Bencana
Goenawan Mohamad ; Esais, Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO, 05 Januari 2015
10 Mei 1883, seorang penjaga
mercusuar di sebuah titik di Laut Jawa merasa bahwa fondasi menara itu
beralih. Laut tampak berubah putih, seakan-akan sejenak beku, seperti cermin
yang menakutkan.
Itulah tanda-tanda awal tsunami
dan ledakan besar Krakatau yang dicatat dan digambarkan kembali oleh Simon
Winchester dalam Krakatoa: The Day the
World Exploded: August 27, 1883.
Dari pelbagai dokumen sejarah,
kita tahu betapa mengerikannya bencana itu. Hampir seluruh Pulau Krakatau
lenyap. Energi yang menggelegak dari letusan itu diperkirakan empat kali
lebih besar ketimbang ledakan bom thermonuklir. Asap vulkanis yang membubung
ke angkasa mengitari bumi beberapa bulan. Warna langit senja di mana-mana
berubah, sampai ke New York. Bahkan merah dan jingga yang tampak di latar
lukisan Edvard Munch yang terkenal, "Teriakan yang menggambarkan wajah
seseorang yang ketakutan” diduga berasal dari efek Krakatau di angkasa
Norwegia.
Sekitar 40 ribu orang tewas.
Tsunami yang berbareng dengan ledakan itu mengempaskan gelombang setinggi 40
meter dan menghancurkan Kota Merak dan sebagian wilayah Lampung.
Seratus dua puluh tahun sebelum
Winchester menuliskan bukunya, hanya dua bulan setelah bencana besar itu,
sudah ada sebuah naskah yang ditulis seseorang yang tak dikenal, yang merekam
kesaksiannya. Syair Lampung Karam,
terbit pada 1883, ditulis dalam aksara Jawi. Penulisnya Muhammad Saleh. Bulan
ini, naskah itu terbit sebagai Krakatau:
The Tale of Lampung Submerged, dalam bahasa asli dan bahasa Inggris,
terjemahan John H. McGlynn dari The
Lontar Foundation.
Mula-mula, pada bulan Rajab,
demikian syair ini bercerita, turun abu putih sampai setebal "dua
jari". Kemudian suara gemuruh menggelegar dan angin kencang melabrak.
Dan pada sebuah pagi hari Ahad, setelah "guruh menderu-deru"
seperti suara kapal api yang mendekat, ombak yang besar pun melanda.
Pukul
lima nyatalah hari,
Gaduhlah
orang di dalam kali,
Perahu
berlaga sama sendiri,
Airnya
datang tidak terperi.
Sepanjang 345 bait, syair ini
melukiskan bagaimana bencana itu menghabisi nyawa dan harta pelbagai dusun.
Muhammad Saleh agaknya reporter pertama dalam sejarah Indonesia yang
melaporkan semua itu secara faktual: "Bukan
hamba membuat dusta."
Sebagai balada, bentuk syair
memang biasa ditulis untuk mengisahkan sebuah peristiwa yang masih hangat.
"Sesungguhnya inilah gaya jurnalistik pada abad naskah," tulis Ian
Proudfoot dan Virginia Hooker dalam penutup buku terjemahan McGlynn ini.
Tentu, bentuk syair punya
keterbatasan untuk jadi sebuah reportase. Harus mengikuti bait dan rima yang
sudah tertentu, kesaksian tentang karamnya wilayah Lampung di abad ke-19 ini
tak seleluasa deskripsi Abdullah bin Abdulkadir Munsyi tentang perubahan
sosial di Singapura di masa Raffles dalam Hikayat Abdullah. Penyusun Syair Lampung Karam harus membatasi
kata-katanya.
Tapi bentuk syair ini memberi
peluang bagi sikap seorang pencatat: berbeda dengan puisi liris modern, ada
jarak emosional antara dia dan apa yang disampaikannya. Kita bahkan tak tahu,
sejauh mana bencana itu menimpa penulisnya atau keluarganya.
McGlynn pantas dihargai karena ia
merawat jarak emosional itu dengan menyusun kuatren-kuatren yang memakai rima
yang teratur, meskipun dengan bunyi dan variasi kata yang lebih beragam
(bahasa Inggris memungkinkan itu) dan dengan makna yang terkadang menyimpang.
Dalam keteraturan itu, versi asli
Lampung Karam tak menimbulkan gerak dan progresi yang membuat kita terpukau.
Laporan di dalamnya mencakup wilayah yang luas, tapi tak dibangun dengan
suspens melalui waktu yang berjenjang. Banyak deskripsi yang nadanya tak
meninggi atau merendah. Kisah seperti berulang-ulang biarpun tentang tempat
dan kejadian yang berubah-ubah. Hampir seluruhnya sebuah monotoni.
Tapi pada dasarnya: sebuah
harmoni. Muhammad Saleh, sebagai seorang muslim zaman itu, tak ingin
menggugat nasib yang menimpa orang banyak yang tak bersalah tapi seakan-akan
menerima laknat itu. Ia bahkan tak mengisyaratkan kemarahan --meskipun,
menurut Winchester, bencana Krakatau berpengaruh pada antagonisme penduduk
Islam di Banten kepada kekuatan kolonial.
Di bait 274 digambarkan bagaimana
putri sang pejabat Belanda ("Tuan Kontelir") hilang dipukul
gelombang seperti kebanyakan penduduk. Di bait 280-281 dikisahkan bagaimana
bahkan di antara orang-orang yang berniat membunuhnya ada yang
mengasihaninya--hingga ia selamat. Dalam beberapa bait sejak 344, kita
bertemu dengan Residen yang dengan ramah membantu para korban.
Bencana bisa membuat orang protes,
tapi juga bisa membuat kita bersama berkabung. Meskipun tanpa khotbah, tanpa
petuah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar