Mau Dibawa ke Mana Siaran
Televisi (Digital) Kita?
Redi Panuju ;
Pengajar
Ilmu Komunikasi Unitomo Surabaya
|
JAWA
POS, 02 Januari 2015
BANYAK
yang tahu, pada 2018, masyarakat Indonesia akan mendapat sajian acara
televisi yang suaranya jernih dengan gambar kinclong (seindah warna aslinya).
Sebab, saat itu, pemerintah Indonesia mencanangkan migrasi total sistem
siaran televisi analog menjadi digital. Sosialisasi untuk itu sudah tidak
terhitung banyaknya dilakukan pemangku otoritas informasi, Kementerian
Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo), melalui berbagai saluran.
Sayangnya,
rencana yang elok tersebut tidak dibarengi penataan aspek yuridisnya.
Akibatnya, banyak waktu selama ini yang habis untuk konflik dan beradu
’’kebenaran’’ lewat jalur hukum. UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
dipandang sudah tidak mampu menjawab tantangan perkembangan teknologi
komunikasi yang begitu pesat, apalagi mengurai problematika penataan infrastruktur
penyiaran sehingga menimbulkan persoalan ketidakpastian.
Kemenkominfo
sebetulnya menyiapkan kebijakan sejak 2007 yang ditandai dengan Permen
Kominfo No 7 Tahun 2007 tentang Standar Penyiaran Televisi Digital
Teristrial, disusul Permen Kominfo No 5 Tahun 2012 tentang hal yang sama.
Persoalan regulatif muncul ketika Kemenkominfo menerbitkan Permen Kominfo No
22 Tahun 2011. Permen tersebut direaksi keras karena di dalamnya banyak hal
yang bertentangan dengan Undang-Undang Penyiaran maupun Undang-Undang
Telekomunikasi.
Salah
satunya, dalam proses penataan, pemerintah meninggalkan peran Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI), tidak memperhatikan aspek keadilan bagi pemain
lokal, serta menyerahkan penataan kepada pemenang tender (multiplexing provider) yang notabene
berasal dari kalangan pengusaha (stasiun TV swasta). Menyerahkan penataan
frekuensi kepada pihak swasta (meskipun menang tender) tidak saja
bertentangan dengan UU Penyiaran, namun lebih dari itu, melawan UUD 1945.
Bila dianggap sebagai sumber daya yang terbatas dan langka, seharusnya
frekuensi dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Karena
itu, berbagai pihak melawan permen tersebut melalui jalur hukum dan akhirnya
MA memutus untuk membatalkannya pada 23 Juli 2012. Setelah keluarnya putusan
MA tersebut, masyarakat berharap pemerintah merevisi hal-hal yang bersifat
substansial yang bisa berakibat cacat hukum. Namun, kenyataannya, ibarat
pepatah ’’biarkan anjing menggonggong kafilah tetap berlalu’’, Kemenkominfo
menerbitkan permen pengganti, tetapi dengan isi yang sama (Permen Kominfo No
32 Tahun 2013).
Bagi
pemerintah, persoalan regulasi sistem digital tersebut, tampaknya, sudah
kepalang basah. Sebab, bila harus menghentikan proses atau mengulang proses,
mereka bisa digugat pemenang tender. Tentu sudah banyak kapital yang
dikeluarkan pemenang tender. Dalam prinsip bisnis, setiap receh yang
dikeluarkan tidak boleh sia-sia, harus mendapat keuntungan atau setidaknya
manfaat (benefit). Karena itu, akhirnya Kemenkominfo mengambil jalan
kompromistis. Proses tetap dijalankan, tetapi tetap melalui pintu komisi
penyiaran.
Sejak
setahun lalu, Komisi Penyiaran Indonesia daerah (KPID) di seluruh Indonesia
memproses penataan infrastruktur penyiaran sesuai dengan peraturan
perundangan. Para pemohon izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) televisi
digital itu tidak hanya berasal dari pemain lama yang telah berproses izin
televisi analog, namun juga para pemain baru yang ingin meramaikan penyiaran
televisi digital.
Bahkan,
di antara yang mengajukan IPP untuk televisi digital itu, ada beberapa yang
berbentuk penyiaran televisi komunitas. Sebelumnya tidak pernah ada
masterplan kanal untuk televisi komunitas. Melalui sistem TV digital, peluang
itu terbuka melalui multiplexing yang diberikan kepada TVRI.
Namun,
penataan sistem digital tersebut tidaklah semudah membalik telapak tangan.
Para pemohon mengalami kebuntuan ketika negosiasi harga untuk sewa slot
kepada pemilik (pemenang tender) Mux. Pada umumnya, mereka mengeluh karena
harga sewa sangat tinggi sehingga tidak mungkin dipenuhi. Itulah akibat
penataan kanal diserahkan kepada swasta. Kanal frekuensi dalam pandangan
pemerintah menjadi identik dengan komoditas yang layak diperjualbelikan.
Padahal, sesuai dengan UU No 32/2002, dilarang memperjualbelikan IPP. Lha
kok, pemerintah malah ’’menjual’’ kanal? Ironis...
Dalam
situasi yang belum jelas dan belum pasti itu, tiba-tiba Kementerian Kominfo
menerbitkan Keputusan No 1017 Tahun 2014 tentang Peluang Penyelenggaraan
Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta Jasa Penyiaran Televisi secara
Analog.Tentu, terbitnya keputusan tersebut menimbulkan banyak pertanyaan.
Misalnya, apakah pemerintah akan menunda penataan TV digital? Lantas,
bagaimana dengan mereka yang telah mengajukan IPP untuk TV digital, sedangkan
dalam Keputusan No 1017 tersebut disertakan klausul bersedia berpindah ke
digital bila telah mendapat IPP analog? Apa pun jawabannya, hal itu
menunjukkan ketidakpastian penataan TV dengan sistem digital.
Lantas,
banyak pemohon IPP digital yang ingin mengubah pengajuan mereka menjadi
analog. Sebab, dengan begitu, mereka bisa bermain di analog dulu sambil
menunggu sistem digital berjalan efektif (yang kepastian waktunya belum
jelas). Namun, mengubah pengajuan IPP itu pun bukan perkara mudah. Sebab, mereka
harus mengubah akta pendirian, NPWP, HO, SIUPP, surat keterangan domisili,
IMB, dan rekomendasi kelayakan administrasi dan teknis dari pemerintah
provinsi (biasanya dinas kominfo).
Pertanyaan
penutupnya: mau dibawa ke mana televisi (digital)
kita? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar