Meragukan
Kesungguhan ARB
Bawono Kumoro ; Peneliti Politik The Habibie Center
|
SINAR
HARAPAN, 17 Desember 2014
Sesaat
setelah terpilih kembali sebagai ketua umum dalam Musyawarah Nasional (Munas)
IX Partai Golongan Karya (Golkar) di Bali beberapa hari lalu, Aburizal Bakrie
(ARB) mengeluarkan arahan politik agar Fraksi Partai Golkar di Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) menolak Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang
(Perppu) Nomor 1/2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Perppu
Nomor 1/2014 dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada akhir
masa jabatan September lalu, sebagai respons atas pemberlakuan Undang-Undang
(UU) Nomor 22/2014, bahwa pelaksanaan pilkada dikembalikan kepada DPRD.
Menurut rencana, DPR akan membahas perppu tersebut usai masa reses pada
Januari 2015.
Namun,
tidak sampai satu pekan berselang pascapelaksanaan Munas IX Partai Golkar,
ARB “menjilat ludah” sendiri dengan menyatakan, dukungan terhadap pilkada
langsung sebagaimana tertuang dalam perppu tersebut. Pemilik kelompok usaha
Bakrie tersebut berdalih perubahan sikap itu dilakukan setelah melihat
aspirasi rakyat agar pilkada langsung tetap dipertahankan. Selain itu, untuk
menghormati kesepakatan politik antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Partai
Demokrat.
Sebagaimana
diketahui, ada perjanjian politik antara KMP--Partai Gerindra, Partai Golkar,
PAN, dan PKS—dengan SBY terkait perppu tersebut. Perjanjian itu dilakukan
menjelang pemilihan paket pemimpin DPR, Oktober lalu. Dalam perjanjian itu,
SBY disebut-sebut bersedia membawa Partai Demokrat dalam paket pemimpin DPR
bersama partai-partai KMP. Namun, perppu harus disetujui menjadi UU saat
pembahasan di DPR nanti.
Dengan
sikap politik Partai Golkar mendukung perppu, besar kemungkinan partai-partai
lain di KMP turut mendukung sikap partai berlambang pohon beringin tersebut.
Apalagi, ARB merupakan ketua presidium KMP. Jika KMP solid mendukung perppu
akan menghasilkan kekuatan 253 kursi, terdiri atas Partai Gerindra (73
kursi), Partai Golkar (91 kursi), PAN (49 kursi), dan PKS (40 kursi).
Jumlah
itu kian menguatkan barisan partai-partai yang sedari awal telah bersikap
untuk mendukung perppu. Terdapat Partai Demokrat (61 kursi), PDIP (109
kursi), PKB (47 kursi), PPP (39 kursi), Partai Nasdem (35 kursi), dan Partai
Hanura (16 kursi). Dengan demikian, seluruh kekuatan politik di DPR akan
bulat mendukung perppu disahkan menjadi UU.
Bila
konfigurasi politik di atas dapat terwujud saat pembahasan perppu di DPR,
tentu menjadi kabar baik bagi kelangsungan demokrasi di Indonesia.
Pelaksanaan pilkada langsung akan tetap dipertahankan dan tidak dikembalikan
kepada DPRD. Namun, pernyataan dukungan ARB terhadap pilkada langsung tidak
serta-merta dapat menjadi jaminan perppu akan diterima DPR untuk kemudian
dituangkan menjadi UU.
Mengapa
demikian?
Tidak
boleh dilupakan, gagasan pengembalian pilkada kepada DPRD muncul dari
partai-partai KMP pascakekalahan pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa
dalam pemilihan presiden lalu. Dalam sidang paripurna DPR akhir September
lalu, KMP berhasil mengegolkan proposal pilkada tidak langsung melalui
pengesahan UU Nomor 22/2014. Namun, kemudian dianulir Presiden SBY dengan
menerbitkan Perppu Nomor 1/2014.
Sulit
untuk tidak mengatakan kemunculan gagasan pengembalian pilkada kepada DPRD
didasarkan atas kalkulasi politik tertentu dari KMP. Dengan asumsi koalisi
solid melalui penguasaan kursi di DPRD provinsi/kabupaten/kota seluruh
Indonesia, bukan hal sulit bagi KMP untuk merebut posisi kepala daerah.
Di
samping itu, ada satu hal lain dapat menjadi penentu seberapa besar ketulusan
dukungan ARB terhadap perppu. Hal itu tidak lain adalah kepastian pengesahan dari
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemehukham) terhadap kepengurusan
Partai Golkar hasil munas di Bali, bukan kepengurusan Partai Golkar hasil
munas di Jakarta yang digelar kubu Agung Laksono cs.
Bukan
tidak mungkin bila nanti Kemenhukham tidak kunjung memberikan kepastian
pengesahan terhadap kepengurusan Partai Golkar hasil munas di Bali, ARB akan
melakukan politik balas dendam kepada pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf
Kalla, dengan cara menjegal perppu dalam pembahasan di DPR usai masa reses pada
Januari 2015.
Jika kelak pandangan penulis di atas benar terjadi, tidak berlebihan
anggapan sebagian besar publik selama ini bahwa dalam berpolitik para elite
kita semata-mata cuma untuk melanggengkan kepentingan pribadi jangka pendek
saja, bukan untuk mewujudkan kepentingan jangka panjang bangsa dan negara.
Semoga pandangan penulis di atas salah dan tidak benar-benar terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar