Ubah
Transformasi Arah Geopolitik Asia
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Senior
Kompas
|
KOMPAS,
24 Desember 2014
DALAM
kurun lima tahun mendatang, kita tidak akan melihat ”kebangkitan Tiongkok
yang damai” seperti pada awal abad ke-21. Selama lebih dari 35 tahun
pengembangan teknologi dan 20 tahun peningkatan anggaran belanja pertahanan,
kemampuan modernisasi maritim Tiongkok mulai menunjukkan perpecahan
geopolitik Asia, memicu secara cepat persaingan yang disebut Tiongkok sebagai
guojian xinxing daguo guanxi
(bentuk baru hubungan negara-negara besar).
Gagasan
rumusan para akademisi dan pemikir RRT tentang bentuk baru ini mengacu pada
penataan hubungan bilateralnya dengan AS sebagai kekuatan dominan yang selama
ini menyediakan payung keamanan kawasan Asia. Di sisi lain, konsep negara
besar ini telah mengaburkan lingkup geopolitik Asia dan condong meningkatkan
persaingan di kawasan.
Di sisi
lain, pernyataan Panglima TNI Jenderal Moeldoko pekan ini tentang TNI menjadi
”Big Brother” di ASEAN adalah pernyataan tidak cerdas dalam membaca realita
perubahan real politik Asia serta dampak masif atas perubahan geopolitik
kawasan secara menyeluruh. Ketidakcerdasan ini setidaknya bertentangan dengan
beberapa kenyataan. Pertama, globalisasi Asia menghadirkan distopia
elemen-elemen geopolitik perubahan yang sangat cepat (lihat kolom ini, Kompas, 25/8).
Kedua,
terintegrasinya Asia Tenggara ”merupakan
benteng dan pangkalan yang paling kuat” menghadapi pengaruh dan
intervensi luar kawasan seperti visi Jenderal Besar Soeharto dalam pidatonya
16 Agustus 1966, dan ini tidak berubah. Ketiga, politik bebas aktif kebijakan
luar negeri RI mengharuskan terciptanya suasana kondusif digelarnya kerja
sama secara maksimum, termasuk kerja sama militer dan pertahanan.
Keempat,
sentralitas dalam konektivitas kemaritiman Nusantara merupakan pilihan
kemandirian strategis Presiden Joko Widodo dalam politik Poros Maritim Dunia.
Kemandirian strategis harus menjadi jangkar dalam kesetimbangan struktur
kekuatan di kawasan, termasuk mengantisipasi perubahan hubungan negara besar,
seperti Tiongkok dan Amerika Serikat.
Strategi
kepentingan nasional banyak negara Asia dan geopolitik kawasan tahun 2015
berubah drastis karena beberapa faktor. Pertama, arsitektur keamanan Asia
akan mencari bentuk baru dalam gagasan berbagai aliansi ekonomi dan militer.
Kembalinya
kekuatan politik dalam negeri PM Shinzo Abe akan terus mendorong konsep
Kontribusi Proaktif bagi Perdamaian dan berhadapan dengan Yazhou Xin Anquan
Guan (Konsep Keamanan Baru Asia) gagasan Presiden Xi Jinping.
Kedua,
nilai dan norma hukum internasional mencapai momentum dasar proyeksi klaim
kedaulatan negara Asia, terutama klaim tumpang tindih di Laut Tiongkok
Selatan. Arbitrase Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut (ITLOS) akan
mentransformasi hubungan geopolitik kebekuan hubungan Tiongkok dan
negara-negara Asia atas klaim kedaulatannya.
Ketiga,
perubahan geopolitik akan mendorong aliansi ekonomi dan militer menuju
kesetimbangan dinamis dalam interdepedensi corak baru perebutan lingkup
pengaruh, berpotensi menihilkan eksistensi stabilitas kawasan. Dalam konteks
ini, Indonesia harus merefleksikan kepemimpinan kuat menjalankan kohesi ASEAN
bukan sebagai ”Big Brother”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar