Politik
Kuomintang Bertekuk Lutut
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
03 Desember 2014
Partai
Nasionalis Kuomintang yang berkuasa di Taiwan mengalami kekalahan telak di
sejumlah kota besar dan kabupaten dalam pemilu lokal, akhir pekan lalu.
Presiden Taiwan Ma Ying Jeou juga mengundurkan diri sebagai Ketua Kuomintang
karena kekalahan ini. Di lingkungan pemerintahan, Perdana Menteri Jiang Yi
Huah beserta seluruh jajaran kementerian juga mengundurkan diri dari jabatan.
Kekalahan
telak Kuomintang dari kelompok oposisi Minchintang (Partai Progresif
Demokratik/DPP) menyebabkan Kuomintang kehilangan posisi pimpinan di lima
dari enam kota besar. Bahkan, calon Kuomintang untuk kandidat wali kota
Taipei, Lian Sheng Wen atau Sean Lien, putra mantan PM Lien Chan, kalah telak
melawan calon independen, Ko Wen Je.
Hasil
pemilu lokal Taiwan ini menunjukkan beberapa hal penting saat rakyat Taiwan
yang berjumlah 23 juta orang jenuh dengan kekuasaan Kuomintang, yang menjadi
katalisator penting hubungan dengan para penguasa di Beijing. Pertama,
ketergantungan ekonomi Taiwan atas RRT menjadi terlalu tinggi, tak mampu
meredam pengaruh RRT akibat hubungan yang terlalu terbuka. Hal ini tidak
hanya meningkatkan lalu lintas orang dari daratan Tiongkok ke Taiwan, tetapi
juga pengaruh ekonomi yang mulai bersaing dengan aktivitas ekonomi lokal.
Kedua,
frustrasi yang tinggi di kalangan generasi muda Taiwan seiring peningkatan
kesadaran politik, menghadapi masa depan yang terancam di bawah lingkup
pengaruh Tiongkok yang melebur dalam sejumlah aspek kehidupan Pulau Taiwan.
Tai Yang Hua Hsueh Yun (Gerakan Mahasiswa Bunga Matahari) pada Mei lalu
menduduki parlemen Taiwan merupakan pengejawantahan politik generasi muda
yang mulai mempertanyakan identitas ke-tionghoa-an dalam peradaban global
Tiongkok berhadapan dengan Taiwan yang mencari jati diri.
Kedua
hal ini menjadi faktor pendorong kekalahan Kuomintang dan mengancam
legitimasi kekuasaan dalam pemilihan presiden tahun 2016. Banyak pengamat
pesimistis, apakah Kuomintang yang memiliki legitimasi sejarah berbicara
dengan Partai Komunis Tiongkok mampu menjalin kedekatan menyelesaikan ”satu
Tiongkok”, apa pun interpretasi di dalamnya.
Ada beberapa
faktor yang bisa dipertimbangkan. Pertama, Presiden Tiongkok Xi Jinping harus
bertemu Presiden Ma di Taiwan sebagai bagian dari strategi front persatuan
merebut simpati politik akibat kekalahan Kuomintang. Kesamaan kebudayaan dan
peradaban seharusnya mampu meredam upaya manipulasi politik kemerdekaan,
integrasi, maupun reunifikasi.
Kedua,
legitimasi Kuomintang sebagai partai politik tertua di Asia yang
menggulingkan Dinasti Qing ternyata tidak mampu menghadirkan kejayaan Taiwan
bentukan Sun Yat Sen, berhadapan dengan hak nasional penentuan nasib sendiri
yang tecermin dalam pemilu lokal Taiwan. Ketergantungan terhadap Tiongkok
menyebabkan perekonomian Taiwan stagnan, kehilangan entitas kekuatan ekonomi
dan industri, ataupun miskin dalam pemikiran politik domestik, regional, dan
global tanpa upaya mendobrak dominasi politik ”satu Tiongkok”.
Taiwan adalah korban Perang Dingin dan dominasi Amerika Serikat yang
menjadi pelindung utamanya berhadapan dengan komunisme di daratan Tiongkok.
Ketika arsitektur keamanan, politik, dan ekonomi di kawasan Asia berubah,
Taiwan masih terkungkung dalam paradigma lama ketergantungan pada kekuatan
luar kawasan. Lingkungan regional memaksa generasi muda Taiwan memilih
jalannya sendiri, termasuk membuat Kuomintang bertekuk lutut dalam politik
demokrasinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar