Segerakan
UU Pemilu 2019
Moh Mahfud MD ;
Guru
Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 03 Januari 2015
Meski
pada paruh kedua tahun 2014 kita sempat dibuat cemas oleh pertikaian politik
yang sangat panas, memasuki 2015 ini ada harapan kehidupan politik menjadi
lebih sejuk. Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat sudah mencapai
titik temu dan menyadari kekisruhan politik yang bertendensi zero sum game dan saling memboikot hanya
akan merugikan semuanya, terutama rakyat. Tahun 2015 memberi harapan untuk
normalnya interaksi politik baik antara pemerintah dan DPR maupun
antarkoalisi di DPR.
Pemerintah
dan DPR dapat melaksanakan tugasnya masingmasing sesuai konstitusi. Di antara
banyak hal penting yang harus segera dilakukan oleh DPR dan pemerintah adalah
membentuk UU Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 baik pemilu legislatif (pileg)
maupun pemilu presiden/wakil presiden (pilpres). UU Pemilu 2019 harus segera
diselesaikan agar cukup waktu bagi rakyat, pemerintah, dan partai-partai
politik untuk melakukan berbagai persiapan.
Ada
dua hal terkait dengan ini. Pertama, kita harus melakukan evaluasi atas
sistem pemilu dengan urutan suara terbanyak yang ternyata, setelah dua kali
kita mengalaminya, menimbulkan banyak masalah. Kedua, pada 2019 pileg dan
pilpres harus dilaksanakan serentak. Tidak dapat disangkal Pileg 2014
menimbulkan masalah karena berlangsung brutal dan ditengarai penuh
kecurangan.
Jual
beli suara, saling bantai antarcaleg dalam satu partai, dan terlemparnya
kader-kader penting partai karena dicurangi menjadi isu umum dalam Pileg
2014. Banyak yang mengusulkan agar pileg diubah kembali menjadi sistem
proporsional tertutup, bukan dengan urutan suara terbanyak. Hal itu mungkin saja
dilakukan dan tidak perlu dipertentangkan dengan putusan MK.
Sebab,
pileg dengan suara terbanyak itu sebenarnya bukan perintah putusan MK,
melainkan memang merupakan isi UU Nomor 10/2008 yang dibuat oleh DPR bersama
Presiden. MK hanya mencoret persyaratannya yang sangat tidak adil. Pileg
dengan suara terbanyak atau sistem pemilu pada 2009 itu yang menentukan
adalah lembaga legislatif sendiri melalui UU Nomor 10/2008 yang di dalam
Pasal 214 huruf a, b, c, d, e. (intinya) mengatur, ”Caleg terpilih di suatu
dapil ditetapkan berdasarkan suara terbanyak dari antara mereka yang mendapat
suara minimal 30% dari BPP.”
Menurut
MK ketentuan ambang 30% itu tidak adil sehingga MK membatalkan frase, ”.. dari antara mereka yang mendapat suara
minimal 30% dari BPP.” Menurut MK, kalau lembaga legislatif mau
menggunakan sistem proporsional atau sistem distrik itu sama
konstitusionalnya dan merupakan opened
legal policy yang bisa dipilih yang mana saja yang akan diberlakukan oleh
DPR dan pemerintah.
Karena
penetapan sistem pemilu itu merupakan ranah pembuatan undang-undang oleh
legislatif, maka jika dianggap perlu untuk Pileg 2019 bisa saja UU Pileg itu
diubah lagi menjadi sistem proporsional tertutup atau dengan sistem nomor
urut. Sepenuhnya hal itu menjadi hak lembaga legislatif.
Pilpres
2019 sangatlah krusial karena berdasarkan putusan MK Nomor 14/PUU-XI/ 2013
harus dilaksanakan serentak dengan pileg. Putusan MK tersebut dengan
sendirinya menuntut dibuatnya undangundang baru yang bisa mencakup mekanisme
pemilihan dan penetapan capres/cawapres dan caleg sekaligus.
Untuk
pilpres memang masih ada beberapa masalah krusial, apakah memakai
presidential threshold ataukah tidak. Ada yang mengusulkan tidak perlu
memakai threshold sehingga semua parpol peserta pemilu yang lama atau baru
langsung bisa mengajukan capres/cawapres.
Ada
yang berpendapat agar pengajuan capres/cawapres oleh parpol tetap menggunakan
threshold sebagai bukti bahwa parpol tersebut benar-benar mendapat dukungan
sejumlah minimal tertentu dari rakyat. Menurut pendapat kedua ini, yang boleh
mengajukan capres/cawapres hanya parpol yang mencapai thereshold pada Pileg
2014 dan mempunyai kursi di DPR RI sekarang.
Kelompok
yang menghendaki adanya threshold dalam pilpres ini pun bisa berbeda ke dalam
dua pandangan. Pertama, yang menginginkan semua parpol yang sudah mencapai
parliamentary threshold dan mempunyai kursi di DPR berdasar Pileg 2014
langsung boleh mengajukan capres/cawapres.
Kedua,
yang menginginkan presidential threshold tetap dipatok 20% berdasar hasil
Pileg 2014 sehingga capres/ cawapres hanya bisa diajukan oleh parpol atau
gabungan parpol yang sekarang sudah mempunyai kursi di DPR. Semua alternatif
masih terbuka untuk diperdebatkan dan tergantung alternatif mana yang nanti
akan dipilih oleh lembaga legislatif.
Diskusi
dan musyawarah untuk pembentukan UU Pemilu ini harus segera dimulai pada 2015
dan sedapat mungkin ditargetkan bisa diundangkan akhir 2016. Dengan demikian,
jika ada pengujian ke MK untuk masalah-masalah yang terkait dengan UU Pemilu
bisa diproses dan diselesaikan pada 2017 sehingga mulai 2018 semuanya sudah
bisa melakukan persiapan dengan undang-undang yang sudah jelas.
Jangan
sampai terjadi UU Pemilu baru selesai menjelang pemilu dan pengujiannya ke MK
masih dilakukan oleh masyarakat ketika tahapan-tahapan pemilu sudah dimulai.
Selain itu, pentingnya penyelesaian segera UU Pemilu 2019 bukan hanya untuk
mengatasi kesiapan teknis, melainkan juga untuk menjaga jarak dari
kepentingan-kepentingan politik jangka pendek. Jika undang-undang bisa
diselesaikan jauh sebelum pemilu maka ketegangan dan manuver politik tidak
akan terlalu kental sehingga lebih mudah dihadapi secara wajar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar