Sepuluh
Tahun Tsunami :
Kami
Akan Selalu Mengenangnya
Moazzam Malik ; Duta Besar Inggris untuk Indonesia
|
KORAN
SINDO, 27 Desember 2014
Tak
terasa 10 tahun telah berlalu. Minggu pagi kelabu 26 Desember 2004 akan
selalu dikenang oleh dunia. Hantaman gelombang Tsunami yang meluluhlantakkan
Provinsi Aceh menggemparkan masyarakat internasional, tak terkecuali kami
yang tinggal di Inggris.
Masih
tergambar dengan jelas melalui liputan dan pemberitaan media tentang kondisi
Aceh beberapa jam pascatsunami. Ratusan ribu korban jiwa berjatuhan,
infrastruktur yang hancur sama rata dengan tanah, harta benda dan mata
pencaharian yang punah-sungguh sebuah pemandangan yang memilukan! Siapa pun
akan meneteskan air mata melihat, mendengar dan mengamati bagaimana terjangan
gelombang tsunami memorak-porandakan provinsi yang terletak di bagian barat
Indonesia itu.
Bantuan
pun tiba. Dunia bersatu bahu-membahu membantu melewati masa tersulit yang
dihadapi saudara-saudara kami di Aceh. Segera setelah akses dibuka untuk
masyarakat internasional, Inggris mengirimkan tim tanggap darurat tiga hari
setelah tsunami menghantam bumi Nanggroe. Total 13 pesawat dikerahkan Inggris
untuk membawa bantuan vital yang mendesak ke Indonesia.
Jumlah
bantuan 55 juta poundsterling dialokasikan untuk usaha tanggap darurat di
Aceh melalui Departemen Pembangunan Internasional (DFID) yang mewakili
Pemerintah Inggris dalam memimpin operasi ini. Setelah itu Inggris kembali
menyetujui pendanaan lebih lanjut sebesar 59,2 juta poundsterling untuk
proses rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh.
Tiga
area yang kami fokuskan saat itu termasuk mata pencarian, manajemen keuangan,
serta resolusi konflik. Bantuan kami disalurkan untuk sektor-sektor penting
seperti persediaan makanan, pelayanan penyiaran, dan membangun perumahan baru
bagi mereka yang kehilangan tempat tinggal.
Pendanaan
tersebut juga dialokasikan untuk membantu pembangunan berbasis komunitas,
pelayanan kesehatan mental dan menyediakan pembangunan kapasitas bagi sistem
peradilan yang berhubungan dengan pelayanan perlindungan anak. Sejumlah
menteri dan pejabat pemerintahan Inggris yang terlibat dalam program bantuan
tsunami satu-persatu datang mengunjungi Aceh.
Mereka
datang untuk memberikan bantuan moral dan mengevaluasi efektivitas dana
bantuan yang dikucurkan, memastikan masyarakat Aceh mendapatkan bantuan yang
sesuai guna memperbaiki kehidupannya pasca tsunami. Hampir sepuluh tahun yang
lalu, saya yang menjabat sebagai Sekretaris Pribadi Bapak Hilary Benn,
Menteri Pembangunan Internasional Inggris saat itu, menginjakkan kaki untuk
pertama kalinya di tanah Aceh.
Kami
tiba di Aceh dengan pesawat militer Inggris membawa bantuan keperluan
mendesak yang akan digunakan dan dibagikan oleh PBB. Kami mengunjung i
area-area yang terkena dampak tsunami dan berbicara dengan para korban serta
perwakilan-perwakilan PBB dan DFID di lapangan. Kami sering mengunjungi
daerah-daerah yang terkena bencana dan melihat kehancuran.
Namun
yang terjadi di Aceh sungguh mengejutkan, semua infrastruktur porak-poranda
dan yang tersisa hanya puing-puing berserakan, menunjukkan betapa dahsyatnya
hantaman tsunami. Dari Banda Aceh kami bertolak ke Medan dan bertemu dengan
tim DFID Inggris dan mendiskusikan langkahlangkah selanjutnya serta
menjadikan Medan sebagai pusat kendali operasi bantuan tsunami dari Inggris.
Proses
rekonstruksi pun dimulai. Namun, masyarakat Aceh sadar bahwa situasi yang
kondusif diperlukan guna kelancaran proses rekonstruksi pascatsunami dan
konflik berkepanjangan di Aceh harus dihentikan, untuk sekarang dan
selamanya. Selama kurang lebih tiga puluh tahun masyarakat Aceh hidup dalam
ketakutan dan ketidaknyamanan.
Bencana
tsunami semakin memperburuk kondisi kehidupan akan tetapi malapetaka ini juga
menjadi pendorong kuat untuk menciptakan perdamaian. Inggris yang saat itu
menjadi Presiden Uni Eropa kembali terlibat dalam proses perdamaian Aceh.
Misi Pemantauan Aceh (Aceh Monitoring Mission) yang diprakarsai oleh Uni
Eropa dan ASEAN dikirim ke Aceh sebagai mediator perjanjian perdamaian antara
Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka.
Proses
rekonstruksi pascatsunami dan rekonsiliasi antara kedua kubu yang bertikai
berjalan beriringan, dengan berbagai pihak terlibat di dalamnya, bekerja
sama, bernegosiasi dan mencari jalan yang terbaik dan mengedepankan persatuan
dan kesatuan. Proses yang tidak mudah untuk dilalui tetapi sepadan dengan apa
yang seharusnya dinikmati oleh masyarakat Aceh yaitu perdamaian dan
kesejahteraan yang abadi.
Inilah yang diharapkan oleh seluruh pihak yang terlibat dalam proses
perdamaian. Sepuluh tahun bagaikan sekejap mata namun dalam kurun waktu
tersebut masyarakat Aceh semakin kuat berdiri, melewati trauma tsunami dan
kekejaman konflik dengan hati yang lebih terbuka dalam kondisi damai serta
berpartisipasi dalam pembangunan menuju Aceh yang adil dan makmur. Dunia
tidak akan pernah lupa dengan Nanggroe Aceh Darussalam. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar