Mengambil
Momentum Pelemahan Rupiah
Enny Sri Hartati ; Direktur Indef
|
MEDIA
INDONESIA, 17 Desember 2014
MENJELANG akhir 2014,
perekonomian Indonesia dilanda kekhawatiran. Salah satu pemicunya ialah
pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang semakin
tajam dan menembus level terendah sejak 2008.
Pada perdagangan Senin 15
Desember 2014, rupiah mencapai 12.700 per dolar melesat jauh dari asumsi pada
APBNP 2014 sebesar 10.050 per dolar. Apalagi rupiah sudah mengalami tekanan
sepanjang Januari-Desember 2014 dengan rata-rata kurs rupiah terhadap dolar
sebesar 11.851.Padahal dalam periode yang sama tahun sebelumnya, rata-rata
kurs rupiah sebesar 10.373. Artinya, rupiah terus melemah sebesar 14,25%
secara year on year.
Sinyal bahwa rupiah akan terus
melemah sebenarnya sudah terlihat sejak akhir September, ketika kurs
referensi Jakarta Interbank Spot Dollar
(Jisdor) sempat mencatat nilai rupiah anjlok hingga 12.900.
Tak dimungkiri saat ini hampir
seluruh mata uang dunia mengalami pelemahan terhadap dolar. Hal itu tidak
terlepas dari membaiknya perekonomian Amerika Serikat yang ditandai dengan
berkurangnya tingkat pengangguran dari 10% di 2009 menjadi 5,8% pada November
2014, ditambah pertumbuhan ekonomi yang mencapai 3,5% di triwulan III 2014.
Capaian tersebut membuat rencana
The Fed untuk menaikkan suku bunga
acuan (The Fed fund rate) menjadi
semakin nyata. Indikasi itu semakin kuat setelah isu beberapa pejabat The Fed akan menaikkan suku bunga
menjadi 1,375% di akhir 2015. Kontan, kebijakan tersebut dikhawatirkan akan
mendorong dolar kembali `pulang kampung' ke Amerika Serikat setelah lama
terparkir di negara-negara ekonomi baru termasuk Indonesia sejak 2008.
Jika demikian, persoalan paling
mendasar sebenarnya bukan mengapa rupiah mengalami pelemahan, melainkan
mengapa rupiah mengalami tekanan yang tajam dan menjadi mata uang yang sangat
rapuh. Titik krusialnya tentu terletak pada persoalan fundamental, yaitu
tekanan defisit transaksi berjalan, terutama defisit neraca perdagangan.
Titik fokus persoalan itu yang selalu tidak mendapat perhatian dan solusi
yang mendasar.
Hampir setiap terjadi fluktuasi
nilai tukar rupiah, penjelasan persoalan gejolak eksternal sampai justifikasi
intrik politik yang berdampak spekulasi dan sentimen pasar lebih mengemuka
daripada langkah-langkah konkret agar keluar dari belitan defisit neraca
perdagangan.
Tekanan rupiah di akhir tahun
tentu tidak terlepas dari tingginya utang jatuh tempo baik pemerintah maupun
swasta. Juga siklus rutin pembayaran dividen BUMN maupun perusahaan
swasta.Terlebih sekitar 83,34% dari total utang luar negeri Indonesia
menggunakan dolar. Posisi utang luar negeri Indonesia pada akhir September
2014 mencapai US$292,3 miliar, meningkat US$6,1 miliar atau 2,1% jika
dibandingkan dengan akhir triwulan II 2014. Kondisi tersebut semakin
diperparah fakta bahwa 16,72% dari total utang luar negeri Indonesia bersifat
jangka pendek. Apalagi dari total utang luar negeri swasta sebesar US$70,4
miliar ternyata hanya 13,6% yang telah melakukan lindung nilai (hedging).
Melemahnya nilai rupiah tentu
tidak boleh dipandang sebelah mata. Meski Bank Indonesia dan pemerintah
menganggap bahwa kondisi itu hanya bersifat sementara, sejumlah dampak
langsung membutuhkan langkah antisipasi pemerintah segera.
Terutama imbasnya terhadap harga
kebutuhan pokok yang masih mengalami ketergantungan impor dan keberlangsungan
industri yang didominasi bahan baku dan barang modal impor.Apalagi dunia
usaha sudah terperangkap penaikan harga BBM dan tarif listrik sehingga sulit
untuk kembali menaikkan harga sebagai akibat lonjakan dolar.
Namun demikian, pelemahan rupiah
sebenarnya selalu dapat dilihat seperti dua mata koin yang berbeda. Di
samping dampak negatif yang dihasilkan, melemahnya rupiah justru dapat
menjadi momentum untuk memperbaiki struktur perekonomian Indonesia yang
rapuh.
Bagaimanapun, faktor utama
kerapuhan rupiah ialah defisit neraca perdagangan yang disebabkan tingginya
tekanan impor. Hampir semua industri manufaktur mempunyai impor konten yang
tinggi. Tidak saja ketergantungan terhadap bahan baku, tapi juga barang modal
dan teknologi. Belum lagi, tekanan impor produk pertanian yang terus
membengkak, baik produk pangan, holtikultura dan peternakan.
Pelemahan rupiah justru dapat
digunakan untuk memperbaiki struktur industri untuk fokus pada industri
substitusi impor dan industri hilir yang berbahan baku lokal. Tingginya harga
barang impor tentu menjadi kesempatan emas bagi para produsen lokal dalam memasarkan
produknya di tingkat domestik maupun di pasar global.
Pemerintah harus segera
melakukan terobosan strategi dan program guna memberikan insentif, stimulus
dan fasilitas bagi para pelaku usaha sektor riil. Termasuk koordinasi dengan
kebijakan moneter agar segera mengendorkan likuiditas sebagai bentuk dukungan
pembiayaan. Utamanya dukungan bagi industri substitusi impor dan industri
hilir yang berorientasi ekspor.
Penguatan
potensi sumber daya domestik akan lebih memberikan kepastian di tengah
pelemahan kondisi global. Dengan demikian, terdapat dua momentum besar yang
dapat diambil dari pelemahan rupiah, yaitu upaya reformasi struktural ekonomi
Indonesia dan memperkukuh kekuatan fundamental rupiah di masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar