Menanti
Gebrakan Riset Perguruan Tinggi
Rakhmat Hidayat ; Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ);
PhD Lulusan Universit Lumire Lyon 2 France
|
KORAN
SINDO, 27 Desember 2014
Secara
resmi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) sudah dipisahkan
dari naungan Kemendikbud dan berada di bawah tanggung jawab Kemenristek yang
kemudian nomenklaturnya berubah menjadi Kemenristek-Dikti.
Sebelum
perubahan ini, banyak akademisi yang mendesak agar Dikti dikelola satu atap
dengan Ristek dan desakan tersebut direspons oleh Pemerintahan Joko Widodo.
Saya kira poinnya adalah masyarakat kampus sepakat bahwa Dikti harus
dikolaborasikan dalam kebijakan Ristek agar lebih memiliki dampak dan manfaat
nyata dan memiliki koneksitas dengan dunia industri.
Setelah
pelantikan Kabinet Kerja kemudian dilanjutkan dengan serah terima jabatan
Kemenristek- Dikti, kini saatnya kita menagih gebrakan dan terobosan yang
akan dilakukan kementerian ini dalam mengakselerasi kebijakan Dikti dalam
naungan Kemenristek-Dikti. Kata kuncinya adalah perguruan tinggi, riset, dan
dunia industri.
Menristek-Dikti
Dr Nasir menuturkan, agenda pertama kementeriannya setelah pelantikan adalah
reorganisasi yang menekankan bahwa penggabungan Dirjen Dikti akan berjalan
lancar tanpa memberikan efek kepegawaian. Menteri menargetkan reorganisasi
akan selesai pada akhir Desember 2014.
Terkait
reorganisasi tersebut, Menteri Nasir mengatakan bahwa pegawai di Kementerian
Ristek dan Dirjen Dikti tak perlu khawatir. Sesuai arahan Presiden, Menteri
Nasir mengatakan akan menggunakan sumber daya yang ada untuk segera memulai
program. Tahun 2014 akan berakhir dan masa reorganisasi Kemenristek-Dikti
juga akan segera selesai.
Tahun
2015 adalah waktu di mana realisasi program-program riset perguruan tinggi
yang dinantikan seluruh pemangku kepentingan pendidikan tinggi. Ini sekaligus
menjadi ekspektasi kita pada 2015 dalam menunggu terobosan riset di perguruan
tinggi.
Globalisasi
Pernyataan Gerard Delanty benar dalam bukunya, Challenging Knowledge;The University in The Knowledge Society
(2001), bahwa saat ini universitas berada di antara globalisasi dan
kapitalisme akademik. Ketika menjelaskan tema ini, Delanty mengatakan bahwa
universitas mengalami transformasi yang sangat pesat.
Pertama,
universitas, sebagaimana perspektif konvensional, hanya dianggap sebagai agen
utama produsen pengetahuan. Hari ini cara pandang itu perlahan-lahan mulai
terbantahkan. Bahwa sebagai konsekuensi logis globalisasi, universitas bukan
satu-satunya otoritas tunggal produsen pengetahuan.
Selain
universitas terdapat korporasi atau media yang juga kian diperhitungkan
sebagai produsen pengetahuan. Kedua, saat ini universitas semakin
terintegrasikan dengan dunia global. Universitas mengalami persinggungan di
antara transnasionalisasi komunikasi, pasar, dan modal. Membaca konteks
Indonesia dengan cara pandang Delanty rasanya sangat tepat.
Sebagai
bagian dari komunitas global, universitas di Indonesia juga berada dalam
kondisi yang sudah dijelaskan Delanty. Dalam praktiknya, kita melihat apa
yang disampaikan Delanty, yaitu universitas berada dalam ranah globalisasi.
Meski tesis
Delanty relevan dalam melihat posisi universitas di Indonesia dalam ranah
globalisasi, kondisi Indonesia masih berkutat dengan setumpuk masalah yang
tak kunjung usai. Seolah kita melihat wajah universitas berada dalam posisi
yang paradoks. Di satu sisi berada dalam akselerasi globalisasi, di sisi lain
masih menghadapi berbagai persoalan internal.
Politik Pendidikan
Paling tidak
ada dua masalah utama yang sangat prinsip dalam diskursus universitas di
Indonesia. Pertama, kita masih terjebak dengan riuh politik pendidikan yang
menjadi acuan pengelolaan universitas. Energi republik ini terkuras habis
dalam memikirkan polemik otonomi versus komersialisasi pendidikan.
Dari UU BHP
hingga UU Pendidikan Tinggi. Benang merahnya sama: komersialisasi masih
dianggap sebagai momok menakutkan dalam manajemen universitas. Otonomi
dianggap sebagai zombi yang menyeramkan bagi masa depan universitas. Muncul
resistensi dari berbagai kalangan terhadap kebijakan otonomi bagi
universitas. Padahal, secara filosofis, otonomi selalu melekat dalam sosok
universitas.
Deklarasi
Bologna 18 September 1988, yang kemudian dikenal dengan Magna Charta Universitatum,
dengan tegas menyebutkan otonomi sebagai prinsip fundamental universitas.
Otonomi dari sistem politik dan birokrasi yang ada di sekitarnya. Polemik
komersialisasi yang terjadi selalu terkait dengan posisi universitas.
Rasanya tema
selalu bermuara pada perdebatan yang sangat panjang dan melelahkan. Padahal,
banyak energi lain yang sejatinya dapat diselesaikan sesegera mungkin.
Polemik komersialisasi mencerminkan juga politik pendidikan sebagai salah
satu masalah krusial dalam pendidikan di Indonesia.
Peran negara
tetap saja tak terbantahkan memiliki kekuatan strategis dalam merumuskan
berbagai kebijakan pendidikan. Alhasil, seringkali universitas harus
melakukan berbagai cara dan mekanisme sebagai strategi merespons globalisasi.
Universitas ”dipaksa” melakukan berbagai pola adaptasi melalui berbagai cara.
Salah satu di
antaranya peningkatan kapasitas dan perubahan manajemen. Karut-marutnya
pendidikan tinggi Indonesia bisa jadi disebabkan tidak jelasnya visi politik
pendidikan yang dijalankan di negeri ini. Negara masih dominan dalam
manajemen universitas. Tawarannya adalah mempertegas sekaligus ”meluruskan”
politik pendidikan dalam konteks Indonesia.
Masalah Riset
Masalah lain
yang sangat penting adalah riset universitas. Ada dua hal penting terkait
riset. Pertama , pemanfaatan hasil penelitian untuk pengembangan pendidikan
masih lemah. Penelitian harusnya menjadi faktor utama dalam proses
pengambilan kebijakan. Di negara maju, apa pun kebijakan diambil tidak akan
ditempuh tanpa penelitian ilmiah yang valid.
Kedua,
terkait dengan minimnya anggaran untuk riset. Kita masih jauh tertinggal dari
segi alokasi dana riset dibandingkan dengan negara-negara seperti China,
Korea, Jepang, India, dan Brasil. Jepang bahkan memiliki anggaran riset
teknologi terbesar kedua di bawah Amerika Serikat. Selain itu, negara-negara
berkembang lain seperti Brasil dan India juga sangat mendukung pertumbuhan
investasi untuk riset dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologinya.
Bagi
universitas, riset menjadi penggerak penting kemajuan ilmu pengetahuan.
Budaya dan peradaban universitas tak bisa hanya dilakukan ibarat business as usual , yaitu dengan
mengutamakan pengajaran konvensional. Menurut data Dirjen Dikti, universitas
adalah sumber penting penelitian dan pengembangan.
Lebih dari 50
persen penelitian dasar yang menghasilkan terobosan pemikiran dilakukan oleh
universitas. Ini sekaligus menjadi kritik bagi universitas dalam memacu
produktivitas riset yang bermanfaat bagi kehidupan. Apa yang harus dilakukan
untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas riset perguruan tinggi? Menurut
hemat saya ada beberapa hal yang harus dilakukan.
Pertama,
tentu saja menambah jumlah anggaran riset untuk perguruan tinggi yang
mencakup seluruh disiplin maupun multidisiplin. Dalam hal ini penyebaran
anggaran harus merata dan tidak termonopoli oleh satu disiplin tertentu.
Kedua, terbuka lebarnya akses dan informasi forum-forum internasional berupa
konferensi, seminar, workshop,
fellowship, short course, yang mendukung kapasitas dosen dan peneliti
Indonesia untuk mengembangkan kemampuan meneliti atau mengajar serta
mendapatkan pengalaman internasional.
Kesempatan
ini juga agar bisa diprioritaskan kepada peneliti/dosen muda yang memiliki
kemampuan dan prestasi. Selama ini faktanya forum-forum internasional banyak
didominasi oleh akademisi senior, sementara akademisi muda masih terbatas
kesempatannya. Ketiga, memberikan suasana dan iklim kondusif dalam
mengembangkan kualitas riset.
Ini bisa
dilakukan dengan pemberian insentif maupun penghargaan yang memacu
produktivitas hasil riset. Penghargaan bisa diberikan pemerintah, dunia
swasta maupun dunia industri. Di Amerika Serikat terdapat sebuah SMA yang
bernama Bronx High School of Science.
Sekolah ini berada di kawasan New York.
Seperti
diberitakan BBC News, sekolah ini menghasilkan delapan alumni yang menjadi
pemenang Nobel dalam bidang fisika dan kimia sejak 1972. Sekolah ini memiliki
program andalan dalam bidang sains. Bahkan, banyak ilmuwan muda yang tertarik
mendaftar di sekolah tersebut. Tentu dengan seleksi yang sangat ketat.
Jika sekolah
di Amerika Serikat bisa menghasilkan alumninya yang mendapatkan Nobel,
seharusnya menjadi motivasi bagi universitas yang ada di Indonesia untuk
melakukan hal yang sama. Kita tidak kalah dalam hal sumber daya manusia.
Banyak ilmuwan Indonesia lulusan terbaik dari luar negeri.
Mereka punya
prestasi cemerlang ketika di luar negeri. Saatnya membuktikan bahwa
universitas menjadi ujung tombak dalam pengembangan riset dan teknologi.
Tidak sekadar sibuk mengurus perdebatan yang sangat melelahkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar