Teori
tentang Harga
Rhenald Kasali ; Akademisi, Praktisi Bisnis dan Guru Besar
Bidang Ilmu Manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
|
JAWA
POS, 15 Desember 2014
KALAU negeri
tak berdaya, bukalah teori tentang harga. Harga bukan untuk diobral,
melainkan untuk membentuk perilaku. Dan begitu teori tentang harga diabaikan,
akibatnya mudah dilihat.
Ambil
contoh jalan tol dalam kota di Jakarta. Alih-alih bebas hambatan karena
berbayar, ternyata kerap kali ia lebih macet daripada jalan biasa. Kata
orang, ada harga ada rupa. Harga yang pas akan menghasilkan kesenangan:
sama-sama untung. Harga yang kemurahan juga berakibat sama: sama-sama
buntung. Sudah membayar, masih mengumpat.
Tarif
tol itu terbentuk karena pertemuan dua hal ini: konsumen vokal yang menuntut
tarif murah dan pengambil keputusan yang populis. Memang murah, tapi opportunity cost-nya besar. Padahal,
apa susahnya mengatur harga? Bukankah pada jam-jam tertentu peminatnya tinggi
sehingga harganya bisa dibuat tiga kali lipat? Sebaliknya, pada jam-jam
kosong bisa diberi diskon.
Tampaknya
itu juga yang terjadi dengan harga BBM, listrik, dan tiket pesawat terbang
serta mungkin juga harga tahu dan tempe yang membuat produsennya semakin
susah hidup. Namun anehnya, itu tidak terjadi pada bunga bank, premi
asuransi, pulsa telepon, air mineral, rokok, atau segala barang dan jasa
buatan asing yang kita bayar dari keringat kita. Harga rokok sudah di atas Rp
15.000, namun tetap laku. Demikian juga air minum dalam kemasan yang makin
mahal.
Beberapa Contoh
Di
Indonesia, kita sudah lama mengidam-idamkan sistem ekonomi yang efisien. Pada
sistem itu, mekanisme pasar bekerja dengan sempurna. Harga terbentuk dari
penawaran dan permintaan.
Perusahaan
yang beroperasi pada sistem ekonomi seperti itu sehat. Artinya, pendapatan
selalu berada di atas biaya. Biaya dapat dikendalikan, namun harga jual dapat
disesuaikan dengan segmennya sehingga pembelinya loyal karena puas. Negara
membuka banyak pilihan agar terjadi kontrol harga yang layak. Misalnya harga
pertamax saja, yang begitu kemahalan, pembelinya beralih ke SPBU asing.
Saat ini
harga avtur buatan dalam negeri ternyata 15 persen lebih mahal ketimbang
harga bahan bakar avtur di luar negeri. Garuda melayani 600 penerbangan per
hari. Dengan harga itu, kebutuhan bahan bakar mencapai USD 1,8 miliar per
tahun. Komposisi biaya tersebut mencapai 35 persen–40 persen dari total biaya
operasional. Konon, harga avtur domestik mahal karena ia dibuat pada
kilang-kilang tua yang dulu untuk membuat minyak tanah. Dengan tingkat
kompleksitas yang rendah, kilang-kilang kita menjadi kurang efisien. Tetapi,
itu amat merugikan. Apalagi, tarif tiket pesawat (batas atas) diatur negara
sehingga harganya tak bisa dinaikkan mengikuti kenaikan biaya.
Akibatnya,
Garuda Indonesia saat ini terseok-seok. Pada semester I 2014, maskapai itu
merugi Rp 2,4 triliun. Selain harga avtur, melemahnya nilai rupiah juga
menjadi penyebab. Apalagi, sekitar 75 persen biaya operasional Garuda
menggunakan dolar AS.
Itu di
satu sisi. Di sisi lain, Garuda ternyata tak bisa menetapkan tarif
penerbangan sendiri. Ada aturan batas atas dari pemerintah. Padahal, konsumen
Garuda siap membayar dengan harga yang lebih tinggi asal layanan memuaskan.
Kalau harganya kemahalan, pilihannya pun sudah banyak. Tiap-tiap segmen akan
berkunjung pada pintu yang sesuai dengan daya beli dan ekspektasinya.
Indonesia
tentu harus menciptakan iklim usaha yang sehat. Apalagi menjelang ASEAN Economic Community (AEC). Kalau
tidak, kita hanya akan menjadi pasar. Sudah tak efisien, salah menerapkan
harga, tak membuka kompetisi yang sehat, lalu jasa-jasa yang harganya premium
hanya dinikmati asing. Itu sudah lama terjadi dalam jasa pelayanan kesehatan
tatkala pasien kelas atas berobat ke luar negeri.
Jangan Gebyah Uyah
Namun,
mekanisme pasar harus diimbangi dengan pelayanan publik yang baik. Negeri ini
masih membutuhkan pengaturan, terutama agar rakyat kecil tidak dikeluarkan
dari pasar. Tarif tinggi boleh saja ditujukan kepada segmen premium, tetapi
jangan memberikan kualitas buruk untuk rakyat yang diberi subsidi.
Saya
masih ingat saat menikmati subsidi di Amerika Serikat. Sebagai pembayar pajak
yang bergaji USD 1.500 (sebagai research
assistant), kami termasuk dalam kategori prasejahtera. Namun, saat
menikmati layanan kesehatan, kamar yang saya tempati bersebelahan dengan CEO
perusahaan terkenal. Kami bisa sama-sama menikmati layanan kesehatan premium.
Bedanya, biaya saya ditanggung negara. Itu terjadi di negeri kapitalis.
Kasus
itu tentu mengingatkan kita pada cara-cara subsidi yang masih jauh dari
harapan selama ini. Saat harga beras melambung, rakyat hanya diberi raskin
yang banyak batunya dan kurang layak dimakan. Rumah sakit rakyat juga hanya
sekelas puskesmas dan banyak sekolah rakyat yang hampir roboh, bahkan gurunya
pun honorer.
Semua itu menunjukkan bahwa teori harga belum benar-benar kita pahami.
Ada pasar, ada konstitusi. Keduanya harus bisa hidup berdampingan karena
tujuan negeri ini adalah kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat. Dan sekarang ada kebutuhan untuk meningkatkan keunggulan daya saing.
Dibutuhkan kebijaksanaan dan kewirausahaan untuk menata kehidupan saat
kesejahteraan kita tumbuh dengan tingkat yang beragam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar