Tinggalkan
Mental Priayi
Bandung Mawardi ; Pengelola Jagat Abjad Solo
|
JAWA
POS, 03 Desember 2014
DI
Jakarta, 1 Desember 2014, Joko Widodo di hadapan ribuan orang memberikan pesan
berkaitan dengan etos kerja Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri). Zaman
dan penguasa telah berganti. Indonesia 2014–2019 diinginkan menjadi episode
kerja. Jokowi berseru agar para pegawai meninggalkan mental priayi, bermaksud
mengutamakan ejawantah tugas pokok dan fungsi. Kerja itu mulia ketimbang
’’mengemis’’ kehormatan mengacu kelas sosial. Pegawai adalah predikat bagi
orang bermental meladeni dan mengabdi kepentingan bangsa serta negara.
Pegawai bekerja demi publik tanpa pamrih imbalan atau popularitas.
Pesan
Jokowi gamblang, mengandung ingatan historis dan pemaknaan priayi pada zaman
mutakhir. Sang presiden mungkin tidak berniat ’’mengejek’’ atau
’’meremehkan’’ priayi, tapi menjelaskan kesigapan menanggapi situasi hidup.
Priayi itu kelas sosial, beraroma feodal-kolonial dan masa lalu. Indonesia
hari ini tidak memerlukan orang-orang bermental disembah atau dikultuskan
berdalih kelas sosial, berlatar kosmologi Jawa, dan sisa-sisa nalar birokrasi
kolonial. Kita bisa menerima penjelasan Jokowi sebagai perintah agar
Indonesia bergerak dan bekerja.
Semula,
julukan priayi memiliki ambiguitas makna pada awal abad XX. Di Jawa, priayi
menjadi tema pelik. Kalangan sarjana telah melakukan pelbagai studi tentang
sejarah dan perkembangan kelas sosial bercap priayi. Cliffor Geertz (1981)
menganggap pembentukan tatanan hidup kaum priayi berlangsung selama ribuan
tahun. Priayi menampilkan diri dengan busana, makanan, kesenian, bahasa, dan
profesi. Semua itu menentukan etiket serta pandangan hidup. Di Jawa, pembentukan
etiket priayi mengesahkan kehormatan dan kemuliaan. Priayi adalah manusia
hebat!
Kaum
priayi memiliki kedudukan penting, bergantung kekuasaan kerajaan dan
kolonial. Pada awal abad XX, kelas priayi berada di impitan pengabdian. Surat
kabar Darmo Kondo edisi 6 Januari 1908 memuat penjelasan jenis-jenis priayi.
Di Jawa, priayi yang bekerja pada raja dan kerajaan memperoleh sebutan ’’abdi
dalem’’ atau hamba raja. Priayi juga diekspresikan melalui intelektualitas
alias priayi terpelajar. Dulu, kelompok itu sering disebut ’’bangsawan
pikiran’’.
Kaum
priayi menganggap diri sebagai pembawa kemajuan bagi Jawa (Kuntowijoyo, 2004). Kita bisa menilik
sejarah peran kaum priayi mengawali agenda perubahan menuju kemajuan saat
membentuk Boedi Oetomo (1908). Organisasi pribumi itu khas bernalar priayi.
Mereka tampil sebagai pemuka untuk menggerakkan Jawa ke terang atau kemajuan.
Peran sosial-kultural juga memungkinkan kaum priayi berseru nasionalisme
serta kemodernan.
Priayi
memang ungkapan bergelimang makna. Di dunia jurnalistik dan politik, Tirto
Adhi Soerjo membuat gebrakan dengan menerbitkan Medan Prijaji, 1907. Priayi
untuk nama surat kabar menerangkan pengaruh besar kalangan priayi di Jawa
atau Hindia Belanda dalam urusan sosial, ekonomi, pendidikan, serta kesenian.
Edisi-edisi
Medan Prijaji sering memberitakan hal-hal kepegawaian sebagai jenis profesi
kaum priayi. Pembentukan organisasi, ekspresi profesi, dan terbitan surat
kabar menguak etos kerja kaum priayi. Pengabdian mereka cenderung mengarah ke
raja dan masuk ke jajaran birokrasi kolonial. Pengabdian ke dua pusat
kekuasaan memungkinkan mereka memupuk kehormatan.
Pola itu
berubah pada masa 1920-an. Kaum priayi mulai memahami kerja berkonsekuensi
sandang dan pangan ketimbang melulu kehormatan (Sartono Kartodirdjo, A. Sudewa, dan Suhardjo Hatmosuprobo, 1987).
Orientasi gaji dipentingkan dan diharapkan. Etos kerja mesti diekspresikan
ketimbang menanggung ilusi kehormatan dan karisma.
Sejak
abad XIX, pribumi memang bersaing mendambakan menjadi priayi melalui jalur
profesi serta birokrasi kolonial, tidak bergantung keturunan.
Koentjaraningrat (1984) menjelaskan, kesejarahan pekerjaan baru pada masa
kolonial turut membentuk ciri kelas priayi. Dulu priayi terpenting adalah
orang dengan kedudukan sebagai pegawai pamong praja dan kepala daerah
administrasi.
Semula,
sebutan untuk mereka adalah pangreh praja yang berarti golongan memerintah
negara. Sebutan berubah menjadi pamong praja berarti golongan mengelola
negara. Jenis-jenis pekerjaan priayi mendapat penjelasan lugas di majalah
Pewarta Priyayi, 1900. Pekerjaan modern mendefinisikan orang sebagai priayi
dan menjelaskan orientasi kemajuan.
Selama
puluhan tahun, kaum priayi mendefinisikan diri secara eksklusif. Sejarah itu
berubah setelah berakhirnya Perang Dunia II. Orang-orang mementingkan kerja
dan gaji dalam situasi kemerdekaan Indonesia. Priayi mulai jadi julukan
mengandung ejekan atau satire. Kaum priayi bermental feodal dan kolonial pun
jatuh gengsi oleh kemunculan kaum terpelajar dan birokrat yang mengacu ke
pemaknaan bangsa dan negara.
Situasi
politik mulai mengubah definisi priayi. Di Jawa, orang-orang masih
mendambakan menjadi priayi, tapi berisiko mendapat tuduhan-tuduhan sebagai
pendamba kehormatan, pemalas, dan kaum usang-lawas. Priayi pada masa Orde
Lama tetap menanggung risiko ’’diremehkan’’ saat Indonesia menjalankan
revolusi.
Kelas
priayi agak ’’terhormat’’ lagi saat Soeharto berkuasa. Priayi di jajaran
birokrasi perlahan mendefinisikan ulang sebagai orang terhormat. Mereka
adalah tukang perintah, minta diladeni, dan manja kehormatan. Di Indonesia,
kita mengenali mereka sebagai pegawai pemerintah, tapi tidak mengabdi atau
meladeni kepentingan-kepentingan publik.
Sekarang,
Jokowi memimpin Indonesia bermisi revolusi mental. Warisan mental priayi,
sejak masa kolonial sampai Orde Baru, dianggap menghambat perubahan dan
capaian pembangunan di Indonesia. Mental harus berubah, berpihak kepada kerja
ketimbang mabuk kehormatan bercap priayi. Mental berkuasa di kalangan pegawai
juga harus diganti menjadi mental melayani rakyat (Jawa Pos, 2 Desember 2014).
Jokowi berseru untuk meninggalkan mental priayi yang menjadi
’’keharusan’’ saat melihat birokrasi bergerak lambat. Dulu kita memberikan
sebutan priayi mengikuti makna-makna feodal dan kolonial. Sekarang sebutan
pegawai tampak mentereng, meski masih mengandung kemalasan. Sang presiden pun
tidak ingin Indonesia lungkrah karena kemalasan jutaan pegawai. Etos kerja
mesti diwujudkan demi pemuliaan bangsa dan negara. Kerja itu penting dan
utama ketimbang berilusi kehormatan. Sebutan pegawai berasal dari bahasa Jawa:
gawe yang berarti kerja. Pegawai
pun berarti orang yang melakukan kerja. Begitu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar