Premium
Putu Setia ; Pengarang, Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO, 03 Januari 2015
Duka dan suka mengawali tahun
2015. Duka karena musibah. Yang paling heboh tentu tenggelamnya pesawat
AirAsia di perairan Karimata. Duka lainnya pun banyak, Pasar Klewer yang jadi
ikon pasar batik terbesar di Indonesia musnah dilalap api. Ada kawasan yang
kebanjiran, termasuk terjangan air laut di Manado. Orang suka lupa kalau
Gunung Sinabung masih meletus.
Sukanya harga minyak turun,
terutama Premium. Menteri Koordinator
Perekonomian bersama beberapa menteri mengumumkan harga baru Premium, yakni
Rp 7.600, dari sebelumnya Rp 8.500. Tetapi di Denpasar seorang ibu sempat
berdebat ketika harga dipatok Rp 7.950. "Kok, bisa lebih mahal dari yang
diumumkan Menteri," kata sang ibu. Petugas SPBU menjawab, "Harga
area Bali memang segitu, kan jauh dari Jakarta." Ibu itu masih ngotot:
"Menteri enggak bilang harga itu beda-beda." Petugas SPBU,
kebetulan juga wanita, tetap tenang menjawab, "Menterinya enggak tahu
kali ...."
Saya tertawa, jadi tak mengikuti
dialog selanjutnya. Apakah menteri yang mengumumkan harga baru itu tak tahu
kalau harga berbeda-beda di berbagai area distribusi? Itu tak mungkin. Yang
paling mungkin adalah informasi tak lengkap sampai ke masyarakat.
Pemerintah memutuskan harga
Premium tak lagi bersubsidi, sementara harga solar subsidinya dipatok Rp
1.000. Jadi, harga bisa gonjang-ganjing setiap saat, seperti halnya harga
cabai keriting. Patokan harga untuk Premium secara nasional Rp 7.600. Kenapa
di Bali lebih mahal? Karena orang Bali dianggap kaya, maka pajak bahan bakar
minyak kendaraan bermotor dipatok 10 persen ditambah pajak penjualan juga 10
persen.
Di daerah yang jauh dari "ibu
kota nasional" seperti Papua, harga bahan bakar minyak juga tinggi
karena biaya distribusi. Tetapi pemerintah memperkenalkan tiga kategori:
bahan bakar minyak penugasan, subsidi, dan non-subsidi. Premium dan solar
untuk daerah "nun di sana" digolongkan penugasan.
Masyarakat banyak tak paham soal
ini. Bahkan para sopir angkot dan taksi belum paham juga apakah perubahan
harga itu nanti seenaknya mengikuti pasar dunia? Mereka sulit merencanakan
ongkos angkutan kalau perubahan harga secara mendadak, apalagi dalam waktu
singkat. Pemerintah diharapkan masih melakukan kontrol dengan mengumumkan
perubahan harga setiap bulan (atau kelipatannya) dan tidak di tengah bulan
seperti naik-turunnya harga Pertamax.
Perubahan harga cukup ditempel di SPBU
minimal tidak hari sebelum berganti. Kalau menteri harus tampil di televisi,
selain menterinya sibuk, kesannya seperti Orde Baru, mengingatkan pada Menpen
Harmoko yang tampil setiap Rabu malam di TVRI mengumumkan harga cabai
keriting, bawang, kini harga Premium dan solar.
Kalau diberi penjelasan yang
lengkap, masyarakat bisa paham. Buktinya, dengan kenaikan Premium dulu
sebesar Rp 2.000-padahal tak tahu cara menghitungnya-rakyat relatif bisa
menerima. Kalaupun parlemen mengajukan hak interpelasi, itu bukan aspirasi
rakyat.
Subsidi Premium yang dicabut dan
dialihkan untuk kepentingan yang produktif sudah mulai dipahami rakyat.
Tinggal pembuktiannya nanti, apa benar ada pembangunan waduk, perbaikan
irigasi, subsidi pupuk, jalan ke desa dibenahi, hak petani akan air di
pegunungan dihormati pemerintah dengan tidak menjual ke investor yang
membangun hotel. Kalau nanti pepesan kosong, kepercayaan masyarakat akan
hilang.
Ini momentum yang baik, menghapus
subsidi bahan bakar minyak yang banyak digunakan orang-orang kaya di kota
untuk dipakai membangun desa. Asalkan ada penjelasan gamblang, masyarakat
kita sudah tak bodoh lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar