujung pada calon tunggal Hatta Rajasa dan
aklamasi? Belakangan banyak berita yang mengabarkan bahwa Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) juga akan menjadi calon tunggal Partai Demokrat yang akan
dipilih dengan aklamasi karena baik Ibas maupun Marzuki Alie dan lainnya
dianggap belum saatnya bisa memimpin Partai Demokrat.
Sebelum
ini, Megawati Soekarnoputri (PDI-P), Prabowo Subianto (Gerindra), Surya Paloh
(Nasdem), Aburizal Bakrie (Golkar versi Munas Bali), Romahurmuziy (PPP versi
Munas Surabaya), Djan Faridz (PPP versi Munas Jakarta), Muhaimin Iskandar (PKB),
Anis Matta (PKS), dan Wiranto (Hanura), serta SBY (menggantikan Anas
Urbaningrum), semua terpilih sebagai calon tunggal dengan aklamasi.
Pengecualian ada pada Agung Laksono (Golkar versi Munas Jakarta). Ia terpilih
dengan voting mengalahkan dua calon lain.
Dengan
demikian, apabila nanti Hatta dan SBY benar-benar jadi calon tunggal di
partai masing-masing, lengkap dan sempurnalah sudah komedi nasional partai
politik kita. Sebuah komedi yang tidak terlalu lucu.
Mengondisikan aklamasi
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, aklamasi berarti pernyataan setuju secara lisan
dari semua peserta rapat terhadap suatu usul tanpa melalui pemungutan suara.
Cukup dengan tepuk tangan, sorak-sorai, atau pekikan lain yang menunjukkan
persetujuan peserta rapat, kemudian calon dinyatakan terpilih.
Pada
dasarnya tak ada salahnya ketika seseorang terpilih untuk menduduki jabatan
tertentu dalam sebuah organisasi secara aklamasi. Ini bisa terjadi jika
memang tokoh yang terpilih benar-benar dikehendaki dengan tulus oleh semua
peserta karena pantas dan benar-benar tidak ada calon lain yang beraspirasi
untuk menduduki jabatan itu.
Lain
halnya apabila munculnya calon tunggal atau tiadanya pesaing dalam sebuah
pemilihan memang dikondisikan. Pengondisian bisa dengan politik uang,
intimidasi, atau pencitraan dan penciptaan suasana psikologis bahwa percuma saja maju sebagai calon karena tak
mungkin mengalahkan sang calon tunggal.
Intimidasi
dilakukan dengan memperlakukan pesaing sebagai ”musuh” dengan menakut-nakuti
bahwa apabila calon yang dijagokan terpilih, pesaing akan kehilangan posisi
apa pun dalam kepengurusan partai. Di tingkat pemilihan presiden, itulah yang
terjadi pada era Soeharto ketika presiden dipilih oleh MPR yang mayoritas
anggotanya diangkat oleh Soeharto. Selama 32 tahun berkuasa, tak seorang pun
berani maju mencalonkan diri melawan Soeharto karena maju berarti bunuh diri
secara politis.
Calon
tunggal juga bisa terjadi karena sang calon dianggap mempunyai hak khusus dan
istimewa dalam partai. Dia biasanya adalah pemrakarsa atau pendiri utama
partai dan orang yang sangat berjasa
membiayai atau memobilisasi pendukung pada tahap awal berdirinya partai. Hal
ini terjadi umumnya pada partai baru, yang kemudian sang tokoh dijadikan
simbol partai dan partai diidentifikasikan dengan sosoknya. Partai jenis ini
biasanya kemudian cenderung menciptakan dinasti keluarga dalam kepemimpinan
partai.
Jenis
lain calon tunggal adalah mereka yang dianggap sebagai dewa atau dewi
pemersatu partai. Tanpanya partai diperkirakan akan pecah dan hancur. Secara
jujur, karena umur demokrasi kita masih sangat muda—begitu pula umur
partai-partai pada umumnya serta ketokohan yang masih mendominasi bangunan
partai, serta belum terbentuknya sistem dan
tradisi demokrasi yang matang—harus diakui bahwa sampai batas
tertentu, tokoh pemersatu itu barangkali terkadang masih relevan.
Politik
uang juga tidak kalah penting dalam mewujudkan calon tunggal. Walau dalam
pemilihan pimpinan partai dengan lebih dari satu calon uang juga sering
memainkan peran penting, bedanya dalam menciptakan calon tunggal adalah
diperlukan pengorbanan jumlah modal yang jauh lebih besar dari sumber sang
calon.
Penguasa
partai yang lebih cerdik akan maju seakan-akan melalui proses demokrasi yang
benar dengan mengatur beberapa kawan sebagai ”pesaing”-nya, dengan pengertian
bahwa pemenangnya telah disepakati bersama terlebih dahulu dan kawan
pesaingnya sudah dijanjikan mendapat tempat yang aman dalam jajaran petinggi
partai.
Sandiwara politik
Inilah
berbagai wujud sandiwara perpolitikan partai di negeri kita yang mencapai
klimaksnya akhir-akhir ini.
Berbeda
dengan pengambilan keputusan secara aklamasi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
yang menyangkut sebuah undang-undang atau pelaksanaan fungsi lain DPR,
aklamasi dalam pemilihan orang sering lebih dekat kepada sikap totaliter.
Dalam sistem politik totaliter, pemilihan difungsikan sekadar sebagai sarana
pengesahan calon tunggal yang ditetapkan terlebih dahulu oleh partai tunggal.
Sementara aklamasi atau konsensus dalam proses pengambilan keputusan oleh
wakil rakyat sering kali lebih berguna untuk bangsa karena dapat seluas
mungkin menampung berbagai aspirasi masyarakat yang beragam, termasuk
aspirasi kelompok minoritas, sekaligus terhindar dari kemungkinan perseteruan
kelompok yang dapat mengganggu jalannya penyelenggaraan negara.
Salah
satu akibat terburuk dari calon tunggal dengan aklamasi adalah tersendatnya
regenerasi kepemimpinan partai. Elite senior partai yang telah menancapkan
kukunya di partai jarang yang rela melepas kedudukannya dan menyerahkan
estafet kepemimpinan kepada generasi berikut yang lebih muda. Generasi senior
partai biasanya hanya akan turun apabila terpaksa atau dipaksa oleh keadaan.
Atau mundur dengan menyerahkan kekuasaan kepada ”putra mahkota” yang telah disiapkan
seperti praktik UMNO sebagai bagian utama dari Barisan Nasional Malaysia yang
sampai kini telah berkuasa selama tidak kurang dari 57 tahun di sana.
Dominasi
partai yang dikangkangi oleh segelintir elitenya juga berpotensi mematikan
semangat warga negara yang mumpuni untuk berpartisipasi dalam kancah
perpolitikan. Akhirnya partai hanya diisi kader-kader kelas dua atau kelas
tiga yang melihat partai politik hanya sebagai tempat mencari nafkah, bukan
sebagai institusi yang dirancang untuk menyalurkan aspirasi dan keyakinan
ideologinya. Partai kemudian menjadi sejenis institusi keluarga atau
korporasi yang pragmatis dan tak jelas misinya.
Harapan
satu-satunya tinggal pada beberapa gelintir pemuda berintegritas dan bervisi
yang masih tersisa di beberapa partai politik, dan sejauh ini termarjinalkan
karena sikapnya yang independen. Hanya ketika mereka berani bangkit dan
berjuang untuk sebuah demokrasi yang sehat, kita bisa berharap akan sembuhnya
partai-partai politik kita dari sakitnya yang tampak sudah mulai menahun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar