Natal
dan Spiritualitas Keterlibatan
I Suharyo ; Uskup Keuskupan Agung
Jakarta
|
KOMPAS,
24 Desember 2014
YESUS lahir ketika Herodes berkuasa di wilayah
Yudea. Herodes disebut ”Agung” meskipun perilakunya sebagai penguasa sama
sekali tidak agung.
Istri
dan beberapa anaknya dibunuh karena dicurigai akan merongrong dan berbahaya
bagi kekuasaannya. Sekian banyak orang lain dihilangkan karena alasan yang
sama. Dalam rangkaian itu pula, ia memerintahkan pembunuhan anak-anak yang
berusia di bawah 2 tahun, termasuk di dalamnya Yesus, seperti tersua dalam
Injil Matius.
Belum
cukup berkuasa dengan teror, rakyat ditindas dengan pajak yang mesti
dibayarkan untuk memenuhi ambisinya melakukan pembangunan besar-besaran,
termasuk Bait Suci untuk mengambil hati rakyatnya. Akan tetapi, tetap saja ia
ditolak dengan berbagai alasan yang lain.
Ketika
ia meninggal, kerajaannya diwariskan kepada tiga anaknya. Salah satunya
bernama Arkhelaus yang mendapat bagian wilayah Yudea dan Samaria. Ternyata
Arkhelaus tak mampu mengendalikan rakyat yang tetap merasa tak puas. Oleh
karena itu, Pemerintah Romawi melengserkannya. Sejak itu wilayah Yudea dan
Samaria diperintah oleh seorang wali negeri Romawi.
Itulah
awal dari pemerintahan Romawi langsung atas wilayah tersebut, awal
pergolakan-pergolakan besar yang memuncak pada dihancurkannya kota Jerusalem
pada 70 M. Di tengah- tengah hiruk-pikuk kehidupan inilah Yesus lahir,
bertumbuh, dan pada waktunya tampil di depan umum.
Dalam
keadaan seperti itu rakyat merasa tak berdaya, bahkan putus asa. Mereka
menyebut diri sebagai bangsa terpilih, dibawa masuk ke tanah terjanji yang
mengalirkan susu dan madu. Namun, kenyataan—sosial, politik, ekonomi,
religius—amat jauh dari yang diharapkan. Dengan sendirinya muncul
penafsiran-penafsiran atas janji itu. Hasilnya adalah harapan yang kian kuat
akan datangnya tokoh hebat yang mereka sebut Mesias. Kedatangan Mesias akan
mengakhiri zaman yang berat ini dan akan membuka zaman baru. Ada pula
kepercayaan yang didasarkan pada keyakinan bahwa Nabi Elia akan datang
kembali sebagai tanda datangnya zaman baru itu.
Harapan
ini antara lain bermuara pada gerakan kerohanian baru dalam bentuk hidup
bertapa, menyepi di padang gurun, menarik diri dari dunia ramai sambil
menantikan Mesias dengan cara hidup khusus.
Yohanes
Pembaptis ikut dalam gerakan kerohanian baru ini meskipun ia tidak menarik
diri dari dunia ramai dan menjalani hidup secara khas. Rupanya gerakan
Yohanes ini menarik perhatian banyak orang. Maka, orang-orang bertanya,
”Siapakah engkau?” Yohanes menjawab, ”Aku bukan Mesias.” Mereka bertanya
lagi, ”Apakah engkau Elia?” Yohanes menjawab, ”Bukan.” Selanjutnya ia
mengatakan, ”Di tengah-tengah kamu berdiri Dia yang tidak kamu kenal.”
Hidup beriman baru
Secara
tersurat Yohanes tampaknya hanya menyangkal bahwa dirinya bukan Mesias dan
bukan Elia. Namun, di balik itu ada kritik tajam terhadap penghayatan
keagamaan yang lazim sampai saat itu. Tersirat pula ajakan untuk
mengembangkan pola hidup beriman yang baru. Seakan-akan Yohanes mengatakan,
tinggalkan model hidup keagamaan yang lama, mulailah yang baru.
Kebaruan
itu berakar pada ”Dia yang tidak kamu kenal”, yaitu Dia yang menjelma menjadi
manusia (inkarnasi). Dalam bahasa teologi Kristiani sekarang, semangat
hidup beriman yang baru ini disebut
spiritualitas inkarnatoris, yang dapat disebut juga spiritualitas
keterlibatan.
Spiritualitas
keterlibatan memiliki sekurang-kurangnya tiga ciri. Ciri pertama adalah
kontemplasi. Kontemplasi membuat mata hati semakin tajam dan nurani semakin
peka terhadap berbagai peristiwa dan pengalaman hidup. Kontemplasi juga
mendorong orang untuk tidak pernah puas dengan keadaan nyaman dan puas diri.
Melalui kontemplasi, suara dan kehendak Allah didengar dan dilihat dalam
kenyataan hidup yang riil.
Akan
tumbuh dan berkembang pula kompetensi etis bela rasa yang mendorong orang
untuk terlibat dalam hiruk-pikuk kehidupan dunia dan mengajukan pertanyaan
yang tidak akan pernah selesai dijawab, ”Apa yang harus kita lakukan agar
lingkungan kita menjadi semakin manusiawi?”
Ciri
kedua adalah kecerdasan budi yang terasah. Dunia kita, sebagaimana dunia yang
dimasuki oleh Yesus, tidak pernah merupakan realitas sederhana. Sebaliknya
realitas itu semakin lama semakin kompleks, terdiri antara lain dari berbagai
sistem yang dibangun dan mempunyai dinamikanya sendiri.
Dinamika
itu dapat dengan mudah bermuara pada struktur yang tidak adil, yang dalam
bahasa sehari-hari disebut mafia. Sistem-sistem serta struktur- struktur itu
semakin memaksakan tuntutannya dan mempertahankan diri dengan kekerasan.
Diperlukan kecerdasan yang terasah, keberanian, dan kerja sama untuk mengurainya dan
menawarkan jalan keluar.
Ciri
ketiga adalah gerakan, sebagai muara kontemplasi dan kecerdasan. Yohanes
mengajak pengikutnya melakukan gerakan pembaruan hidup amat nyata, yang
terarah pada tata hidup bersama yang semakin adil. Yesus pun pada titik
tertentu dalam hidupnya mulai mengaruskan gerakan Kerajaan Allah dengan
mempertaruhkan hidupnya demi terwujudnya kebenaran, keadilan, dan damai
sejahtera.
Harapan untuk Indonesia
Laporan
akhir tahun yang dimuat Kompas setiap hari selama beberapa hari (15-23
Desember) dan beberapa hari selanjutnya menceritakan dan menelaah berbagai
gerakan yang memberikan harapan untuk Indonesia yang semakin berkeadilan,
berkeadaban, dan sejahtera.
Laporan
itu mencerminkan nurani yang jernih, budi yang cerdas, dan keterlibatan yang
tidak kenal lelah. Perayaan Natal mewajibkan umat Kristiani untuk
mengembangkan spiritualitas keterlibatan karena Allah sendiri telah
menunjukkan keterlibatan-Nya dalam hidup manusia dengan segala realitasnya
yang amat kompleks dalam peristiwa kelahiran Yesus.
Selamat hari raya Natal dan selamat Tahun Baru
2015. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar