Generasi Kreatif dan Kemandirian Kaum Muda Indonesia
Melahirkan
Generasi Kreatif
|
KOMPAS,
24 Desember 2014
DI dalam
buku The World is Flat, Thomas L
Friedman menggambarkan Tiongkok dan India sebagai dua negara yang mampu
mengembangkan ekonomi kreatif, khususnya dalam bidang teknologi informasi.
Dalam sekejap, Tiongkok dan India mampu menyaingi negara adidaya lain,
seperti Amerika Serikat dan Rusia; juga Eropa.
Di sini
letak keistimewaan ekonomi kreatif. Ia mampu membangun keseimbangan global
dengan menjadi salah satu kekuatan dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi
sebuah negara. Dunia yang makin datar akibat kecanggihan internet semakin
memacu para pelaku ekonomi kreatif untuk bersaing dalam kancah global.
Negara-negara lain terus berpacu untuk merebut pasar global dengan memajukan
ekonomi kreatif.
Pertanyaannya,
apa yang mesti dilakukan pemerintah dan masyarakat dalam rangka mendorong
kelahiran generasi kreatif? Apa pentingya ekonomi kreatif bagi negeri ini?
Ekonomi
kreatif mutlak diperlukan untuk membangun ketahanan sosial-ekonomi. Faktanya,
hampir di setiap daerah di negeri ini mempunyai potensi ekonomi kreatif yang
sangat luar biasa. Mereka mampu menghidupkan perekonomian daerah dengan
segala keterbatasannya. Bahkan, kalau mau jujur, sebenarnya perekonomian
nasional ditopang dengan tumbuhnya ekonomi kreatif. Hanya saja, para pelaku
ekonomi kreatif belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.
Selama
bertahun-tahun sepertinya pemerintah belum melihat ekonomi kreatif sebagai
bagian penting dalam menumbuhkan perekonomian nasional. Ironisnya, justru
negara-negara lain yang mampu melihat potensi ekonomi kreatif di kalangan
kaum muda. Banyak film kartun dan animasi yang lahir dari kaum muda kita,
tetapi mereka jual ke negara lain. Lalu, karya tersebut diklaim negara lain.
Padahal, karya tersebut adalah karya asli kaum muda kita.
Di
samping itu, dalam jangka panjang, ekonomi kreatif dapat menjadi bagian dari
ketahanan sosial-politik. Radikalisme dan ekstremisme yang tumbuh di negeri
ini dapat diredam dengan memfasilitasi tumbuhnya ekonomi kreatif di kalangan
muda.
Kalau
melihat sejarah, kaum Muslim pada masa lalu sebenarnya juga sangat kreatif
dalam melahirkan para pedagang, baik di kalangan NU maupun Muhammadiyah.
Akibatnya, dua ormas besar ini menjadi lokomotif gerakan moderasi Islam,
bukan hanya di Indonesia melainkan juga di dunia internasional. Tumbuhnya
industri fashion, perbukuan, dan perbankan yang berlandaskan tumbuhnya kesadaran
keagamaan sebenarnya sangat membantu untuk meredam infiltrasi radikalisme dan
ekstremisme yang disebabkan peminggiran dan penindasan dalam sektor ekonomi
dan politik.
Nalar kreatif
Karena
itu, pemerintah perlu memperhatikan ekonomi kreatif dengan serius. Yang perlu
digarisbawahi, untuk menumbuhkan ekonomi kreatif bukan hal yang mudah.
Membutuhkan proses yang panjang. Dunia pendidikan semestinya menjadi salah
satu pijakan untuk melahirkan generasi-generasi kreatif, yang nantinya
menunjang tumbuhnya ekonomi kreatif di negeri ini.
Pasalnya,
dunia pendidikan kita saat ini hanya mampu mengembangkan aspek kognisi.
Adapun aspek metakognisi diabaikan. Konsekuensinya, kita melahirkan banyak
sarjana, lulusan SMK dan D-3, tetapi mereka gamang saat melihat realitas
kehidupan yang dinamis dan kompetitif, berbeda jauh dengan yang dipelajari di
ruang kelas. Akhirnya, mereka pun menjadi pengangguran. Mereka gagap saat
melihat realitas kehidupan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya selama
belajar di sekolah dan kampus.
Kisah
tentang lulusan sebuah universitas ternama dengan indeks prestasi kuliah yang
cukup bagus, tetapi akhirnya depresi dan bunuh diri sangat mengentakkan kita
semua. Kisah tersebut semestinya menjadi perhatian semua pihak, khususnya
pemerintah dan kalangan akademisi. Ada yang salah dalam filosofi dan sistem
pendidikan nasional.
Bahkan,
ironisnya mereka yang tidak lulus sekolah dan kuliah justru lebih mampu
berperan secara maksimal di tengah-tengah masyarakat. Itu artinya, alam raya
yang luas ini dapat menjadi tempat untuk mengasah kepekaan sosial dan
kreativitas. Tidak ada jaminan, mereka yang bersekolah dan kuliah akan
mempunyai kreativitas yang mumpuni.
Kecenderungan
yang berlebihan terhadap domain kognisi di dalam dunia pendidikan telah terbukti
tidak memacu tumbuhnya kreativitas. Malah sebaliknya, seorang sarjana akan
mengalami depresi, stres, bahkan bunuh diri. Akhirnya pendidikan menjadi
beban yang menakutkan bagi kaum muda.
Maka
dari itu, diperlukan sebuah rekonstruksi sistem pendidikan nasional. Mestinya
kita mengembangkan metakognisi, yang di dalamnya sangat menekankan aspek
empati terhadap yang lain, penalaran, regulasi diri, kepekaan/inisiatif,
kreatif, dan adaptasi. Intinya, pendidikan harus dipahami sebagai proses
belajar dan latihan yang tidak pernah berhenti. Setiap anak semestinya tidak
hanya fokus pada buku dan diktat, tetapi mampu mengasah kemampuan membaca
realitas kehidupan yang lebih luas.
Menurut
James Heckman, sistem pendidikan kita saat ini hanya menekankan aspek kognitif
dan lebih bersifat mekanistik. Maka dari itu, diperlukan perubahan yang
mendasar agar pendidikan kita mampu mendorong regulasi diri, keterbukaan, dan
kemampuan untuk terlibat dan empati dengan orang lain sehingga mampu
merencanakan dan berbuat yang akan membukakan pintu untuk meraih pekerjaan
dan hidupnya semakin produktif.
Mental ”driver”
Bukan
hal yang aneh jika dunia pendidikan kita selama ini hanya mencetak tumbuhnya
peserta didik yang bermental passenger,
bukan driver. Mereka selama ini
merasa nyaman, tidak kreatif, malas, dan tidak merasa ada tantangan di masa
depan.
Sebagaimana
halnya penumpang sebuah kendaraan, peserta didik kita tidak terbiasa dengan
kreativitas dan mengendalikan diri. Akibatnya, bagaimana mau mengendalikan
orang lain jika mengendalikan diri sendiri saja tidak mampu. Di sini mental
passenger harus diubah menjadi mental driver.
Meminjam
istilah Presiden Joko Widodo, dunia pendidikan harus mampu mendorong revolusi
mental. Yaitu, mentalitas yang mampu membangkitkan kebanggaan terhadap
negara, percaya diri, siap ambil risiko, gotong-royong, berani mengambil
keputusan, dan mempunyai mimpi besar. Intinya setiap peserta didik mesti
dilatih mandiri, menjadi driver, bukan passenger.
Seorang
driver harus bergerak ke depan, menjadi pemimpin yang siap mengambil risiko
dengan mengandalkan kreativitas nalar. Metakognisi menjadi kata kunci yang
paling penting karena akan melahirkan peserta didik yang akan mempunyai
kreativitas dan disempurnakan dengan kemandirian dan keberanian untuk mengambil
risiko.
Jika
kedua hal tersebut dimiliki generasi muda kita, kita optimistis dapat
menyongsong era baru untuk bersaing di sektor ekonomi kreatif. Sekolah dan
keluarga adalah dua entitas penting yang harus mendorong lahirnya generasi
kreatif. Pada saatnya nanti, kita bisa berdiri tegak bersaing dengan
negara-negara lain, seperti Tiongkok dan India, bahkan Amerika Serikat,
Eropa, dan Rusia.
Niat
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang akan memberikan perhatian besar
terhadap ekonomi kreatif harus didukung. Namun, langkah tersebut tidak mudah
dan instan. Pemerintah mesti memperhatikan dunia pendidikan sebagai pintu
masuk untuk melahirkan generasi kreatif. Tanpa itu, segala ide besar untuk
meningkatkan ekonomi kreatif hanya akan menjadi gerakan parsial.
Negeri
ini membutuhkan generasi muda kreatif untuk bersaing di kancah global. Hal
tersebut tidak mustahil dicapai jika kita mulai dari sekarang secara
bersama-sama dengan memberikan perhatian penuh terhadap ekonomi kreatif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar