Kurikulum
Ganda
Mohammad Abduhzen ; Direktur Institute for Education Reform
Universitas Paramadina, Jakarta;
Ketua Litbang PB PGRI
|
KOMPAS, 05 Januari 2015
PEMIKIRAN
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan yang tak ingin menyakiti siapa
pun, dan menghindari kesan ganti menteri ganti kurikulum, tecermin kuat dalam
keputusan tentang Kurikulum 2013. Sebuah keputusan bertafsir ganda. Sebagian
masyarakat menganggap Kurikulum 2013 dihentikan dan sebagian menyatakan
diteruskan. Wakil Presiden Jusuf Kalla turut membantah Kurikulum 2013
dihentikan. ”Tak dicabut dan dihentikan. Siapa bilang dicabut,” kata Jusuf
Kalla.
Keputusan itu
tertuang dalam Peraturan Mendikbud Nomor 160 Tahun 2014 yang menyatakan
pemberlakuan Kurikulum 2013 pada satuan pendidikan yang telah melaksanakannya
selama tiga semester (6.221 sekolah?). Sekolah ini dianggap dan dijadikan
rintisan penerapan Kurikulum 2013.
Sementara
satuan pendidikan lain (201.779 sekolah?) yang baru menerapkannya satu
semester alias sejak semester pertama 2014/2015 kembali ke Kurikulum 2006
mulai semester kedua 2014/2015. Sekolah-sekolah ini, kepala sekolah, guru,
tenaga kependidikan, dan pengawasnya akan mendapatkan pelatihan persiapan
pelaksanaan Kurikulum 2013. Penerapan Kurikulum 2006 ini berlangsung paling
lama empat tahun atau sampai 2019/2020.
Kebijakan ini
sesuatu yang sulit dan tak langsung menyelesaikan problem tersebab Kurikulum
2013 yang tergesa-gesa, bahkan menjadi komplikasi bagi pembelajaran
mendatang. Namun, putusan ini mesti diambil agar beragam kerancuan substansi
dan kesukaran teknis implementasi Kurikulum 2013 tak berkepanjangan,
penyempurnaan mendasar dapat dilakukan. Kita tak perlu berlama-lama menunggu
fakta empiris yang menunjukkan, sesuatu itu tak benar atau tidak tepat jika
secara logis (analitis) saja rancu.
Implikasi
keputusan ini memunculkan dualisme standar operasi pembelajaran: Kurikulum
2013 dan Kurikulum 2006, yang jika berlangsung lama akan berimplikasi
kesenjangan kualitatif. Bahkan mungkin berdampak diskriminatif karena sekolah
pelaksana Kurikulum 2013 kebanyakan eks rintisan sekolah bertaraf
internasional atau sekolah unggulan lain. Memang setiap pergantian kurikulum
akan menghadapi masa transisi yang bercorak dualisme, tetapi biasanya
perubahan itu seperti gradasi warna, tidak diametral seperti pemberlakuan
Kurikulum 2013 bersama Kurikulum 2006.
Melangkah maju
Dalam
suratnya (5/12/2014) untuk kepala sekolah, Mendikbud menyatakan, keputusannya
meneruskan pelaksanaan Kurikulum 2013 dan kembali pada Kurikulum 2006
merupakan langkah tepat bagi pendidikan nasional. Ia menolak jika
kebijakannya disebut—oleh Mohammad Nuh—sebagai kemunduran.
Anies
menjelaskan bahwa Kurikulum 2013 substansinya tidak jelas dan tidak diimbangi
kesiapan pelaksanaannya. Kurikulum 2013 tidak terdokumentasi dengan baik
sehingga tidak didapatkan bagaimana kajian tentang Kurikulum 2006 yang
melatarbelakangi perlunya Kurikulum 2013.
Lebih lanjut
ditegaskannya bahwa di antara masalah substansial Kurikulum 2013 adalah
ketidakselarasan antara ide dan desain kurikulum dan ketidakselarasan gagasan
dengan isi buku teks. Adapun masalah teknis penerapan di antaranya berbedanya
kesiapan sekolah dan guru, tak merata dan tuntasnya pelatihan guru dan kepala
sekolah, serta penyediaan buku yang belum tertangani secara baik.
Pemikiran
Mendikbud sejalan dengan dan didukung Persatuan Guru Republik Indonesia
(PGRI) yang menyatakan, problem-problem implementasi Kurikulum 2013 merupakan
lanjutan dari inkoherensi beragam unsur fundamentalnya. Masalah mendasar itu
meliputi asumsi, argumentasi, substansi, dan implementasinya yang tak
berjalin koheren sehingga menghasilkan sebuah konsep operasional yang sukar
dipahami, apalagi diterapkan.
Kesulitan
memahami konsep dan teknis implementatif, seperti pendekatan tematik integratif,
kesukaran melakukan evaluasi otentik, tidak semata disebabkan kompetensi
pedagogi dan profesional guru yang memang masih rendah, tetapi konsep dan
skenario Kurikulum 2013 tidak dibuat mudah berbasis pada realitas pendidikan
kita
Doni Koesoema
(Kompas, 8/12/2014) merangkum
sepuluh hal fundamental yang harus jadi fokus dalam revisi Kurikulum 2013 di
antaranya konsep kompetensi inti; pengarusutamaan spiritualisme; pendidikan
agama, dan budi pekerti; pendekatan tematik integratif; model evaluasi; serta
model pelatihan guru.
Meskipun
menghadapi masalah tidak sederhana, Mendikbud tidak bermaksud ”menghapus”
Kurikulum 2013. Mendikbud melakukan perbaikan mendasar agar dapat dijalankan
dengan baik oleh guru-guru di dalam kelas. Saat telah diperbaiki dan dimatangkan,
Kurikulum 2013 baru diterapkan dan disebarkan kembali.
Kebijakan
Mendikbud merupakan langkah maju karena mengakui adanya kebaikan dalam
Kurikulum 2013, tetapi menyadari banyak kekurangannya. Tidak memberangus,
tetapi meneruskan dan menahan sebagian untuk perbaikan.
Menyikapi keputusan Mendikbud
Meski
merepotkan, menyikapi keputusan Mendikbud terkait dengan perbaikan Kurikulum
2013 tak perlu reaktif emosional karena perubahan kurikulum tak membuat murid
lantas jadi bodoh.
Namun, yang
paling merisaukan dari keputusan ini, pertama, terjadinya dualisme yang akan
berlangsung lama. Jika perbaikan Kurikulum 2013 secara mendasar, perlu waktu
paling tidak tiga hingga lima tahun karena perlu dilakukan perunutan kembali
beragam fondasi normatif, situasi obyektif, dan perspektif kebangsaan yang
diikuti uji coba. Kecermatan sangat penting agar ”Kurikulum 2013 Amendemen”
nantinya berdurasi panjang.
Dualisme
tidak saja terjadi antarsekolah, tetapi juga dalam satu sekolah. Itu karena
pemberlakuan Kurikulum 2013 tak serentak di semua kelas dalam satu sekolah.
Keadaan ini selain merepotkan guru dan sekolah, juga akan berdampak pada
kesenjangan kualitatif, bahkan dapat menjurus pada diskriminasi.
Kedua,
pemberlakuan keputusan ini di tengah tahun pelajaran 2014/2015 terasa kesusu,
bak mengulangi kesalahan Kurikulum 2013 sehingga persiapan ke Kurikulum 2006
juga tak matang. Tadinya dikira urgen karena terkait kontrak dan pencetakan
buku semester genap 2014/2015 yang berpotensi pemborosan. Namun, sehubungan
kontrak buku tak dapat dibatalkan—bukunya dijadikan referensi
perpustakaan—pertimbangan yang memaksa kebijakan ini harus berlaku Januari
2015.
Meneruskan
Kurikulum 2013 yang sudah diketahui banyak kelemahan, bahkan mendasar;
kemudian memberlakukan Kurikulum 2006 yang juga ada kekurangan tanpa
persiapan serta melatih kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, dan
pengawasnya untuk persiapan pelaksanaan Kurikulum 2013 yang belum diketahui
seperti apa jadinya merupakan ”kearifan” yang sukar dipahami apabila ”demi
kepentingan anak bangsa kita.”
Untuk
menghindari dualisme berkepanjangan dan beragam kerumitan, barangkali perlu
dipertimbangkan, pertama, pemerintah membuat ”Pedoman Pembelajaran Sementara
Masa Transisi” (kurikulum darurat, sesuai ide Mendikbud tentang ”Darurat
Pendidikan”) atau apalah namanya. Dengan demikian, tidak perlu meneruskan
Kurikulum 2013 dan menerapkan Kurikulum 2006. Kedua, pemberlakuannya dimulai
akhir semester genap tahun pelajaran 2014/2015 sehingga pada semester ganjil
tahun pelajaran 2015/2016 semua sekolah menggunakan dasar operasi
pembelajaran yang sama.
Ketiga,
”Pedoman Pembelajaran Sementara Masa Transisi/Revisi” merupakan kompilasi
dari Kurikulum 2013 dan Kurikulum 2006 yang sederhana dan praktis.
Bagaimanapun, makna kurikulum bagi guru hanyalah panduan tentang apa mata
pelajaran dan berapa lama diajarkan. Sederhana
bukan?! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar