Kamis, 22 Januari 2015

Konsistensi Hukuman Mati

Konsistensi Hukuman Mati

Hikmahanto Juwana  ;   Guru Besar Hukum Internasional UI
MEDIA INDONESIA, 21 Januari 2015

                                                                                                                       


PELAKSANAAN enam pidana mati telah menuai protes dari beberapa negara yang warganya menjalani hukuman tersebut. Pemerintah Brasil dan Belanda yang kemudian diikuti oleh Nigeria telah memanggil pulang duta besar (dubes)nya untuk berkonsultasi.

Pemanggilan itu merupakan wujud ketidaksukaan mereka atas kebijakan yang diambil pemerintah meski mereka pasti memahami tidak mungkin memaksakan kehendak mereka kepada Indonesia.

Saat ini, Pemerintah Australia melalui Perdana Menteri Tony Abbott dan Menteri Luar Negeri Julia Bishop, secara intensif melobi pemerintah Indonesia. Baik Presiden Jokowi maupun Menlu Retno Marsudi agar dua warganya tidak dieksekusi mati dalam pelaksanaan hukuman mati berikutnya.

Bagi Indonesia, sikap Australia perlu dicermati secara ekstra meski tidak boleh sekali-sekali menghentikan konsistensi pelaksanaan hukuman mati.
Dalam situasi saat ini, pemerintah tidak punya alternatif lain selain terus konsisten dengan kebijakan pelaksanaan hukuman mati. Situasi point of no return alias tidak dapat kembali. Bagi Presiden Jokowi, ada empat alasan untuk menolak lobi dari pihak Australia.

Pertama, pelaksanaan hukuman mati merupakan masalah kedaulatan dan penegakan hukum di Indonesia. Hukuman mati bukanlah masalah kepentingan antarnegara yang berhadap-hadapan, seperti masalah perbatasan atau penyadapan yang ilegal. Pelaksanaan hukuman mati terkait dengan warga asing yang melakukan kejahatan di Indonesia yang berkonsekuensi pada penjatuhan hukuman mati.

Tidak ada di dunia ini negara yang akan membela warganya yang melakukan kejahatan di negara lain. Terlebih lagi kejahatan tersebut akan memengaruhi keberlangsungan negara tersebut di masa mendatang.

Selanjutnya, lobi patut ditolak karena pemerintah tidak ingin dianggap diskriminatif terhadap warga dari negara lain yang telah menjalani hukuman mati, seperti dari Belanda dan Brasil.

Bila terjadi inkonsistensi berarti harus dicarikan alasan untuk membenarkannya. Mencari suatu alasan untuk sesuatu yang tidak konsisten akan sangat sulit.
Bagi Presiden Jokowi, ada empat alasan untuk menolak lobi dari pihak Australia.
Pertama, pelaksanaan hukuman mati merupakan masalah kedaulatan dan penegakan hukum di Indonesia.

Hukuman mati bukanlah masalah kepentingan antarnegara yang berhadap-hadapan, seperti masalah perbatasan atau penyadapan yang ilegal. Pelaksanaan hukuman mati terkait dengan warga asing yang melakukan kejahatan di Indonesia yang berkonsekuensi pada penjatuhan hukuman mati.
Tidak ada di dunia ini negara yang akan membela warganya yang melakukan kejahatan di negara lain. Terlebih lagi, kejahatan tersebut akan memengaruhi keberlangsungan negara tersebut di masa mendatang.

Selanjutnya, lobi patut ditolak karena pemerintah tidak ingin dianggap diskriminatif terhadap warga dari negara lain yang telah menjalani hukuman mati, seperti dari Belanda dan Brasil. Bila terjadi inkonsistensi berarti harus dicarikan alasan untuk membenarkannya. Mencari suatu alasan untuk sesuatu yang tidak konsisten akan sangat sulit.

Ketiga, bila lobi dikabulkan Presiden Jokowi, presiden akan berhadapan dengan mayoritas publik Indonesia yang telah lama geram dan marah atas maraknya penyalahgunaan narkoba di Indonesia.

Bahkan, presiden harus berhadapan dengan publik yang menganggap pemerintah lemah di depan negara lain ketika kepentingan nasional menjadi taruhan. Publik akan menganggap presiden tidak mampu untuk memenuhi janji dalam visi misi dan gagal dalam menyerap aspirasi. Itu mengingat rakyat telah lama rindu akan kehadiran sosok pemimpin yang berani saat tekanan dari luar negeri datang.

Terakhir, bila ada inkonsistensi terkait kebijakan pelaksanaan hukuman mati dari Presiden Jokowi, itu akan menjadi bola liar bagi pihak-pihak yang berseberangan dengan presiden.

Dilakukan dengan baik

Saat ini hampir semua partai, baik yang terafiliasi pada Koalisi Merah Putih (KMP) maupun Koalisi Indonesia Hebat (KIH) mendukung kebijakan tegas Presiden Jokowi untuk melaksanakan hukuman mati. Namun, demikian ketegasan Indonesia menolak lobi Australia harus dilakukan secara baik. Mengapa?

Pertama, karena secara jarak Australia ialah tetangga Indonesia yang dekat. Ini berbeda dengan Brasil, Nigeria, dan Belanda. Kedua, hubungan kedua negara kerap diwarnai dengan berbagai isu yang berakibat pada naik turunnya (ups and downs) hubungan.

Ketiga, interaksi di tingkat masyarakat antarkedua negara sangat intens. Di sini perlu dihindari hubungan harmonis di tingkat masyarakat. Selanjutnya, baik di Australia maupun di Indonesia, para pejabat kerap mengambil kebijakan yang didasarkan pada reaksi publik. Bila publik menginginkan reaksi yang keras, pejabatnya akan bertindak keras.

Terakhir, sejumlah isu terkait Indonesia tidak jarang dijadikan komoditas politik oleh para politisi Australia, utamanya di masa-masa pemilihan umum. Itu dapat menjadi sumber ketenangan hubungan.

Oleh karena itu, sejumlah langkah perlu diambil pemerintah agar Australia tidak memberikan reaksi yang berlebihan, yaitu lebih dari pemanggilan pulang dubesnya untuk berkonsultasi.

Memang kedua pemerintahan bisa memainkan `ketergantungan' yang satu terhadap yang lain. Namun, bila itu yang dilakukan, permasalahan akan melebar dan tidak sesuai proporsi.

Dalam konteks demikian, pemerintah perlu mengambil inisiatif untuk mencegah rusaknya hubungan yang luar biasa sebagai dampak dari pelaksanaan hukuman mati.

Ada sejumlah langkah yang dapat diambil.

Pemerintah perlu secara intensif memberi informasi yang akurat kepada para pejabat Australia atas tindakan dua warganya hingga dijatuhi hukuman mati dan tidak mendapatkan pengampunan dari presiden.

Jangan sampai pemerintah Australia bereaksi keras tanpa mengetahui kejahatan yang dilakukan, terutama dampaknya terhadap Indonesia. Pemerintah melalui dubes, konjen, dan konsul di Australia, juga perlu melakukan tatap muka dengan publik Australia serta menjelaskan darurat narkoba yang dialami Indonesia. 
Dalam kesempatan tersebut disampaikan alasan mengapa hukuman mati harus dilaksanakan dan juga posisi sulit Indonesia di mata Brasil dan Belanda bila tidak konsisten dengan kebijakan pelaksanaan hukuman mati.

Intinya, para diplomat melakukan upaya untuk mengundang empati dari masyarakat Australia atas kondisi yang dihadapi Indonesia. Hal lain ialah pemerintah perlu memperhitungkan secara cermat waktu pelaksanaan hukuman mati terhadap dua warga Australia. Waktu yang tepat ialah waktu yang tidak berdekatan dengan pelaksanaan pemilu di Australia.

Bila sejumlah langkah ini dilakukan, hubungan Indonesia dengan Australia diharapkan tidak terpengaruh secara signifikan dalam pelaksanaan hukuman mati dua warga Australia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar