Deparpolisasi
Negara
Yonky Karman ; Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
|
KOMPAS, 05 Januari 2015
DALAM
politik, pada mulanya adalah kekuasaan. Dan, kekuasaan terpusat pada raja,
sang eksekutor. Kemudian, bentuk kerajaan menjadi negara, tetapi aktor
kekuasaan tetap. Penguasa menentukan kesejahteraan rakyat. Beruntunglah
rakyat apabila penguasa adil dan baik.
Dengan
pemisahan kekuasaan dalam sistem demokrasi, trias politica, eksekutif adalah
pihak yang mengeksekusi kebijakan publik. Pada eksekutif melekat kewenangan
besar bagi jatuh bangunnya bangsa. Maju mundurnya negara tergantung dari
kepemimpinan eksekutif. Parlemen pun ada untuk fungsi kontrol kewenangan
eksekutif agar tidak koruptif. Kendati kekurangannya, demokrasi tetap sistem
terbaik untuk mengontrol (pemegang) kekuasaan.
Negara dilumpuhkan
Sudah lebih
dari 10 tahun, rakyat Indonesia memilih langsung kepala daerah sampai
presiden. Kendati kehidupan berdemokrasi lebih maju, Indonesia masih termasuk
dua pertiga dari 175 negara terkorup dengan skor di bawah 50. Indeks Persepsi
Korupsi 2014 yang dikeluarkan Transparency
International untuk Indonesia memberikan skor 34 (peringkat 107), setelah
dua tahun berturut-turut stagnan dengan skor 32 (peringkat ke-118 pada 2012
dan peringkat ke-114 tahun 2013).
Sedikit
perbaikan indeks korupsi ternyata berbanding terbalik dengan tren
peningkatannya. Menurut laporan Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch untuk semester I-2014, kepala daerah
yang menjadi tersangka korupsi berjumlah 25 orang (11 orang pada semester
I-2013). Tersangka korupsi berjumlah 659 (1.271 tersangka pada 2013 dan 1.157
tersangka pada 2010) serta kasus korupsi berjumlah 308 (560 kasus pada 2013
dan 448 kasus pada 2010).
Presidensialisme
sebenarnya membuat kedudukan eksekutif sangat kuat untuk mengeksekusi
kebijakan pro rakyat. Namun, kapasitas sosial negara tidak terlihat menyentuh
kepentingan rakyat. Nelayan kecil tidak menikmati bahan bakar minyak (BBM)
bersubsidi yang menjadi hak mereka. Di laut, mereka selalu kalah bersaing
dengan kapal-kapal besar (sebagian ilegal) yang bebas menguras kekayaan di
laut. Demi pendapatan asli daerah (PAD), izin eksplorasi tambang diobral.
Masyarakat di daerah pertambangan tetap miskin. Kerusakan lingkungan terjadi
secara masif. Negara gagal membangun perekonomian rakyat.
Eksekusi
negara kesejahteraan tidak efektif karena eksekutif bermain mata dengan
legislatif. Eksekutif merangkul parlemen dengan berbagi jatah proyek dan
fasilitas. Fungsi kritis legislatif dibuat jinak. Keduanya saling melayani
dan kompromi terjadi dalam penyusunan mata anggaran. Pos-pos anggaran negara
menjadi bancakan elite politik. Eksekutif melenggang nyaris tanpa kontrol.
Korupsi yang
sistematis, terstruktur, dan masif menggerogoti anggaran negara dan sumber
daya alam. Kepentingan partai terlalu jauh mencampuri urusan negara hingga
melumpuhkan kapasitas sosialnya. Rumah sakit daerah di Kabupaten Bangkalan
(Madura) pernah tidak mampu mengoperasikan peralatan medisnya hanya karena
ketiadaan listrik. Gas negara yang semestinya untuk pembangkit tenaga listrik
disalurkan bupati untuk swasta.
Merespons
situasi itu, sebagian elite partai politik hendak mengembalikan pemilihan
kepala daerah melalui DPRD. Alasannya, rakyat tidak mampu memilih langsung
calon kepala daerah yang baik.
Logika
politik tersebut mengabaikan fakta bahwa kepala daerah yang menjadi tersangka
korupsi notabene diusung (gabungan) parpol. Pertanyaannya, apakah rakyat
tidak mampu memilih ataukah tidak ada calon berkualitas? Faktanya, partai
masih lemah dalam kaderisasi. Dari beberapa kepala daerah yang baik, cukup
banyak di antaranya bukan orang partai. Partai sering menempuh jalan pintas
dan memanfaatkan tokoh yang sudah jadi. Mesin partai bekerja optimal melalui
politik pencitraan dan politik uang.
Deparlemenisasi
Belakangan
ini, rakyat sudah melek politik dan cenderung tidak memilih calon kepala
daerah yang diusung gabungan parpol kuat. Bahkan, ada calon nirpartai
(independen) akhirnya terpilih. Ada ketidakpercayaan rakyat terhadap parpol.
Terpilihnya pasangan presiden di tengah kepungan realitas politik di parlemen
dan mesin birokrasi yang memihak pasangan pesaing sesungguhnya bagian dari
efek deparpolisasi.
Deparpolisasi
seharusnya diikuti deparlemenisasi agar pemimpin rakyat tak tersandera
kepentingan parpol di parlemen. Wakil rakyat dalam praktiknya lebih cocok
disebut petugas partai. Mereka tanpa malu-malu memperjuangkan kehendak elite
partai, bukan kehendak rakyat. Demi kalkulasi kekuasaan, DPR lama dengan
cepat merevisi undang-undang yang mengatur dirinya sendiri dan tidak lama
kemudian undang-undang itu direvisi kembali oleh DPR baru (legislative review).
Dalam bahasa
yang halus, kekuatan politik nonpemerintah di parlemen berkoalisi untuk menjadi penyeimbang pemerintah.
Namun, koalisi itu hanya menjadi bagian dari teknologi kekuasaan yang
mengkhianati kepercayaan rakyat. Suara rakyat adalah untuk pemimpin eksekutif
dan wakil rakyat, bukan koalisi. Koalisi yang bernapaskan spirit demokrasi
liberal jelas bertentangan dengan demokrasi Pancasila. Fragmentasi politik
nasional kini menuai perpecahan di tubuh dua partai tua. DPR juga sibuk
dengan dirinya. Sementara itu, geliat pemerintahan baru memberikan
tanda-tanda kebangkitan negara. Keputusan berani terkait dengan subsidi BBM.
Politik anggaran ketat. Penghematan besar-besaran. Penataan ulang relasi
pusat dan daerah. Kebijakan tegas di laut. Evaluasi total Kurikulum 2013.
Eksekutif
sedang melawan adagium bahwa sistem presidensial dengan sistem multipartai
berpeluang untuk membuat pemerintahan tidak efektif. Mustahil meniadakan
peran dan pengaruh parpol dalam kehidupan bernegara. Namun, eksekutif tidak
boleh tunduk pada logika parlemenisasi. Eksekutif tak boleh berselingkuh
politik dengan legislatif dan tersandera politik gaduh.
Untuk itu,
tidak ada jalan bagi eksekutif untuk berkualitas dalam eksekusi dan
berintegritas dalam kepemimpinan. Eksekutif harus tegas dan konsisten
mengamankan anggaran negara untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
Namun, potensi koruptif yang harus diwaspadai justru akan datang dari parpol
pendukung. Kita masih perlu melihat apakah eksekutif mampu melampaui pamrih
kekuatan politik yang mendukungnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar