Mengarungi
Turbulensi Ekonomi
Ahmad Erani Yustika ; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
|
MEDIA
INDONESIA, 15 Desember 2014
PEMERINTAHAN
Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) bergerak sigap mengatasi
sumbatan-sumbatan ekonomi yang dianggap sebagai penekan pembangunan.
Kebijakan cepat yang paling dramatis tentu menaikkan harga minyak (BBM).
Seperti diduga, keputusan itu memantik gelombang protes karena dianggap tidak
peduli dengan kepentingan rakyat. Meski pemerintah bilang kebijakan itu
justru membela kepentingan rakyat bawah (dengan argumen subsidi sebagian
besar dinikmati golongan kaya), itu tetap tak menyurutkan penolakan tersebut.
Dampak penaikan harga BBM yang paling terasa ialah membubungnya tarif
transportasi (publik) dan harga pangan yang memberatkan rakyat kecil. Di luar
itu, pemerintah telah memulai penyederhanaan izin investasi, mengatasi mafia
migas (dengan membentuk tim reformasi migas), melenyapkan pencurian ikan
(dengan cara membakar kapal ilegal yang tertangkap), penghematan anggaran
(mengurangi perjalanan dinas dan rapat di hotel), dan lain-lain.
Tekanan pertumbuhan ekonomi
Kesigapan
pemerintah itu cukup menjanjikan karena selama ini salah satu problem yang
menghambat pembangunan ialah lambannya pembuatan keputusan. Namun, kecepatan
itu mesti diimbangi panduan visi pembangunan seperti yang telah dicanangkan
pemerintah. Ulasan prospek ekonomi 2015 ada baiknya dimulai terlebih dulu
dengan mencermati perkembangan ekonomi terkini, khususnya lima tahun
terakhir. Pertumbuhan ekonomi sejak 2011 terus mengalami penurunan sebagai
dampak turbulensi ekonomi dunia. Indonesia sulit berkelit karena interaksi
yang pekat dengan negara lain, khususnya kawasan Asia, Eropa, dan AS. Pada
2014 pertumbuhan ekonomi diperkirakan hanya pada kisaran 5,1%; pertumbuhan
terendah sejak 2009. Konsumsi dan belanja pemerintah stabil dan menjadi
penyangga pertumbuhan ekonomi nasional, tetapi perdagangan (ekspor-impor) dan
investasi mengalami penurunan cukup tajam. Pada kedua variabel itulah agenda
pemerintah dipertaruhkan tahun depan.
Neraca
perdagangan defisit sejak 2012 yang bersumber dari empat sebab utama: i)
ekspor tertekan akibat krisis ekonomi global sehingga permintaan barang/jasa
berkurang; ii) harga komoditas primer anjlok, padahal ekspor Indonesia sangat
bergantung pada komoditas tersebut; iii) impor membengkak karena sebagian
bahan baku sektor industri tidak berbasis sumber daya domestik; dan iv)
kenaikan impor BBM karena permintaan domestik yang terus meningkat, sementara
produksi dalam negeri turun. Pada 2012 neraca perdagangan untuk pertama kali
defisit mencapai US$1,6 miliar dan meningkat menjadi US$4,07 miliar pada
2013. Sampai Oktober 2014 neraca perdagangan masih defisit US$1,6 miliar
(BPS, 2014). Situasi ekonomi dunia 2015 hanya membaik sedikit sehingga
kemampuan pemerintah mendongkrak ekspor sangat ditentukan tiga upaya ini: a)
memperbaiki struktur industri domestik sehingga lebih banyak komoditas olahan
yang dijual; b) diversifikasi negara tujuan ekspor; dan c) mengurangi bahan
baku impor dengan memanfaatkan sumber daya lokal.
Terkait
dengan investasi, pertumbuhannya memang menunjukkan penurunan sejak 2011,
seperti yang juga terjadi pada pertumbuhan ekonomi. Pada 2010 PMA (penanaman
modal asing) tumbuh 49,9% dan turun menjadi 16,5% (2013). Hal yang sama juga
terjadi pada PMDN (penanaman modal dalam negeri), dengan pada 2010 tumbuh 60,3%
dan turun menjadi 39% (2013). Realitas pahit itu masih ditambah dengan
inefisiensi investasi yang terus meningkat dilihat dari indikator ICOR
(incremental capital output ratio). Pada 2010 ICOR masih pada kisaran 4,1,
tetapi pada 2013 telah melonjak menjadi 4,5 (BKPM dan BPS 2010-2013, diolah).
Pemerintah merespons penurunan investasi (khususnya PMA) dengan mengundang
secara intensif investor asing dalam berbagai forum internasional. Pemerintah
harus hati-hati dengan langkah itu sebab bisa bertabrakan dengan janji
kemandirian ekonomi pada masa kampanye. Sementara itu, efisiensi investasi
akan diperbaiki dengan pembangunan infrastruktur secara masif.
Reformasi fiskal
Di luar
urusan perdagangan dan investasi, pemerintah disibukkan perkara reformasi
fiskal. Anggaran negara ini selama ini mengidap masalah inefisiensi belanja
dan inoptimalisasi penerimaan. Di luar itu, alokasi belanja salah arah dan
efektivitas program amat diragukan keberhasilannya meskipun penyerapan
sebagian program telah mencapai 100%. Tengok saja fakta ini. Pada 2005,
belanja modal 6,45% dari APBN (2005) dan naik menjadi 10,96 (2013); subsidi
energi 20,50% (2005) turun menjadi 18,15% (2013); dan pembayaran utang 12,79%
(2005) anjlok menjadi 6,85% (2013). Alokasi belanja birokrasi (belanja
pegawai dan barang) sebesar 16,37% dan melonjak menjadi 23,71% pada 2013
(LKPP 2005-2013, diolah). Data itu menarik sebab alokasi belanja modal
meningkat, pembayaran utang turun separuh persentasenya, subsidi energi
relatif stabil, tapi kenaikan belanja birokrasi melesat. Oleh karena itu,
reformasi fiskal tahun depan harus menyasar belanja birokrasi secara
signifikan.
Sektor
keuangan juga menjadi tantangan yang lumayan berat bagi pemerintah karena
selama ini mereka menikmati kebijakan yang longgar. Sektor perbankan
dibiarkan asyik menyantuni sektor non-tradeable
sehingga sektor riil hanya mendapatkan jatah kredit yang sangat kecil (terus
turun dalam 10 tahun terakhir, khususnya ke sektor industri). Tidak
mengherankan apabila keadaan itu menyebabkan sektor industri sesak napas
akibat asupan dana yang seret. Sebaliknya, sektor perbankan terus memupuk
laba yang fantastis karena mengenakan suku bunga kredit yang tinggi,
sedangkan bunga deposito cukup rendah. Di antara negara-negara ASEAN net interest margin (NIM) perbankan di
Indonesia sangat tinggi, pada kisaran 5,6%; padahal di negara lain di bawah
3%. Tahun lalu NIM sudah agak turun, tapi masih di kisaran 4,8%. NIM yang
tinggi itu sangat mungkin juga dimaksudkan untuk menutup inefisiensi
operasional perbankan, yang tahun lalu sekitar 74% (padahal idealnya
40-60%).
Terakhir,
tentu saja pemerintah harus berjibaku menuntaskan soal-soal yang tak terkait
langsung dengan urusan ekonomi, tetapi pengaruhnya sangat besar. Pertama,
stabilitas politik menjadi pertempuran karena bisa menjadi pengganggu
efektivitas pemerintah, baik terkait anggaran maupun produksi/eksekusi
kebijakan. Kasus di Thailand merupakan contoh paling tampak sehingga banyak
investasi yang lari dari negara tersebut. Kedua, inefisiensi birokrasi mesti
dibenahi secara sistematis karena selama ini menjadi benalu ekonomi.
Birokrasi bukan hanya menggerogoti anggaran, melainkan juga pelayanan publik
yang seret, seperti izin usaha yang lama, mahal, dan rumit. Ketiga, korupsi
menjadi faktor disalokasi sumber daya ekonomi, baik terkait langsung dengan
anggaran maupun kebijakan yang salah arah. Efek jera tak juga muncul meski
pejabat puncak telah banyak yang menjadi tersangka, seperti menteri,
gubernur, dan bupati. Sebagian kekarut-marutan perkara ekonomi tersebut
terhubung dengan soal korupsi itu.
Proyeksi ekonomi 2015
Dengan
melihat tantangan tersebut, baik domestik maupun luar negeri, harapan
pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 6% rasanya berat sekali.
Pertumbuhan ekonomi 2015 hanya akan berada pada kisaran 5,3-5,6%. Investasi
belum akan meningkat tajam tahun depan, demikian pula ekspor. Dari sisi
investasi, peningkatannya disumbangkan dari kepastian usaha dan izin usaha
yang lebih baik. Keduanya bisa diperbaiki cukup cepat. Sementara itu, investasi
belum dapat digenjot dari perbaikan infrastruktur yang baru akan mulai
dibangun tahun depan. Beberapa infrastruktur mungkin sudah selesai akhir
tahun depan sehingga baru dapat dilihat dampaknya pada 2016. Bahkan, beberapa
infrastruktur butuh waktu pembangunan yang lama karena menyangkut persiapan
(pembebasan lahan) dan pengerjaan yang lama. Hal yang sama juga terjadi pada
ekspor, dengan penguatan struktur industri butuh waktu karena proses
pengolahan memerlukan aneka insentif yang membutuhkan tempo penyiapannya.
Inflasi
2015 juga masih tinggi pada kisaran 6%-7%. Inflasi tersebut terseret dari
gelombang penaikan harga BBM beberapa waktu sehingga dampaknya masih akan
terasa pada Januari-Februari 2015. Pengaruh depresiasi rupiah juga menjadi
faktor pemicu inflasi dari sisi impor. Impor Indonesia masih cukup tinggi
untuk keperluan bahan baku dan itu menyebabkan harga barang menjadi mahal.
Jika itu terus terjadi, tingkat suku bunga (kredit) tidak bisa diturunkan
sehingga makin menekan investasi. Oleh karena itu, pemerintah harus berjibaku
menjaga inflasi agar tidak lebih tinggi dari 7%. Selebihnya, nilai tukar
sepanjang 2015 akan berada di kisaran Rp11.800-Rp12.250. Pemerintah punya
ruang untuk memperkuat rupiah asalkan defisit transaksi berjalan bisa ditekan
(baik dari sumber neraca barang, jasa, maupun modal), inflasi dapat
dimitigasi secara baik, dan instabilitas sektor keuangan dihindari. Itu tentu
saja pekerjaan yang tak mudah di tengah awan turbulensi ekonomi global.
Situasi
itu menyebabkan prospek penurunan kemiskinan dan pengangguran juga tak
terlampau bagus. Kemiskinan pada awal tahun depan (Maret 2015) mungkin naik
tipis pada angka 11,4% (tahun lalu 11,25%). Kenaikan itu lebih banyak
disumbang kebijakan penaikan harga BBM dengan dampak ikutan kenaikan inflasi.
Sementara itu, angka pengangguran yang saat ini 5,7% (Februari 2014) agak
sulit diturunkan tahun depan apabila pertumbuhan investasi masih tertahan.
Dengan prospek pertumbuhan ekonomi sekitar 5,3-56%, pengangguran
mungkin hanya akan turun tipis menjadi 5,5%. Dengan situasi tersebut, amat
disarankan pemerintah memprioritaskan pembangunan sektor pertanian dan
industri padat karya. Kedua sektor itu memiliki elastisitas yang tinggi
terhadap penciptaan lapangan kerja sehingga efektif menurunkan kemiskinan dan
pengangguran (juga ketimpangan). Pilihan kebijakan pemerintah memang tidak
banyak, tapi selalu ada jalan keluar dari belitan masalah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar